KORUPSI ternyata terus menggerogoti, meski penanggulangannya seperti tak pernah berhenti. Itu terlihat dari data yang disampaikan Jaksa Agung Hari Suharto dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR pekan lalu. Menurut Hari Suharto, dari 6.983 perkara tindak pidana khusus yang tercatat antara 1983 dan 1985, korupsi menempati tempat pertama denan 3.716 perkara. Urutan berikutnya: narkotik (1.629), penyelundupan (1.122), subversi (454), dan pelanggaran wilayah (62). Kerugian negara akibat perbuatan korupsi dan manipulasi meliputi sekitar Rp 276,95 milyar, sedang yang dapat diselamatkan Rp 24,45 milyar. Kecilnya jumlah uang negara yang dapat diselamatkan ini -- kurang dari 10 persen -- membuat beberapa anggota DPR tergugah. Untuk menghindarinya ada yang mengusulkan agar koruptor dituduh dengan pasal subversi. Ada juga saran, agar koruptor yang tak bisa mengembalikan separuh dari uang yang dikorupnya dijatuhi sanksi yang lebih berat. Terhadap saran itu, Jaksa Agung menjelaskan, besar kecilnya tuntutan tak bisa dilaksanakan dengan matematis. "Seorang pencuri profesional tentu tak sama dengan pencuri yang butuh hidup, meskipun secara proporsional sama," kata Hari Suharto. Hukuman kumulatif (hukuman badan, denda dan keharusan membayar kembali manipulasinya), pernah juga dilakukan kejaksaan, yakni dalam perkara bendaharawan Ditjen Bea & Cukai Kamarijoen. "Masalahnya, dia tak mampu mengganti kerugian negara, dan digantikan dengan hukuman badan. Jadinya, ya, sama saja 'kan?" kata Himawan, Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus pada TEMPO. Korupsi yang dilakukan Kamarijoen, Rp 3,15 milyar, ternyata menempati urutan kedua dalam daftar besarnya jumlah yang diselewengkan. Tempat pertama diduduki M. Natsir Talimbu, Kasubdit Pengurusan Hak-Hak Tanah Direktorat Agraria Sulawesi Selatan yang memanipulasikan Rp 5,26 milyar. Perkara besar lainnya: Brongkos Sya'ban, bekas Kepala Dispenda Bogor (Rp 2,31 milyar), dan Ismail Yapnanto, Direktur CV Daun Mas Ternate (Rp 679 juta).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini