KANTOR Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Yogya, lewat tengah malam Kamis pekan lalu, sontak hiruk-pikuk. Bagaikan pengungsi korban bencana alam, sebanyak 30 orang pria anggota organisasi mahasiswa terbesar dan tertua di Indonesia itu terpaksa hijrah dari kantor itu. Mereka berhamburan, seraya membawa tikar, dan kemudian, bak gelandangan, tidur di emperan toko di Jalan Malioboro yang hanya berjarak sekitar 100 meter dari kantor itu. Beberapa orang lagi, nebeng tidur di atas becak. Sementara sisanya, 23 orang anggota putri, tak bisa lain, "tidur" berhimpitan di musala kantor yang cuma berukuran 3 x 3 meter. Hiruk pikuk ini akibat datangnya sekitar sepuluh orang tentara berpakaian lengkap, bertopi baja, dan bersenjata M-16 di tangan, bersama lima orang polisi, yang menggeropyok kantor HMI di Jalan Dagen itu. Saat itu sekitar 60 anggota HMI berkumpul di situ, dan sebagian besar sedang tidur pulas. Tapi, mereka terpaksa dibangunkan, karena, "Para petugas keamanan itu memerintahkan kami mengosongkan kantor malam itu juga," Ujar Erwin Muslimin, salah seorang pengurus HMI Cabang Yogya, yang malam itu menghadapi para petugas Garnisun itu. Penggerebekan itu berpangkal dari laporan yang diterima petugas Kodim 0734, Yogya. Isinya: Ada rapat gelap di kantor HMI, Jalan Dagen. Berdasarkan info itu, menurut sumber TEMPO di Kodim, para petugas pun dikerahkan ke sana. Eh, ternyata, yang ditemukan, adalah sebagian besar anggota HMI yang tengah tidur pulas. Mereka, memang, semula berkumpul untuk mengikuti Latihan Dasar Kepemimpinan (LDK) Ini adalah jenjang latihan kedua, yang mesti diikuti agar seseorang bisa meniadi anggota HMI. Tingkat pertama adalah Maperca (Masa perkenalan calon anggota), lantas LDK, LLK (Latihan Lanjutan Kepemimpinan), barulah Advance Training serta berbagai seminar. Semua program ini untuk mengatasi masalah pengkaderan, dan akhirnya, membentuk intelektual Muslim. Pada tahap LDK, misalnya, ditekankan pembentukan kepribadian. Materi latihan ini berupa ke-Islam-an, ke-HMI-an, serta pengetahuan tentang berorganisasi. Jadi, program ini rutin diselenggarakan. "Berkali-kali sudah kami menyelenggarakan program ini, tanpa izin, dan tidak pernah dibubarkan," kata Moch. Choiron, Ketua Umum HMI Cabang Yogya. Selama periode 1985-1986 ini, misalnya, 15 kali sudah LDK diselenggarakan di kantor HMI itu, dengan rata-rata diikuti peserta 60 orang. Dan LDK kali ini, semula direncanakan berlangsung 4 hari (13-17 Februari) dengan peserta yang berasal dari HMI Komisariat Fakultas Ekonomi dan Sastra UGM, serta beberapa orang dari Universitas Islam Indonesia. Tiap peserta dipungut biaya Rp 2.500. Permohonan izin itu, menurut versi pengurus HMI, sebenarnya telah diajukan awal Februari silam. Tapi, anak muda ini rupanya tak sabar, dan menilai "dipingpong" ke sana kemari. Ada 19 meja yang mesti dilalui, mulai dari RT, RK sampai ke Kodim dan Polresta. "Meski lima puluh kali sudah mengadakan acara serupa, dengan materi dan pembicara yang persis sama, kami harus meminta izin yang sama," kata Choiron. Semua larangan itu, kata Kapolwil Yogya, Kol. Drs. Soenarjo, karena penyelenggara tidak minta izin, dan polisi tidak tahu materinya. "Jika kami tahu materinya, dan mereka minta izin, beres-beres saja. Izin itu tidak sulit diperoleh," katanya. Khusus kasus Lembaga Javanologi, pihak kepolisian tak ingin "kecolongan", seperti terjadi pada acara Seminar Tuyul di Semarang, akhir Oktober tahun lalu. Seusai seminar itu, lautan manusia menyerbu Dukuh Padangan, Klaten, ingin melihat tuyul. "Untuk menghindarkan ekses negatif, ceramah tentang makhluk halus itu ditunda dulu," tambah Soenarjo. Melalui telepon, Selasa dinihari pekan ini, Soenarjo berkata pada TEMPO: "Larangan itu sama sekali tidak ada hubungan dengan situasi menjelang Pemilu 1987 nanti. Situasi sekarang ini, adem-adem saja. Kami hanya berjaga-jaga, dan tetap waspada. Itu saja." Saur Hutabarat Laporan E.H. Kartanegara (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini