Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

KPAI Minta SMPN 21 Batam Cabut Skorsing Siswa

Mereka menolak hormat kepada Merah Putih lantaran menganut kepercayaan tertentu.

1 Desember 2019 | 14.40 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Herlina (46) Orang tua siswa SMP 21 Batam yang terancam dikeluarkan karena tidak hormat bendera, Rabu, 27 November 2019. TEMPO/YOGI EKA SAHPUTRA

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) meminta SMPN 21 Batam mempertimbangkan untuk mencabut skorsing selama satu tahun kepada siswanya yang tidak mau hormat bendera dan menyanyikan lagu Indonesia Raya saat upacara.

Komisioner KPAI Bidang Pendidikan, Retno Listyarti menilai keputusan tersebut melanggar hak anak untuk mendapatkan pendidikan. "Skorsing 1 tahun merupakan hal yang sangat tidak lazim dan mungkin kejadian pertama di Indonesia," ujar Retno lewat keterangan tertulis pada Ahad, 1 Desember 2019.

Dua siswa SMPN 21 Batam ini awalnya diminta keluar dari sekolah lantaran tak mau hormat bendera Merah Putih saat upacara. Mereka menolak hormat kepada Merah Putih lantaran menganut kepercayaan tertentu. Memberi hormat kepada bendera, dianggap sama dengan hormat kepada Tuhan.

Sekolah berupaya melakukan langkah persuasif, namun orangtua murid tetap ingin anaknya mempertahankan kepercayaan yang dianut. Sekolah  akhirnya memberikan dua alternatif bagi orang tua kedua siswa tersebut. Pertama, siswa diskors selama satu tahun untuk mendapat pembinaan nasionalisme. Kedua, jika orang tua terus bertahan dengan keyakinan, pihak sekolah akan mengembalikan siswa kepada mereka atau dikeluarkan.

Retno mengingatkan, penyelesaian masalah siswa tidak hormat bendera semestinya tidak melulu diselesaikan dengan berfokus pada hukuman, namun justru malah tidak berfokus  mengedukasi siswa dan kedua orangtuanya untuk memahami perbedaan antara menghormat bendera sebagai kecintaan pada sebagai warga negara yang baik dan menyembah Tuhan YME adalah bentuk kecintaan sebagai umat beragama yang taat. 

"Pendekatan persuasif dan pembinaan berbasis keluarga menjadi penting dan perlu dilakukan karena agama anak mengikuti agama orangtua," ujar Retno.

Jika pengasuhan orangtua dianggap keliru, ujar Retno, tentu tidak adil jika berfokus menghukum anak-anaknya karena menjalankan didikan kedua orangtuanya. "Dalam konteks ini, anak-anak adalah korban. Tentu terkesan tak adil jika korban malah dikorbankan lagi," ujar dia.

Oleh karena itu, lanjut Retno, keluarga dan pemuka agama harus menjadi target  pembinaan oleh negara dan harus dilakukan oleh pemerintah daerah bekerjasama dengan Kementerian Agama dan pihak-pihak terkait lainnya di daerah, apalagi penganut sekte ini diperkirakan mencapai ratusan di kota Batam. "Pembinaan berbasis keluarga dan komunitas adalah upaya mencegah kasus serupa muncul kembali di sekolah-sekolah lainnya".

DEWI NURITA

 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus