|
JAKARTA - Komisi Pemilihan Umum (KPU) siap menghadapi gugatan yang mungkin datang terkait dengan keputusan lembaga itu melarang mantan narapidana kasus korupsi mengikuti pemilihan anggota legislatif. Ketua KPU Arief Budiman mengatakan bahwa gugatan merupakan hal biasa sebagai mekanisme kontrol dari setiap kebijakan. "Jangankan kebijakan yang diperdebatkan, yang tidak diperdebatkan saja disengketakan," kata Arief di Kompleks Parlemen, Senayan, kemarin. Keputusan KPU melarang mantan narapidana korupsi mencalonkan diri ditetapkan dalam rapat pleno pada Selasa malam lalu. Aturan main yang tercantum dalam Pasal 8 ayat 1 huruf (j) rancangan Peraturan KPU tentang Pencalonan itu melarang mantan terpidana perkara bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, atau korupsi mencalonkan diri sebagai anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Arief mengatakan rancangan peraturan KPU itu akan diserahkan kepada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia maksimal tiga hari setelah rapat konsultasi dengan DPR. "Kami rapikan dulu dan meyakinkan dasar-dasar pembuatan pasal itu," ujarnya. Dia optimistis regulasi ini akan memberi dampak positif bagi upaya pencegahan korupsi. Menurut Arief, selama ini ada ketimpangan persyaratan antara pemilihan legislatif dan eksekutif. Dalam pemilihan kepala daerah dan presiden, dia menyebutkan, ada syarat bahwa para kandidat harus melampirkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara. Calon pasangan presiden dan wakil presiden juga tidak boleh memiliki rekam jejak pernah terlibat dalam tindak pidana korupsi. “Syarat-syarat ini tak ada dalam pemilihan anggota legislatif,” tuturnya. Keputusan KPU melarang mantan terpidana korupsi mengikuti bursa pemilihan anggota legislatif ditolak DPR, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), dan pemerintah. Dalam rapat dengar pendapat pada Selasa lalu, Ketua Komisi II DPR Zainudin Amali berpendapat bahwa KPU cukup menerbitkan surat imbauan kepada partai politik agar tidak mencalonkan orang-orang yang pernah terjerat korupsi. Alasannya, kebijakan larangan KPU tersebut melenceng dari Undang-Undang Pemilihan Umum. Dalam Undang-Undang Pemilu, Zainudin mengimbuhkan, tak ada larangan bagi mantan narapidana korupsi mendaftar sebagai anggota legislatif. Ia khawatir KPU bakal digugat ke Mahkamah Konstitusi karena nekat memasukkan pasal larangan ini ke peraturan KPU. Staf Ahli Bidang Pemerintahan Kementerian Dalam Negeri, Suhajar Diantoro, menuturkan, selama undang-undang tidak mengatur, peraturan di bawahnya tidak boleh membuat peraturan yang bertentangan. Pendapat yang sama diutarakan oleh Ketua Bawaslu, Abhan. Meski begitu, Abhan mengatakan bakal menunggu finalisasi peraturan KPU. "Tergantung normanya, kan ini belum tertulis di peraturan KPU," katanya. IMAM HAMDI
Mengacu pada Aturan Lain Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak menggubris penolakan lembaga-lembaga lain ihwal larangan mantan narapidana korupsi ikut pemilihan legislatif dalam peraturan KPU. Ketua KPU Arief Budiman mengatakan, meski tak sesuai dengan Undang-Undang Pemilihan Umum, KPU mengacu pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Menurut dia, KPU lebih baik mencegah tindak pidana korupsi sejak awal ketimbang harus menindak legislator yang sudah telanjur tertangkap. Berikut ini aturan yang dijadikan landasan oleh KPU: 1. Pasal 240 ayat 1 huruf g Undang-Undang Pemilu Bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota adalah Warga Negara Indonesia dan harus memenuhi persyaratan: tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana. Penafsiran KPU: beleid tersebut tidak menjelaskan secara spesifik mengenai larangan terhadap mantan narapidana korupsi.
2. Pasal 5 Undang-Undang Penyelenggara Negara Setiap Penyelenggara Negara berkewajiban untuk: Ayat (3) melaporkan dan mengumumkan kekayaan sebelum dan setelah menjabat; (4) tidak melakukan perbuatan korupsi, kolusi, dan nepotisme; (7) bersedia menjadi saksi dalam perkara korupsi, kolusi, dan nepotisme serta dalam perkara lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Penafsiran KPU: ayat-ayat dalam pasal ini mendorong upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. MAYA AYU PUSPITASARI
|