Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Langkah Kecil Meredam SARA

Universitas Gadjah Mada membuka program studi perbandingan agama. Masa kuliah enam semester dan untuk S3 bisa dilanjutkan di Philadelphia, AS.

22 Oktober 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADAKAH hubungan antara heterogenitas dan SARA? Ya, tentu ada, kendati lebih merupakan hubungan sebab-akibat dan umurnya sudah berabad-abad. SARA (singkatan dari suku, agama, ras, dan antargolongan) dalam masyarakat Indonesia yang heterogen acap kali termanifestasi melalui konflik horizontal yang frekuensinya cukup tinggi. Beberapa konflik secara mencolok sangat diwarnai oleh benturan politik, tapi tak urung pihak lain dianggap ikut bertanggung jawab. Lembaga pendidikan, misalnya, dianggap gagal mendidik masyarakat sehingga jika konflik SARA marak, ia sulit diredam.

Terlepas dari apakah tudingan ke dunia akademi itu benar atau setengah benar, pihak universitas menanggapi isu tersebut secara positif. Belum lama ini sudah dirintis langkah kecil ke arah itu melalui program studi ilmu perbandingan agama setingkat pascasarjana. Program itu diluncurkan oleh Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta.

Walaupun bukan sesuatu yang baru, di kalangan universitas negeri, UGM-lah yang memulainya. Program studi ini sebelumnya hanya ada di perguruan tinggi yang berlatar belakang agama, misalnya universitas Kristen atau Institut Agama Islam Negeri (IAIN).

Mengapa UGM dipilih? Menurut Ahmad Mursidi, Ketua Program Studi Perbandingan Agama UGM, dengan mengajarkannya di lembaga pendidikan yang netral, mahasiswa akan lebih obyektif memahami agama lain. "Sasarannya jelas, toleransi hidup antarumat beragama," tutur Mursidi. Sedangkan di perguruan tinggi agama, dosen lebih banyak bertindak sebagai agamawan yang berkotbah, bukan sebagai ilmuwan.

Kuliah perbandingan agama berlangsung selama enam semester, dengan menyajikan pendekatan dari enam agama: Islam, Kristen/Katolik, Yahudi, Hindu, Buddha, dan Konfusius. Untuk mencapai sikap netral, setiap kajian akan disampaikan oleh agamawan dari tiap-tiap agama. Tapi, perdebatan akademis seputar perbedaan antaragama akan dilakukan oleh para mahasiswa sendiri.

UGM dipilih sebagai tempat netral karena mempunyai fakultas filsafat yang mengajarkan perbandingan agama. Program studi ini mengedepankan pencarian persamaan antaragama, dengan harapan prinsip toleransi akan menjadi landasan dalam perilaku sosial. "Pendekatan terhadap agama dalam program ini seratus persen bersifat akademis," demikian Mursidi menambahkan.

Mengingat program ini kurang populer, mahasiswa diiming-imingi beasiswa. Dari 24 mahasiswa angkatan pertama, seorang di antaranya mendapat beasiswa dari perguruan tinggi yang mengirimnya. Adapun yang lain memperoleh beasiswa dari Departemen Pendidikan. Kelak, lulusan ilmu perbandingan agama ini bisa langsung melanjutkan program doktor di Universitas Temple, Philadelphia, Amerika Serikat

Gagasan membuka program studi ilmu perbandingan agama bermula dari Prof. John Raines, Ketua Religious Department Universitas Temple. Sebelum konfik SARA di Indonesia pecah, Raines, yang datang ke Jakarta tiga tahun lalu, sudah mengingatkan dunia pendidikan agar melahirkan generasi yang memandang agama dengan cara baru. "Studi keagamaan tidak bisa lagi melihat kesalahan agama-agama di luar kepercayaan kita, tetapi melihat apa yang bisa dipelajari dari agama lain," Raines bertutur panjang lebar.

Dia menyesalkan cara pandang yang selama ini mengagungkan superioritas agama masing-masing. Akibatnya, penganut agama yang berbeda menjadi semakin berseberangan. "Kalau sudah begitu keadaannya, politik bisa masuk. Hal itulah yang akan merobek-robek negeri kita masing-masing," katanya.

Tapi, belajar cara baru ini hanya bisa dilakukan dengan membuka studi keagamaan setingkat pascasarjana. Ini pun dengan asumsi bahwa para mahasiswa berasal dari orang-orang tercerdas dari kalangannya. Dan mereka harus mendalami betul agama masing-masing.

Ramalan Raines tentang konflik antaragama ternyata tidak meleset. Nah, persahabatan antara John Raines, Azyumardi Azra (Rektor IAIN Jakarta), dan Alwi Shihab (Menteri Luar Negeri) melahirkan gagasan mendirikan program studi perbandingan agama di Indonesia. "Program ini akan mengkaji agama dari within and without (pengkajian dari dalam dan dari luar) dengan netral," kata Azyumardi.

Dia berharap, mahasiswa yang telah menyelesaikan studinya bisa mengubah sudut pandang masyarakat. "Mereka nantinya akan berprofesi sebagai dosen atau tokoh agama. Kelak, mereka bisa menyosialisasikan sudut pandang secara obyektif," ujar Azyumardi, optimistis.

Apakah semudah itu? Syafii Maarif, Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah, meragukannya. "Sebetulnya, dalam bentrokan dengan isu agama, yang bertarung saat ini adalah elite politik, bukan elite intelektual," Syafii menukas. Dan untuk meredakan konflik, lebih diperlukan ketulusan para pihak untuk menghentikannya. Namun, bagi Syafii, tak ada salahnya kuliah baru itu dicoba. Katanya, para peserta program bisa saling mengenal agama lain, dan itu juga sesuatu yang positif.

Agung Rulianto, Ardi Bramantyo, Dewi R. Cahyani, R. Fadjri (Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus