Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Diperlukan, Komitmen untuk Tidak Berutang

Ritual negosiasi utang dengan CGI sebaiknya dihentikan karena selain jumlah utang terlalu besar, kemampuan bangsa ini untuk membayarnya layak dipertanyakan.

22 Oktober 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

EUFEMISME ala Orde Baru, yang memelintir istilah utang menjadi bantuan, sekarang sudah tidak berlaku lagi. Utang ya utang, apalagi dari sidang CGI Tokyo disepakati jumlah yang lebih besar, berhubung ada pinjaman tambahan senilai US$ 530 juta. Selain itu, ada persyaratan yang lebih mengikat, di antaranya pengawasan langsung oleh pihak kreditor, persis seperti yang dilakukan IMF. Saat ini, ketika perekonomian terseok-seok dan Indonesia tetap betah berperan sebagai debitor yang utangnya melingkar sekeliling pinggang, bukan eufemisme itu saja yang harus dilenyapkan, tapi sikap pragmatis juga perlu ditumbuhkan. Karena itu, kinilah saat yang tepat—setelah sidang Consultative Group for Indonesia (CGI) di Tokyo menyetujui utang baru sebesar US$ 4,83 miliar—untuk kembali menghayati bahwa utang adalah beban mahaberat. Rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) alias DSR, yang sekitar 80 persen, juga mesti terus diingat-ingat.

Memang, sikap Rizal Ramli sangat simpatik ketika ia mengatakan agar keberhasilan mendapat utang baru yang jumlahnya melebihi target hendaknya tidak dianggap sebagai prestasi. Sebenarnya, sejak dulu masyarakat sudah mengetahui bahwa hanya rezim Orde Baru yang melihat keberhasilan negosiasi utang dengan CGI sebagai prestasi. Dan mereka jugalah yang mengatakan bahwa utang CGI merupakan bukti bahwa negara donor masih percaya pada Indonesia.

Padahal utang Indonesia itu ibarat mata uang, satu sisi memperlihatkan ketidakmampuan ekonomi kita, sedangkan sisi lain menggambarkan sikap pihak kreditor. Negara-negara CGI yang bertahun-tahun menyalurkan pinjaman lunak kepada Indonesia sebenarnya kini meragukan kemampuan kita melunasi utang, tapi tetap saja mengucurkan utang baru. Mereka enggan merestrukturisasi utang, konon pula memberikan potongan utang alias haircut. Bahwa Indonesia turun peringkat dan kembali terkategori sebagai negara miskin—karena itu berhak mendapat haircut—tidak dihiraukan. Lagi pula, di mata mereka alam Indonesia teramat kaya sehingga pikiran tentang jatuh miskin dianggap mengada-ada.

Perlu ditegaskan di sini bahwa persepsi seperti itu sungguh tak masuk akal. Tapi, RAPBN 2001 lebih tak masuk akal karena nekat menargetkan defisit Rp 52,2 triliun. Para perancang RAPBN mungkin lupa bahwa sektor riil belum benar-benar bangkit, bahwa jumlah penduduk miskin 100 juta jiwa, bahwa kita harus hidup prihatin, sehingga kalaupun utang diperlukan, hendaknya diminta sebatas yang dibutuhkan saja. Ternyata ketergantungan pada utang bukannya dikendalikan, tapi diumbar. Indonesia lalu mirip pengemis yang berlagak jadi orang kaya. Kalau tak salah, untuk mendapat haircut pun delegasi Indonesia tidak serius berusaha.

Selain itu, kendati RAPBN 2001 dengan timbunan defisitnya belum disetujui DPR, toh di CGI kita tidak canggung mengajukan proposal utang sebesar US$ 4,83 miliar. Tak ada guilty-feeling, padahal defisit begitu saja ditutup dengan utang. Maka, sejauh ini ada tiga hal yang perlu dicatat: 1. utang dijadikan solusi ekonomi, 2. utang tidak dianggap sebagai bagian dari krisis yang harus diatasi, 3. utang tidak dilihat sebagai kontinuitas, sehingga walaupun utang Orde Baru telah mencelakakan bangsa, tim ekonomi Gus Dur tak berhati-hati saat merundingkan utang baru.

Maka, harus dipertanyakan, apakah pemerintah tidak memiliki komitmen untuk tidak berutang. Juga, apakah pemerintah menyadari bahwa teriakan yang menolak utang kini terdengar sangat lantang. Khusus bagi Rizal Ramli, kalau kredibilitas yang ingin dicari, buatlah skenario pengelolaan utang yang benar dan lengkap, dan sesudah itu carilah jalan agar bisa keluar dari perangkap. Maksudnya tentu perangkap utang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus