Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Tiga Konglomerat yang Beruntung

Presiden Abdurrahman Wahid mengatakan akan menunda tuntutan hukum kepada tiga konglomerat. Reaksi pun berseliweran.

22 Oktober 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUDAH menjadi tradisi, jika Presiden Abdurrahman Wahid berada di luar negeri, ada saja pernyataannya yang membuat orang geram. Kali ini di Seoul, Korea Selatan, Presiden menyatakan akan menunda penuntutan hukum terhadap tiga pengusaha yang sekaligus pengutang besar, yakni Marimutu Sinivasan, Prajogo Pangestu, dan Sjamsul Nursalim. Sinivasan terlibat kredit macet sebesar US$ 2,74 miliar, Sjamsul Nursalim berutang Rp 27,5 triliun, sedangkan Prajogo Pangestu punya kredit macet Rp 9,4 triliun. Jelas, ketiganya bukan pencuri ayam atau sepeda motor, yang biasanya langsung ditangkap bahkan digebuki massa sebelumnya.

Bahwa Presiden tak paham soal hukum, memang sudah banyak yang tahu. Menteri Kehakiman dan HAM Yusril Ihza Mahendra pernah mengaku dibuat pusing jika Gus Dur berbicara sesuatu yang berkaitan dengan hukum. Tapi, apakah Gus Dur tidak paham sedikit saja perihal bagaimana menegakkan supremasi hukum? Dan apakah ia tidak tahu ada tap MPR yang mengharuskan ia membasmi segala bentuk korupsi, kolusi, dan nepotisme untuk menciptakan penyelenggara negara yang bersih?

Alasan yang disampaikan Presiden bahwa ketiga konglomerat itu memegang kunci untuk peningkatan ekspor juga tak ada buktinya. Produksi Chandra Asri milik Prajogo masih tersendat, Texmaco milik Sinivasan tak jelas berapa nilai ekspornya, dan Nursalim, dengan tambaknya yang macet itu, apanya yang diekspor? Data nilai ekspor perusahaan-perusahaan milik ketiga konglomerat itu tak transparan. Hal seperti inilah yang membuat pengusaha lain menjadi iri, dan dampaknya bisa memperlambat pengembalian kredit macet dari pengusaha nasional secara keseluruhan. Ini pilih kasih yang membawa dampak buruk, baik bagi penegakan supremasi hukum itu sendiri maupun untuk upaya mengembalikan uang rakyat yang dilalap para konglomerat.

Dari sisi keceplas-ceplosan Presiden, masyarakat semula berharap banyak dengan adanya juru bicara kepresidenan. Gus Dur lalu diduga bisa berhemat kata-kata. Juru bicara presiden, yang diketuai Wimar Witoelar ini, diharapkan bisa membuat masyarakat lebih jelas menangkap permasalahan atau ide yang mau dilontarkan Presiden. Ternyata hal itu tidak terjadi. Gus Dur masih tetap ceplas-ceplos.

Fungsi juru bicara presiden ternyata masih sekitar pembelaan atau tepatnya pencarian pembenaran atas ucapan Presiden. Karena materinya tetap kontroversial, reaksi atas ucapan Gus Dur pun tak bisa diredam begitu saja. Contohnya pernyataan Presiden di Korea Selatan mengenai penundaan hukum terhadap tiga konglomerat itu. Wimar Witoelar dari Australia—wah, kok semuanya di luar negeri—mengirim penjelasan kepada sebuah harian sore di Jakarta. Wimar dikutip mengatakan, "Menunda bukan berarti tidak melakukan. Menunda berarti akan melakukan, tapi tidak sekarang." Kalau cuma itu yang dilakukan seorang juru bicara kepresidenan, tak harus seorang Wimar yang mengatakannya. Sebab, seperti kata sebuah iklan, anak kecil saja tahu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus