PEMISAHAN kelas siswa dan siswi seperti model pesantren dan sejumlah sekolah Katolik tampaknya tak lagi dianggap kolot. Lihat saja Amerika Serikat. Di negeri yang dianggap paling maju itu, sejak awal tahun ini, jumlah sekolah khusus wanita terus bertambah. Dua di antaranya adalah Marin Academy, sekolah khusus IPA dan matematika di California, dan Farnsworth Elementary School di Minnessota. Tentu saja ide membuka sekolah khusus ini tak diilhami pesantren, tapi berdasarkan hasil sebuah penelitian. Tahun lalu, persatuan universitas wanita Amerika, AAUW, membahas 1.331 studi tentang siswi AS. Dari penelitian ini, diketahui bahwa murid pria cenderung ''menguasai'' kelas. Dalam berdiskusi, misalnya, murid pria lebih agresif. Inisiatif siswi tenggelam. Penelitian itu juga mengungkapkan bahwa wanita bisa belajar lebih baik dalam suasana kerja sama. Sedangkan pria justru berprestasi dalam suasana kompetitif. Padahal, umumnya sekolah di AS menerapkan sistem kompetisi. Dengan sekolah khusus wanita, diharapkan prestasi bibit unggul siswi AS dapat digenjot, terutama untuk bidang ilmu dan teknologi. Karena itu, tiga pekan lalu, sebuah rancangan undang-undang yang mendukung sistem pendidikan terpisah itu digolkan di Washington. Di London, para guru di Shenfield High School juga sampai pada kesimpulan yang sama. Ternyata hasil ujian nasional para siswi sekolah khusus lebih tinggi jika dibandingkan dengan siswi sekolah umum. Maka, sejak bulan lalu, sekolah itu pun membuka program kelas terpisah bagi 1.000 siswa-siswinya. Namun, tak seperti di AS, siswi di Shenfield masih bisa bergabung dengan rekan pria pada jam istirahat. Agaknya, hasil penelitian modern dari AS dan Inggris itu punya titik temu dengan pemikiran tradisional keagamaan. Soalnya, menurut Kiai Abdullah Syukri Zarkasi, pimpinan Pondok Modern Gontor, Jawa Timur, pemisahan santri wanita dan santri pria di pesantren bukan semata didasarkan pada norma pergaulan Islam, juga berdasar kepentingan pendidikan. Menurut Syukri, sistem pendidikan campuran cenderung mengabaikan aspek feminin wanita. Maka, untuk mengembangkan potensi santri wanita, yang klop adalah sistem pendidikan terpisah. Ia lantas memberi contoh, di sejumlah pesantren, di Jawa Tengah dan Jakarta, NEM (nilai ebtanas murni) santri putrinya menurun ketika diterapkan sistem pendidikan campur. Maka, Pondok Gontor tak kepalang tanggung. Pesantren putri terpisah 100 km dari pesantren putra. Menurut Syukri, itu sesuai dengan wasiat almarhum Kiai H. Imam Zarkasyi, pendiri Pondok Gontor. Keuntungan lain dari sistem pendidikan terpisah, lebih mudah menyesuaikan kurikulum karena muridnya homogen. ''Pelajaran pendidikan seks tak masalah, karena tak ada hambatan untuk membicarakan masalah biologis wanita,'' kata Suster Rusalima, Kepala Sekolah SMA Stelladuce Yogyakarta. Toh para pembela sistem campuran tetap bertahan. ''Justru sistem itu menciptakan kondisi belajar yang lebih sehat bagi murid wanita,'' kata Retnowati Suhadi, guru matematika dan fisika di SMAN 6 Jakarta. Menurut Retno, kehadiran murid pria membuat murid wanita justru terpacu untuk belajar. Tapi, bila bicara fakta, Retno mengakui bahwa umumnya murid pria meraih hasil lebih baik setidaknya sama dibandingkan dengan murid wanita. Padahal, dalam pengamatan guru matematika itu, rata- rata siswi lebih serius belajar ketimbang siswa. ''Murid pria saya yang serius di kelas cuma 10 persen. Sedangkan murid wanitanya rata-rata serius,'' kata Retno. Nyatanya, hingga kini gelar jago matematika dan fisika di sekolah ini tetap dipegang murid pria. Namun, Retno menolak memperbandingkan kualitas murid sekolah campur dan sekolah khusus wanita lewat NEM. Tanpa data resmi, ia mengaku sudah bisa memperkirakan bahwa NEM murid-murid Santa Ursula atau Tarakanita dua sekolah Katolik dengan murid khusus wanita lebih tinggi dibandingkan dengan murid-muridnya di SMA negeri yang model campur. Alasannya, sekolah khusus tersebut menetapkan standar NEM yang tinggi ketika menerima murid. Sekolah negeri membolehkan siswa dengan nilai rata-rata 6 masuk jurusan A1 (fisika), tapi di Tarakanita nilai rata-ratanya harus 7. Ibu guru ini hendak mengatakan bahwa bibit di sekolah itu memang sudah terpilih, tak aneh kalau hasilnya pun jempolan. Prof. Yaumil Agoes Achir, Dekan Fakultas Psikologi UI, mencoba memperjelas mengapa sekolah terpisah tadi menghasilkan murid yang lebih bermutu. Ia melihat selama ini pandangan tentang peran wanita dan pria dalam masyarakat telanjur dipengaruhi mitos gender. Misalnya, mitos bahwa pelajaran eksakta yang memeras otak lebih cocok untuk murid pria. Dengan begitu, konsep diri si wanita ikut terpengaruh. Maka, di dalam kelas, pria lebih dominan dan wanita mengalah. ''Mereka mengira tak mungkin menyaingi pria,'' kata Yaumil. Namun, kalau boleh memilih, Yaumil tetap lebih suka sistem campuran yang sudah mapan. Menurut psikolog itu, dengan pendidikan campuran, wanita dan pria bisa belajar mengenal reaksi satu sama lain. Lagi pula, menurut Yaumil, masalahnya sekarang bukan sistem pendidikan terpisah atau campuran. Tapi bagaimana memotivasi wanita untuk bersekolah setinggi mungkin. ''Jangan sampai sekolahnya putus karena kawin muda,'' katanya. Nunik Iswardhani, R. Fadjri (Yogya), Kelik M. Nugroho (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini