PENEGASAN Presiden Soeharto tentang utang luar negeri dan kesanggupan Pemerintah untuk membayarnya pada temu wicara Kirab Remaja Nasional III dua pekan lalu, menarik untuk disimak. Tampaknya, penegasan Presiden tentang utang luar negeri yang kini mencapai sekitar US$ 75 miliar dikemukakan untuk menangkis kritik-kritik, yang menyebutkan seolah-olah generasi mendatang akan diwarisi utang yang amat sulit dipikul di masa depan. Yang menarik dari penegasan Presiden adalah keterangan beliau yang menyentuh BUMN. Presiden menjelaskan sampai Desember 1992 aset proyek-proyek yang dibiayai pinjaman luar negeri, seperti pabrik semen, pupuk, baja, telkom, perhubungan, pos bernilai Rp 230 triliun. Kalau dinilai dengan dolar yang kursnya sekitar Rp 2.000 per satu dolar, proyek-proyek milik negara itu bernilai US$ 115 miliar. Presiden menyatakan, kalau semua milik negara itu dijual, masih akan berlebih, karena pinjaman luar negeri Indonesia sekarang berjumlah US$ 70 miliar. Tentu yang dimaksud Presiden tentang kemungkinan penjualan milik negara itu bukanlah dalam pengertian proyek-proyek, tapi BUMN-BUMN yang menangani proyek- proyek, yaitu PT Telkom untuk proyek telkom, PT Krakatau Steel untuk baja, serta PT Semen Gresik untuk semen, dan sebagainya. Utang luar negeri punya dua sisi di dalam neraca pembayaran: neraca jasa-jasa dan neraca modal. Dalam neraca jasa-jasa, terjadi arus keluar bila Pemerintah membayar bunga utang luar negeri, dan arus masuk bila Pemerintah menerima pembayaran utang dari negara lain. Sisi neraca modal memunculkan capital outflow bila Indonesia menaruh modal di luar negeri dan capital inflow bila menerima utang luar negeri dari negara-negara lain. Dalam sistem ekonomi kita, kian nyata dalam dekade terakhir ini bahwa neraca transaksi berjalan selalu mengalami defisit, betapapun tingginya kemajuan dalam meningkatkan ekspor nonmigas. Salah satu sumber defisit yang gede adalah beban pembayaran utang luar negeri. Sementara itu, neraca modal kita selalu harus mengalokasikan sekitar US$ 3-4 miliar untuk pembayaran cicilan utang luar negeri (amortization) dalam empat tahun terakhir. Juga dalam tiga tahun terakhir, utang luar negeri yang berasal dari swasta meningkat amat cepat. Ini menimbulkan komplikasi baru yang antara lain berpengaruh amat kuat pada rating tentang Indonesia karena beberapa kelompok swasta mengalami kesulitan membayar utang. Ini akibat hasrat ekspansi yang meluap-luap, tapi tidak disertai rasionalitas investasi. Kasus PT Bentoel yang sampai membawa kreditur-kreditur asing ke pengadilan di Jawa Timur merupakan kasus yang berpengaruh amat buruk pada rating Indonesia sebagai debitur dalam pasar kapital internasional. Bila ada niat Indonesia untuk menjual BUMN-BUMN dalam bentuk saham, sesungguhnya ini adalah suatu capital inflow dalam bentuk lain dalam neraca pembayaran karena hal itu tidak bersifat investasi asing langsung, ataupun pinjaman luar negeri baru. Yang terjadi adalah pemasukan apa yang disebut sebagai investasi portfolio. Investasi portfolio adalah pemasukan modal yang terjadi karena dijualnya saham atau obligasi dari suatu perusahaan di suatu negara kepada perusahaan lain di di luar negeri. Transaksinya sendiri bisa berlangsung di bursa efek dalam negeri ataupun di luar negeri. Untuk bisa menjual saham atau obligasi sehingga laku di pasar efek internasional, dibutuhkan beberapa kriteria, seperti sehatnya perusahaan yang akan dijual berikut kemampuan menghasilkan dari perusahaan tersebut dalam bentuk dividen atau capital gain. Selain itu, lakunya saham perusahaan BUMN ataupun swasta juga bergantung kepada penilaian rating dari satu negara. Rating ini biasa dilakukan oleh organisasi internasional seperti Standard and Poor dan Moody's. Kabarnya, rating tentang Indonesia yang dilancarkan oleh Standard and Poor adalah triple B minus, angka yang terus terang amat rendah. Rencana penjualan saham dan obligasi oleh BUMN di pasar kapital internasional telah kian menguat. Prancis misalnya, dibawah perdana menteri yang baru, merencanakan menjual banyak sekali saham BUMN mereka, yakni BNP (bank), Air France, serta puluhan BUMN lain. Di sini berlaku hukum keseimbangan antara permintaan dan penawaran. Kian banyak penawaran penjualan BUMN di dunia, harga sahamnya akan cenderung kian menurun. Dalam hal BUMN di Indonesia, persoalannya menjadi semakin sulit untuk go international karena BUMN di Indonesia cenderung mempunyai return on assets yang amat rendah. Artinya, aset yang besar yang dipunyai BUMN Indonesia hanyalah menghasilkan penerimaan keuntungan yang amat kecil bagi pemegang saham. Dengan kata lain, seyogianya Pemerintah melihat masalah utang luar negeri dengan kacamata objektif dan mencoba mengendalikan utang luar negeri swasta yang berlebihan, hal yang bisa dikerjakan oleh Dewan Moneter (tidak perlu PKLN). Saya sependapat dengan Presiden bahwa Pemerintah tidak perlu menghapus rencana membuat utang luar negeri baru, toh utang luar negerinya bersyarat lunak dengan tenggang waktu pembayaran jangka panjang, serta bunga yang jauh lebih rendah daripada bunga kapital di pasar komersial. Yang diperlukan adalah membaiknya rating Indonesia, yang pada gilirannya ditentukan oleh kapasitas Pemerintah melaksanakan deregulasi ekonomi, dan menciptakan sistem ekonomi yang lebih efisien. Sistem ini adalah sistem di mana kompetisi terasa di setiap sektor ekonomi, hingga setiap pelaku pasar dipaksa bergerak lebih efisien. Inilah yang tidak berlangsung hingga sekarang, karena baik deregulasi Mei maupun deregulasi Juni 1993 sama sekali tidak membawa sistem ekonomi ke arah efisiensi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini