DI tengah kesimpang-siuran politik dan tersendatnya ekonomi, kita mendapat bonus satu hari besar nasional, yaitu tahun baru Imlek, atau minimal ada satu hari libur tambahan setelah sejumlah hari libur nasional lainnya. Presiden Megawati menyatakannya pada perayaan Imlek Nasional ke-2553 di Arena Pekan Raya Jakarta, Ahad pekan silam. Para pegawai kantor institusi asing yang selama ini setiap Jumat sore bersorak, "Thanks God, it's Friday," dan liburnya mengikuti libur nasional, suatu hari mestinya akan mengatakan, "Thanks Bu Mega, it's Imlek."
Tapi penetapan perayaan Imlek menjadi hari besar nasional disambut hati-hati, bahkan oleh kalangan keturunan Tionghoa sekalipun. Sinolog Thung Ju Lan, wanita berdarah Tionghoa yang pernah ingin jadi biksuni, yang kini bergelar S3 dan ahli peneliti di LIPI, melihat risiko dalam keputusan Presiden Megawati tersebut. Katanya, sulit berbicara dalam masyarakat yang plural?setiap orang atau kelompok punya aspirasi berbeda. Di sisi hak asasi, keputusan Mega itu bagus dan benar karena berarti dia memperhatikan aspirasi satu kelompok yang bisa dikatakan minoritas di Indonesia.
Tapi Ju (baca: Yu) Lan khawatir, Mega sudah melemparkan pisau bermata dua. Minoritas Tionghoa akan berterima kasih kepadanya, tapi bisa jadi kelompok lain minta perlakuan yang sama. Atas dasar agama, misalnya, kelompok agama Kaharingan di Kalimantan bisa jadi menginginkan agar perayaan agama atau etnis mereka menjadi libur nasional. Tidak tertutup kemungkinan kelompok lainnya, atas nama agama atau etnis, bertindak sama. Padahal di Indonesia ada sekitar 300 etnis. Jika semua minta hari besar mereka menjadi libur nasional, bayangkan banyaknya hari libur di Indonesia.
H. Junus Jahja, Ketua Umum Yayasan Haji Karim Oei, punya kecemasan juga. "Dari sudut pandang etnis, keputusan itu merupakan peluang bagi ekspresi budaya Tionghoa, yang selama Orde Baru telah dipasung. Tapi, dari identitas nasional, ada kekhawatiran pen-tionghoa-an kembali warga keturunan Tionghoa," katanya. Junus Jahja termasuk yang meyakini bahwa orientasi keturunan Tionghoa kelahiran pasca-1965 sudah Indonesia dan bahkan global.
Imlek lahir dari tradisi di Tiongkok sejak lebih dari 2.000 tahun silam. Sebelum Konfusianisme dan Buddhisme berkembang di sana, masyarakat terbiasa merayakan datangnya awal musim semi, ketika dingin sudah lewat dan pepohonan siap menyambut matahari. Setelah Konfusianisme dan Buddhisme mewarnai kehidupan mereka, perayaan ini dipengaruhi dua ajaran tersebut.
Thung Ju Lan sulit menyatakan apakah perayaan Imlek itu ritus agama atau tradisi. Tak mudah mengatakan Imlek hanya milik pemeluk Konghucu. Sama sulitnya juga mengatakan Imlek bukan milik orang Cina. Artinya, perayaan Imlek tidak bisa diklaim sebagai perayaan "terlalu" agama. "Sama sekali tidak," kata Ju Lan. Tapi dikatakan bukan acara agama pun tidak bisa. "Jalan tengahnya, jangan diperdebatkan ke agama atau tradisi. Kalau percaya, boleh merayakan. Kalau tidak, juga tidak apa-apa."
Di Tiongkok?atau di kawasan empat musim lainnya tempat keturunan Tionghoa berdomisili?perayaan Imlek adalah awal musim semi. Sedangkan di Indonesia, kemeriahan pesta Imlek, yang hampir selalu diguyur hujan (dan terkadang banjir), bukan terikat pada musim, tapi bergantung pada rezim yang berkuasa. Di zaman Orde Baru, ketika indoktrinasi Pancasila terkadang melebihi penyebaran ajaran agama, Imlek dan perayaan etnis Tionghoa lainnya malah dibungkam oleh Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pembatasan Agama, Kepercayaan, dan Adat Cina.
Pemerintahan B.J. Habibie mulai longgar. Inpres Nomor 26/1998 menghentikan penggunaan istilah pri dan nonpri, memperlakukan semua warga negara sama tanpa membedakan ras, dan seterusnya. Saat itu, Brigjen (Purn.) Tedy Jusuf sempat ke Sekretariat Negara, Departemen Pertahanan dan Keamanan, dan MPR, minta izin agar tahun baru Imlek bisa dirayakan terbuka.
Presiden Abdurrahman Wahid, yang dalam suatu pidato di Beijing mengaku ada garis Tionghoanya, mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000, mencabut Inpres Nomor 14/1967. Abdurrahman membolehkan Imlek dan Cap Go Meh (hari ke-15 bulan pertama) dirayakan terbuka. Cuma, untuk hari pertama Imlek, dia menetapkan fakultatif, boleh libur bisa tidak. Kata Johan Effendi, pendampingnya di Sekretariat Negara, Abdurrahman tak mau drastis karena birokrasi belum siap. Selain itu, seperti dituturkan kembali oleh Ketua Masyarakat Konghucu Indonesia Jawa Timur, Bingki Irawan, Abdurrahman menilai hari libur nasional sudah banyak. Saat itu, Bingki mengusulkan tahun baru Imlek menjadi libur nasional untuk menunjukkan kebersamaan sesama warga Indonesia. Supaya bisa saling bersilaturahmi tanpa benturan dengan hari kerja, katanya.
Mega tampaknya yakin, kini saatnya ia memberikan ketetapan, tanpa penjelasan panjang-lebar mengenai alasan-alasannya. Namun, Ketua MPR Amien Rais menilai, penetapan tahun baru Imlek sebagai hari libur nasional wajar. Alasannya, demi rasa keadilan. Hal senada diungkapkan cendekiawan muslim Nurcholish Madjid, yang sudah lama mengajukan hal ini. Yang penting, tak perlu dipertentangkan lagi, libur Imlek itu tradisi atau ritus suatu ajaran agama (bagi yang percaya). Dua-duanya tak salah, kata Johan Effendi.
Mohamad Cholid, Leanika Tanjung, Tomi Lebang, I G.G. Maha Adi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini