BARAK itu mirip tangsi darurat. Ratusan orang berjejalan dalam kotak sempit bersekat empat. Mereka tidur bergelimpangan di mana saja, di ruang tengah, di ruang terbuka, beralas plastik, kain, koran, atau apa saja. Bantalnya cukup tas pakaian.
Kamar mandi amat terbatas. Juga kakus. Cuma enam untuk ratusan, mungkin malah ribuan, orang. Kalau seorang butuh sepuluh menit saja untuk mandi, cuci, dan buang hajat, tiap hari dalam 24 jam kakus-kakus itu tak pernah sedetik pun lowong. Fully-booked.
Dalam kotak-kotak sempit itulah Supijati hidup, bernapas, mandi, juga bermimpi. Perempuan asal Magelang ini tadinya kepingin jadi pembantu di Hong Kong. Teman-teman yang lebih dulu berangkat kelihatannya hidup senang. Gajinya jutaan. Selain bisa buat mengirimi emak di kampung, sisanya untuk ditabung. Minyak wanginya harum lembut, tidak seperti klonyo kampung yang nyegrak itu. Bajunya cakep. Naik pesawat, lagi. Kurang apa?
Tapi PT Jatim Karya Sukses Bersama (Jatim Karya), perusahaan yang berjanji membawanya ke Hong Kong, ternyata malah mengirimnya ke kotak neraka sempit itu. Katanya, sambil menungu panggilan, mereka bisa "memantapkan" pemakaian bahasa Inggris. Maka, jadilah Supijati, bersama ribuan perempuan lain dari desa-desa di pelosok Jawa, menenggelamkan mimpinya dengan hidup berjejalan seperti ikan pindang, makan kerak nasi campur garam dan kangkung rebus.
Tapi penantian menunggu mimpi itu ternyata terasa lama. Supijati sudah tiga bulan, teman lain malah ada yang sudah lewat enam bulan, bahkan setahun. Putus asa dengan nasib yang tak jelas, perlakuan yang tak patut, bahkan tindak kekerasan, Supijati dan kawan-kawan nekat kabur. Dua pekan lalu, mereka menjebol pintu pagar berpelat besi setinggi empat meter, melarikan diri dari kamp penampungan di pinggiran Surabaya.
Kaburnya calon tenaga kerja dari Jatim Karya bukan sekali ini. Tahun lalu, ribuan calon pembantu dengan dibantu warga setempat juga berontak. Waktu itu barak penampungan memang sempat dikosongkan. Tapi itu tidak lama. Entah bagaimana caranya, tangsi darurat yang mirip tempat penjualan budak itu beroperasi kembali.
Penindasan kepada calon tenaga kerja yang akan dikirim ke luar negeri bukan lagi hal yang ganjil. Eddy Purwanto dari Konsorsium Pekerja Buruh Migran (Kopbumi) mengatakan, ada puluhan ribu calon buruh migran yang berada di barak-barak tak layak huni. "Sebagian malah menderita siksaan fisik," katanya.
Eddy punya contoh. Seorang instruktur perusahaan calo tenaga kerja di Blitar memaksa Rina Listiyani mencium tainya sendiri! Para buruh ini umumnya memilih diam karena tak paham hukum. Kalaupun melapor, tak pernah ada hasilnya. Rina, yang mengadukan masalahnya melalui sebuah LSM sejak tahun lalu, hingga saat ini tak mendapat apa-apa.
Direktur Utama Jatim Karya, Gunawan, membantah adanya penyiksaan. Ia mengaku hanya ingin menerapkan aturan dan menegakkan disiplin. Bagi calon buruh migran, ini sangat penting. "Jika disiplinnya kurang, bahasa Inggrisnya pas-pasan," kata Gunawan, "mereka bakal gagal, jadi pelacur, atau bunuh diri." Seram juga, kan? Tapi dalih itu tentu saja tidak bisa menjadi alasan untuk bertindak kejam.
Menurut Eddy, yang terjadi saat ini bukan pengiriman tenaga kerja, melainkan perdagangan manusia. Perusahaan calo tenaga kerja berlomba-lomba memperbanyak "stok"-nya. Meskipun sepi order, mereka terus menumpuk persediaan calon tenaga kerja agar selalu siaga jika sekali waktu ada pesanan. Dengan cara seperti ini, perlakukan terhadap calon-calon penghasil devisa itu makin buruk saja.
Data Departemen Tenaga Kerja menunjukkan, kini ada sekitar lima juta tenaga kerja kasar Indonesia yang tersebar di Asia Tenggara, Australia, Eropa, dan Amerika. Tahun lalu, mereka ikut menggemukkan cadangan devisa negara dengan mengirimkan sekitar US$ 2,2 miliar. Ini setara dengan hasil ekspor kita selama setengah bulan. Lebih dari lumayan.
Tampaknya segala kekacauan ini bisa terjadi karena perangkat hukum untuk menindak para calo tidak ada. Dalam keputusan menteri yang mengatur soal ini, sanksi terhadap para calo hanyalah peringatan tertulis dan skorsing. Ringan sekali. "Ini membuat perusahaan pengerah tenaga kerja tak takut berbuat semaunya," kata Eddy.
Menaikkan derajat aturan dari sekadar keputusan menteri menjadi undang-undang mungkin merupakan langkah penting dan strategis. Tapi lebih penting lagi jika derajat aturan yang hebat itu disertai dengan sanksi yang keras dan upaya penegakan yang sungguh-sungguh. Bukan lantaran para buruh itu berjasa ikut mencetak devisa, melainkan karena mereka sama seperti kita?bukan binatang liar yang bisa disepak-tendang semau gue.
Leanika Tanjung, Kukuh S. Wibowo (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini