SEBELUM 1981, pengadaan buku teks oleh Departemen P & K diatur oleh direktorat masing-masing. Misalnya, buku teks untuk SD diadakan oleh Direktorat Pendidikan Dasar, untuk sekolah kejuruan oleh Direktorat Pendidikan Kejuruan. Seluruhnya ada 13 lembaga pengadaan buku dari SD hingga SMTA, dulu. Bisa diduga, meski masih dibawah satu departemen, lembaga yang satu tipis hubungannya dengan lembaga yang lain, sehingga isi buku teks untuk SD dengan buku teks untuk SMP, misalnya, bisa saja tak bersambung. Itu sebabnya, pada 1981 Menteri P & K, waktu itu Dr. Daoet Joesoef, membentuk yang disebut Proyek Buku Terpadu. Tugasnya, jelas, memadukan proyek pengadaan buku yang terpencar di 13 lembaga itu. Sehingga, praktis, akhirnya inisiatif pengadaan buku teks untuk SD sampai sekolah lanjutan dikendalikan oleh proyek ini. Dari sejak berdiri hingga tahun ini, Proyek Buku Terpadu telah menggarap 29 naskah buku teks untuk siswa dan pegangan guru, dalam bidang matematika dan ilmu pengetahuan alam. Tapi yang boleh dicetak mulai Maret ini baru delapan naskah buku matematika (yang bikin heboh itu), dan delapan naskah ilmu pengetahuan alam. Menurut Soemardi Hadisoebroto, 50, pimpinan Proyek sekarang, "kesulitan utama Proyek Buku Terpadu adalah dalam mencari penulis dan editornya," Kriteria pokok bagi penulis buku teks, "dari kalangan perguruan tinggi, diketahui sering menulis, baik disuratkabar, majalah, maupun yang memang sudah menulis buku." Sulitnya, kata Soemardi pula, para penulis yang memenuhi syarat biasanya terikat dengan pekerjaan rutin mereka. Dulu, sebuah naskah buku teks dikerjakan oleh tiga atau empat orang. Tapi ternyata banyaknya penulis malahan memperlambat selesainya naskah. "Pikiran banyak orang ternyata susah disatukan," kata Soemardi, yang sebelum memegang Proyak, menjadi salah satu staf di Pusat Inovasi Pendidikan di Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan (BP3K) Departemen P & K. Maka, kini ditentukan penulis buku cukup dua orang, dengan editor tiga orang. Nah, cara kerja seperti itulah yang dikritik banyak orang. Proyek hanya menyediakan uang rata-rata Rp 13 juta untuk sebuah judul naskah (separuhnya untuk membayar imbalan bagi penulis dan editor, sisanya untuk biaya uji coba di lapangan), sementara penulis dan editor merupakan tenaga kontrakan yang kurang terikat disiplin. Celakanya menurut sumber TEMPO yang tak mau disebut namanya, biasanya pihak editor baru mendapatkan naskah pada waktu tertentu. Yakni, bila Proyek membuka pertemuan antara editor dan penulis. Pertemuan biasanya berlangsung di sebuah hotel, selama tiga hari tiga malam. Itulah kesempatan editor membaca naskah sekaligus mengoreksinya. Bayangkan saja, bila sebuah buku teks matematika untuk SMP setebal 150 halaman, harus dibaca dan dikoreksi dalam waktu tiga hari. Masih ditambah lagi, sang editor bekerja setengah-setengah, karena sebenarnya ia pun punya pekerjaan pokok yang lain. Maka, meski ada tiga editor dan diantaranya ada pula guru bidang studi sesuai dengan bidang naskah yang diperiksanya, tak banyak kesempatan meneliti benar-benar segalanya. Tambahan lagi, demikian sumber TEMPO itu, tak ada jaminan koreksian editor benar-benar diterima oleh penulis naskah. Bayangkan, bila Ketua BP3K, yang berhak memfiat pencetakan naskah, teledor. Bisa sebuah buku teks resmi penuh cacat, dan harus dipelajari, setidaknya oleh semua siswa sekolah negeri di seluruh Indonesia. Tapi Soemardi membantah sinyalemen itu. "Yang kami ketahui, mereka bekerja di tempat masing-masing juga, tidak hanya bila ada pertemuan," katanya. Cuma, pimpinan proyek ini pun mengakui, adanya penulisan dan editor tetap di Proyek sendiri memang ideal. "Kami memang akan membentuk tim editor dan penulis tetap," ujarnya lagi. Tak jelas adakah gagasan itu muncul setelah ada heboh penangguhan pencetakan naskah buku matematika. Yang pasti, selain 29 naskah yang kini digarap, sedang dikerjakan pula revisi buku pelajaran bahasa Inggris yang kini dipakai di sekolah lanjutan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini