"PARA guru dipersilakan melihat tabel perjalanan kereta api di kelurahan setempat," bunyi sebuah kalimat dalam buku matematika untuk guru sekolah lanjutan. Kemudian dalam buku untuk siswa ada soal dimulai dengan "50 pelajar berjalan kaki memakai topi ...." Ajaib. Mana ada kantor lurah di Indonesia menyimpan tabel perjalanan kereta api. Dan sulit dijumpai serombongan pelajar bertopi berjalan kaki tanpa tujuan. Maka, tim revisi yang terdiri dari guru matematika sekolah lanjutan mengganti "tabel perjalanan kereta api" dengan tabel jumlah penduduk. Sementara itu, "50 pelajar bertopi" dipersilakan berdarmawisata. Koreksian seperti itulah, antara lain, yang dilakukan tim pada naskah buku matematika untuk siswa dan guru sekolah lanjutan. Buku ini, yang semula ditangguhkan pencetakannya dan sempat bikin ramai (TEMPO, 24 Maret) setelah direvisi, akhir Maret ini, menurut Menteri P & K pekan lalu, boleh dicetak. Tim revisi yang memeriksa empat buku matematika untuk guru dan empat untuk siswa (dan semuanya buku untuk sekolah lanjutan) antara lain membenahi salah cetak menyeragamkan istilah, memperbaiki kalimat, dan menyesuaikan contoh-contoh soal dengan kondisi di Indonesia. Misalnya, dalam sebuah buku kadang-kadang dipakai istilah "unsur", lain kali digunakan kata "elemen". Contoh yang lain ada tiga istilah yang dipakai bergantian ("simetri sumbu", "simetri cermin", dan "simetri bilateral") untuk menunjukkan satu hal. "Diputuskan untuk menuliskan satu istilah saja, sedangkan istilah sionimnya diberikan pada awal istilah itu diperkenalkan," kata Al. Krismanto, guru matematika SMAN Sleman, Yogyakarta, salah seorang anggota Tim. Maka, sebenarnya "tak ada perubahan fundamental ataupun perubahan materi," tutur Soegiman Prawiroatmodjo, bekas guru matematika SMAN XX, Jakarta, Ketua Tim. Tapi tak berarti perbaikan kecil-kecilan seperti itu tidak penting. Berdasarkan pengalaman di dalam kelas, seorang siswa SMA bisa sangat bingung dengan istilah "simetri sumbu" yang kadang-kadang disebut dengan istilah lain. "Bahkan guru pun bisa bingung," kata Soegiman, yang kini menjadi instruktur Program Pemantapan Kerja Guru Sekolah Lanjutan Umum, Kanwil P & K DKI Jakarta. Soalnya, matematika, berbeda dengan ilmu berhitung dan ilmu pasti dulu, sangat mementingkan kerangka berpikir logis." "Dulu, pengajaran ilmu pasti, ilmu ukur misalnya, bisa dilakukan dengan cara murid menghafalkan rumus dan alsioma," tutur Mohamad Soleh, bekas guru matematika di SMPN 95, Jakarta, Anggota Tim. Tapi matematika modern diajarkan dengan pendekatan empiris, atau pengalaman nyata. "Diberikan dulu pengertian-pengertian, contoh soal, baru sampai pada aksioma atau rumus-rumus," tutur Mohamad Soleh. Dengan kata lain, siswa diharuskan aktif berpikir, seolah-olah mereka sendirilah yang menemukan rumus-rumus dan aksioma. Repotnya, diakui oleh Soegiman, cara seperti itu mungkin sekali menyebabkan "siswa lambat dalam menjawab persoalan sederhana." Misalnya, bila seorang siswa diminta menjumlahkan atau mengalikan angka-angka. "Tapi persoalan seperti itu 'kan kini gampang diatasi dengan kalkulator," katanya. Sedangkan untuk memecahkan soal-soal rumit, logika matematika tradisional akan mengalami kesulitan. "Kini banyak perkembangan baru, misalnya soal komputer, yang harus dipecahkan dengan cara pendekatan matematika modern," ujar Mohamad Soleh. DENGAN kata lain, pelajaran matematika kini memang mempersiapkan siswa menghadapi perkembangan ilmu dan teknologi A. Luwiyono, guru matematika di SMAN I Jakarta membenarkan jalan pikiran tim revisi. Sebagaimana juga pernah dikatakan oleh Wirasto, salah seorang penyusun buku matematika untuk siswa dari SD hingga SMTA, matematika modern erat sekali hubungannya dengan logika bahasa. Soal-soal matematika kini tidak semata-mata persoalan menghitung dan mengukur. Di tingkat SMTA, soal-soal matematika yang disebut "matematika rekreasi" bisa mirip teka-teki. Luwiyono memberikan satu contoh soal. Bagaimana seorang pencuri yang hanya bermodalkan dua papan berukuran panjang 285 cm bisa menggasak semangka di kebun pak tani berbentuk segi empat, yang dikelilingi kolam dengan lebar 300 cm dan dalamnya 450 cm. Dengan teori ilmu ukur apa pun, dengan rumus-rumus aljabar yang pelik sekalipun, soal itu tak akan terpecahkan. Sebab, jawabnya, kata Luwiyono sambil tertawa, pencuri itu harus melintangkan sebuah papan pada kedua sisi salah satu sudut kolam. Nah, dari papan yang melintang itulah, sebuah papan lainnya bisa dihubungkan dengan kebun pak tani itu. Rahasianya, dengan melintangkan papan di sudut kolam, lebar kolam dipersempit, maka papan yang panjangnya kurang dari lebar kolam, bisa dimanfaatkan sebagai jembatan. Apa pun namanya, soal ini memang memberikan latihan berpikir. Tak semua siswa, tentu, tahu jawabnya. Maka, usul tim revisi yang penting, agar dibuatkan lembaran tambahan pelajaran matematika bagi siswa-siswa yang kurang pintar dalam pelajaran ini. "Lembaran tambahan itu harus berisi soal-soal yang mudah. Jadi, seperti menuntut siswa yang ketinggalan," kata Mohamad Soleh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini