Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Lima Tahun Kasus Covid-19 di Indonesia: Cerita Pasien Kesulitan Cari Rumah Sakit

Kasus penyebaran Covid-19 di Indonesia terjadi dalam tiga gelombang di rentang 2020 hingga 2022.

2 Maret 2025 | 11.19 WIB

Ilustrasi Vaksin Covid-19. Johannes P Christo
Perbesar
Ilustrasi Vaksin Covid-19. Johannes P Christo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Masa pandemi Covid-19 memberikan pengalaman pahit dan getir bagi sebagian besar orang. Tanggal 2 Maret 2025 menjadi peringatan lima tahun kasus Covid-19 pertama ditemukan di Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pemerintah menetapkan Covid-19 sebagai bencana nasional pada pertengahan Maret 2020. Menyusul keputusan World Health Organization atau WHO yang menetapkan Covid-19 sebagai pandemi global.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Kasus penyebaran Covid-19 di Indonesia terjadi dalam tiga gelombang di rentang 2020 hingga 2022. Presiden kala itu, Joko Widodo pada Juni 2023 akhirnya mencabut status pandemi menjadi endemi Covid-19 di Indonesia setelah melalui berbagai pertimbangan angka kasus yang mendekati nihil.

Melongok ke belakang, Indonesia sempat dibuat mati total karena penyebaran virus yang bermuara dari Wuhan, Cina ini. Salah satunya saat pasien terinfeksi Covid-19 sulit mendapatkan rumah sakit.

Misalnya yang dialami oleh Evi Mariani. Ia kesulitan mendapatkan rumah sakit untuk menangani ayahnya yang terpapar Covid-19. Ceritanya dibagikan melalui akun sosial medianya, dan sudah diizinkan untuk dikutip.

Ayahnya berusia 79 tahun. Kala itu kondisinya cukup parah, bahkan sempat tidak sadarkan diri. Gejala Covid-19 membuat ayah Evi kesulitan makan.

Evi bercerita, sudah tiga hari berusaha mencari rumah sakit di Bandung yang bisa merawat ayahnya. Namun, beberapa rumah sakit yang dituju menyatakan penuh.

Berbagai cara Evi lakukan supaya ayahnya segera mendapatkan penanganan. Ayah Evi sempat diperbolehkan datang ke IGD salah satu rumah sakit, tapi tetap harus antre.

Evi juga mencari puskesmas terdekat, tapi belum menjadi solusi. Di tengah kesulitan mendapatkan rumah sakit, ia mencoba untuk berburu tabung oksigen dari internet, mencari obat sendiri, hingga berkonsultasi dengan dokter tanpa tatap muka langsung.

"Upaya lain yang kami lakukan, dan lumayan berhasil, seluruhnya kami upayakan di luar sistem kesehatan nasional, alias pakai mekanisme pasar," ujarnya pada Juni 2021 silam.

Usaha pencarian rumah sakit untuk ayahnya itu membuahkan hasil. Evi mendapatkan satu rumah sakit yang mampu menampung ayahnya, meskipun lokasinya di Kabupaten Bogor.

Ayah Evi diantar dengan taksi dari Bandung ke Bogor. Tak ada sanak famili yang ikut mengantar lantaran seluruh penghuni rumah sedang sakit. Pun dengan Evi yang harus menahan diri tidak ke Bandung sejak 2019, menetap di Tangerang Selatan.

Pengalaman serupa juga dialami oleh Sari Madjid, adik dari Ratna Riantiarno. Kakaknya dinyatakan positif Covid-19 setelah diperiksa di RSPI Bintaro.

Akan tetapi, rumah sakit itu tidak bisa menampung Ratna lantaran ruang ICU sudah penuh. Sari kelimpungan. Ia segera mencari rumah sakit rujukan yang ruang ICU-nya masih tersedia. Dari lima rumah sakit itu, Ratna hanya sampai di daftar tunggu saja. Beberapa saat setelah pencarian lanjutan, Sari mendapatkan kabar dari RSUD Duren Sawit. Isi kabarnya menyatakan ada ruang ICU kosong yang bisa ditempati oleh kakaknya.

Kepala Dinas Kesehatan Yogyakarta saat itu, Pembajun Setyaningastutie, menyatakan ada sejumlah alasan rumah sakit menolak pasien Covid-19. Pertama, rata-rata rumah sakit menerapkan sistem kohorting.

Sistem ini mengatur penempatan pasien terinfeksi atau kolonisasi patogen yang sama di ruang yang sama, sehingga pasien lain tanpa patogen yang sama dilarang masuk.

Faktor pertama yang mempengaruhi rumah sakit menolak pasien bisa jadi karena perbedaan jenis kelamin dalam satu ruangan. Faktor kedua, rumah sakit akan menolak menerima pasien, jika dalam satu ruang yang disediakan untuk penanganan Covid-19 isinya pasien berusia dewasa seluruhnya, sedangkan yang akan masuk adalah pasien anak-anak.

"Faktor ketiga, jika ada sisa ranjang kosong tapi ranjang yang satunya diisi pasien Covid-19 dengan penyakit penyerta seperti TBC, tentu tak bisa jadi satu karena penanganannya berbeda," ujarnya, Senin, 11 Januari 2021.

Keempat, ada sisa ranjang kosong tetapi oleh rumah sakit itu memang sengaja disiapkan khusus untuk internal staf medis yang bekerja di rumah sakit itu. Sehingga tidak bisa diberikan kepada pasien umum.

ARSIP TEMPO

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus