Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Warga Kampung Pasir Panjang menerima pesan berantai agar mereka berkumpul dan menemui Wali Kota Batam.
Warga berkukuh menolak direlokasi dari lokasi proyek Rempang Eco-City.
Komnas HAM bertemu dengan kementerian dan lembaga pemerintah guna membahas rekomendasi dugaan pelanggaran HAM di Rempang.
BATAM – Pesan berantai melalui aplikasi perpesanan WhatsApp diterima warga RW 03, Kampung Pasir Panjang, termasuk Sukadi—bukan nama sebenarnya—pada Sabtu, 23 September lalu. Pesan tersebut dikirim Kepala Seksi Ketenteraman dan Ketertiban Kelurahan Rempang Cate, Agus Sofyan, yang mengatasnamakan lurah setempat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Isinya, undangan bagi seluruh warga RW 03, Kampung Pasir Panjang, untuk menemui Wali Kota Batam Muhammad Rudi di Asrama Haji Batam Centre pada Ahad, 24 September 2023, pukul 08.30 WIB. "Pertemuan tersebut berhubungan dengan relokasi. Kami tidak mau datang karena kami sudah menyatakan menolak," kata Sukadi kepada Tempo, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Petugas Tim Terpadu BP Batam memberikan sosialisasi kepada warga untuk pendataan relokasi di Sembulang, Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau, 17 September 2023. ANTARA/Teguh Prihatna
Pria berusia 40 tahun ini menuturkan Badan Pengusahaan Perdagangan dan Pelabuhan Bebas (BP) Batam menyiapkan 10 bus yang siap mengantar-jemput masyarakat ke lokasi persamuhan. "Mereka yang datang untuk hadir dalam pertemuan itu adalah pendatang, yang setuju direlokasi. Kami tetap menolak relokasi," ujarnya.
Baca:
Rekomendasi Komnas HAM dalam Konflik Rempang
Terusir dari Tanah Sendiri
Temuan Maladministrasi di Rempang
Cerita Sukadi itu diperkuat oleh Rahmat, warga Kampung Monggak, Kelurahan Rempang Cate. Rahmat mengatakan sejumlah bus terparkir di wilayah Kampung Pasir Panjang sejak Ahad pagi. Dia menuturkan, dari pengamatannya, sebagian warga Pasir Panjang menolak hadir dan memilih berdiam di posko bantuan hukum.
Rahmat menyatakan dirinya memang bukan warga Kampung Pasir Panjang. Namun dia sempat berkeliling di beberapa kampung, seperti Kampung Sembulang, Sembulang Hulu, Blonkeng, dan Pasir Panjang, sejak beberapa hari lalu. "Saya juga tahu bahwa Tim Terpadu BP Batam keluar-masuk kampung menemui warga sejak Jumat pekan lalu."
Relokasi warga di Pulau Rempang bermula dari rencana pemerintah menjadikan kawasan ini sebagai perpaduan industri, perdagangan, dan wisata dengan nama Rempang Eco-City. BP Batam ditunjuk untuk mengawal realisasi investasi proyek dengan target investasi Rp 381 triliun pada 2080 ini. Kampung Sembulang, Sembulang Hulu, Pasir Panjang, dan Blonkeng merupakan kampung yang menjadi prioritas tahap pertama proyek Rempang Eco-City. Di tiga kampung selain Blonkeng nantinya dibangun industri produksi kaca asal Tiongkok.
Upaya relokasi warga di empat dari 16 kampung tak mulus karena tidak semuanya bersedia meninggalkan kampung yang didiami sejak ratusan tahun silam itu. Dampak penolakan itu adalah kericuhan yang berujung bentrokan antara warga dan aparat pada 7 dan 11 September lalu.
Kepala BP Batam Muhammad Rudi mengatakan warga direlokasi dengan alasan industri yang bakal dibangun berbahan baku pasir kuarsa dan silika yang dapat menimbulkan polusi serta masalah kesehatan bagi masyarakat. Pengosongan Pulau Rempang dan relokasi warga ditargetkan bisa dimulai pada 28 September mendatang.
Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia dua kali menyambangi dan bertemu dengan tokoh masyarakat Pulau Rempang-Galang, Gerisman Ahmad, di Kampung Pantai Melayu pada Minggu dan Senin dua pekan lalu. Bahlil mengatakan investasi yang masuk ke Rempang bakal membuka lapangan pekerjaan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. "Saya ingin berbicara dengan keluarga-keluarga di sana. Mau cepat atau lambat (relokasi), itu soal lain. Tapi caranya saja yang kami perhatikan."
Politikus partai Golkar itu juga menyebutkan BP Batam menyiapkan dana Rp 1,2 juta per bulan bagi warga selama masa transisi relokasi hingga mendapat hunian. Dia juga berjanji proyek Rempang Eco-City tidak akan mengganggu makam-makam leluhur masyarakat.
Sukadi mengatakan masyarakat Kampung Pasir Panjang tetap menolak direlokasi. Masyarakat berkukuh menolak meski Menteri Bahlil telah menemui Gerisman, Tokoh Kekerabatan Masyarakat Adat Tempatan (Keramat) Galang-Rempang. "Kami tetap dengan sikap sebelumnya, menolak relokasi," ucap Sukadi.
Dia menyatakan masyarakat bakal mengambil langkah hukum apabila BP Batam tetap menggusur mereka secara paksa pada 28 September mendatang—batas waktu bagi BP Batam mengosongkan Pulau Rempang dan merelokasi warga. "Kami akan gugat ke pengadilan," ujarnya.
Tim Terpadu BP Batam melakukan pemasangan patok tata batas di Sembulang. Istimewa
Rokhimah, warga Kampung Sembulang Sijantung yang hadir dalam persamuhan Menteri Bahlil dan Gerisman, mengatakan tetap pada pendiriannya, yaitu menolak relokasi. "Kami lahir di sini, tanah kami di sini. Kenapa kami harus diusir?" ujarnya. Dia menegaskan bahwa masyarakat Rempang tidak menolak investasi untuk pertumbuhan ekonomi. "Cuma, jangan pindahkan rumah kami. Kenapa bukan proyeknya saja yang dipindahkan."
Anggota Solidaritas Nasional untuk Rempang dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Ahmad Fauzi, mengatakan kegiatan door-to-door atau menyambangi warga dari rumah ke rumah oleh Tim Terpadu BP Batam makin gencar dilakukan. Gencarnya aksi ini seiring dengan makin dekatnya masa pengosongan pada 28 September mendatang.
Menurut Fauzi, Tim Terpadu, yang didampingi personel TNI dan Polri saat mendatangi tiap rumah, membuat masyarakat terintimidasi. "Mereka mendatangi rumah warga hanya untuk meminta tanda tangan persetujuan relokasi. Itu membuat warga tidak nyaman," kata Fauzi.
Solidaritas Nasional untuk Rempang meminta Kepala Polri dan Panglima TNI menarik mundur pasukannya dari Pulau Rempang. Fauzi juga meminta Kapolri dan Panglima TNI tidak asal memberikan pernyataan dengan menyatakan bakal menambah jumlah pasukan.
Kepala Bidang Humas Kepolisian Daerah Kepulauan Riau, Komisaris Besar Zahwani Pandra Arsyad, mengatakan pasukan bakal ditarik mundur dengan melihat perkembangan di lapangan. Namun, kata Pandra, "Semua dilakukan untuk melindungi masyarakat. Kami akan tarik secara situasional."
Kepala Biro Humas Promosi dan Protokol BP Batam, Ariastuty Sirait, tidak menjawab pesan pertanyaan Tempo ihwal rencana pengosongan pada 28 September mendatang. Hingga semalam, pesan yang dikirim melalui nomor telepon selulernya berstatus terkirim.
Meski begitu, Kepala BP Batam Muhammad Rudi, dalam keterangannya pada pekan lalu, mengatakan pihaknya terus mensosialisasi perihal pengosongan pada 28 September kepada warga. "Yang penting saya bekerja. Sampai kapan selesai, kita tunggu saja," ujar Rudi, pekan lalu. Dia juga menegaskan bahwa pihaknya menunggu perintah pemerintah pusat.
Rudi menjelaskan, setelah kunjungan Menteri Bahlil pada Ahad dan Senin lalu, warga mendapat pilihan tambahan lokasi untuk direlokasi. Warga bisa memilih hunian di kawasan Dapur 3 atau Tanjung Banon. "Kami terus melakukan sosialisasi dan pendekatan kepada warga agar masalah ini selesai," ujarnya.
Komnas HAM Bertemu Pemerintah Bahas Rekomendasi
Dalam kesempatan terpisah, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) berencana menggelar pertemuan dengan sejumlah lembaga dan kementerian perihal proyek Rempang Eco-City. Pertemuan akan berlangsung pada hari ini, 25 September 2023. Pertemuan tersebut untuk menindaklanjuti rekomendasi Komnas HAM atas pemantauan dan penyelidikan secara langsung ihwal konflik di Pulau Rempang. Pemantauan dilakukan pada 15-17 September lalu.
Wakil Ketua Eksternal Komnas HAM Abdul Haris Semendawai memberikan keterangan pers mengenai temuan awal, sikap, dan rencana tindak lanjut atas penanganan kasus Pulau Rempang di kantor Komnas HAM, Jakarta, 22 September 2023. TEMPO/Subekti
Komnas HAM merekomendasikan delapan hal, antara lain meminta Menteri Koordinator Perekonomian meninjau kembali pengembangan kawasan Rempang Eco-City sebagai proyek strategis nasional berdasarkan Peraturan Menteri Koordinator Perekonomian Nomor 7 Tahun 2023. Selain itu, Komnas HAM merekomendasikan agar Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional tidak menerbitkan hak pengelolaan lahan (HPL) di Pulau Rempang karena lokasi itu belum clear and clean.
Komisioner Bidang Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM, Saurlin P. Siagian, mengatakan pihaknya bakal meminta pemerintah memperhatikan rekomendasi dan hasil investigasi yang dilakukan Komnas. Dalam pertemuan yang digelar pada Senin ini, dia juga akan meminta pemerintah mencegah terjadinya penggusuran paksa saat pengosongan dan relokasi warga pada 28 September mendatang.
Saurlin berharap pemerintah dapat melaksanakan proyek Rempang Eco-City dengan tetap mengedepankan prinsip-prinsip HAM. "Jangan sampai kerja keras pemerintah selama sembilan tahun terakhir untuk mengupayakan pembangunan kemudian bisa hilang dan tertutupi hanya karena eksesifnya konflik dalam satu tahun terakhir," ujarnya.
Komnas HAM juga bakal menyurati kementerian dan lembaga yang berhubungan dengan proyek di Rempang untuk meluruskan persoalan dugaan pelanggaran HAM yang terjadi di sana, khususnya soal kericuhan pada 7 dan 11 September lalu. Komnas rencananya bertemu dengan Inspektorat Pengawasan Umum Kepolisian guna membahas soal penggunaan kekuatan berlebihan atau excessive force di Rempang, serta upaya pembebasan 34 warga yang ditahan.
Komisioner Mediasi Komnas HAM, Prabianto Mukti Wibowo, tak menampik bahwa temuan Komnas HAM di Rempang menguatkan adanya dugaan pelanggaran HAM. Namun kesimpulan tersebut masih belum dinyatakan resmi oleh sembilan komisioner Komnas HAM lainnya. "Pada intinya, kami akan berupaya meyakinkan pemerintah soal temuan dan rekomendasi kami," ujarnya.
Ketua Bidang Advokasi dan Jaringan YLBHI, Zainal Arifin, mengatakan Komnas HAM memiliki daya paksa untuk secara resmi menyatakan dan meyakinkan pemerintah bahwa telah terjadi pelanggaran HAM di Pulau Rempang. Menurut Zainal, merujuk pada Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, Komnas HAM berwenang melakukan penyelidikan pro justitia dengan membentuk tim ad hoc. "Jadi, seharusnya Komnas HAM melakukan penyelidikan pro justitia untuk kasus ini karena merupakan pelanggaran HAM," kata Zainal.
Menurut dia, merujuk pada Pasal 9 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, insiden di Rempang sebetulnya telah memenuhi unsur untuk dinyatakan sebagai pelanggaran HAM. "Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa di Rempang adalah pelanggaran HAM," ujar dia. "Jadi, Komnas HAM tidak hanya punya rekomendasi, tapi juga daya paksa lewat penyelidikan pro justitia."
ANDI ADAM FATURAHMAN
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo