SEKOLAH hanya mencari status dan pacar. Guru kurang kreatif,
hanya mengajarkan ilmu yang itu-itu. Murid hanya menelan kata
guru, malas menambah pengetahuan dari luar.
Rentetan serangan terhadap dunia sekolah itu dilemparkan Eko
Sulistyo Maryoto, 19 tahun, di depan diskusi panel tentang
kesehatan jiwa masyarakat, di UGM, 6 Agustus lalu. Bak seorang
Ivan Illich yang menganjurkan 'masyarakat tanpa sekolah', siswa
yang pernah membikin angket seks di sekolahnya itu cenderung
menganggap cara mengajar kebanyakan guru sekarang membunuh
kreativitas murid.
Apakah Eko bukan sekadar membalas sakit hati? Di awal 1983 ia
dikeluarkan dari SMPP 10 Yogyakarta, gara-gara mengedarkan
angket seks tanpa izin sekolah itu. Remaja jangkung, 178 cm itu,
dengan berat badan sekitar 60 kg, mengakui pendapat-pendapatnya
dalam diskusi panel itu memang tak berdasar penelitian. "Cuma
pengamatan dan wawancara sambil lalu," katanya kepada TEMPO.
Tapi ia menyangkal bila dikira ia didorong motif balas dendam.
Memang, ia hanya bisa memegang Surat Tanda Tamat Belajar dari
sebuah SMA swasta yang berstatus sekolah malam. Tapi keuntungan
lain ia peroleh pula: namanya dikenal luas. hingga ia pun
diundang menjadi panelis.
Tapi pertanyaan apa yang pernah ia lontarkan kepada sekitar 20
cewek siswa SMA-SMA favorit di kotanya, hingga tercetus
pendapatnya yang keras itu? Inilah antara lain. "Apabila cowok
Anda datang pada suatu malam dan esoknya ada ulangan, mana yang
lebih penting: menemui pacar atau belajar?" Menurut Eko, 12 dari
20 respondennya menjawab: lebih penting menemui pacar. Lalu:
"Mana yang lebih penting, popularitas sekolah atau mutu
pendidikan sekolah?" Lebih banyak yang menjawab popularitas.
Nah: sekolah ternyata cuma untuk mencari status dan pacar.
Adapun tentang perilaku guru, Eko mengambil dari pengalaman
sendiri. Ia heran, mengapa ketika ia mencoba membikin angket
seks langsung dipecat. Bukan dibimbing bagaimana seharusnya
melakukan penelitian. Ia pun sempat mengingat, bagaimana
kebanyakan gurunya bila ditanya hal-hal yang belum diajarkan
hanya menjawab, "Itu belum saatnya ditanyakan."
Pendapat yang membantah Eko ada juga, rupanya. Judi Sutrisno, 45
tahun, guru fisika SMAN III, Yogyakarta, misalnya. Ia keberatan
bila dikatakan para remaja hanya tertarik oleh nama unggul
sekolah favorit. "Masuk sekolah favorit itu tak gampang,"
katanya. Dicontohkannya sekolahnya sendiri, yang hanya menjaring
lulusan SMP dengan nilai minimal rata-rata 7. Maksudnya,
anak-anak pintar dengan kemauan belajar yang baiklah yang masuk
ke situ.
Bahkan Franciscus Sibarani, siswa SMA Santa Maria, Surabaya,
salah seorang peserta Lomba Karya Ilmu Pengetahuan Remaja tahun
ini, melihat "pacar malah bisa memberi semangat belajar."
Sibarani ini pula yang menganggap guru yang otoriter
kadang-kadang "ada baiknya". Alasannya? "Kalau ada yang
baik-baik dari guru itu kan terpaksa diikuti muridnya," jawab
remaja yang mencoba mempopulerkan peninggalan purbakala di
daerah Trawas, Jawa Timur itu. Sebab kenyataannya hal-hal yang
baik memang jarang ditiru. Yang banyak ditiru adalah yang
buruk-buruk.
Tapi wawancara TEMPO dengan beberapa siswa dari Jakarta tentang
guru mendapatkan lebih banyak siswa yang sependapat dengan Eko.
"Kebanyakan guru menutup pertanyaan murid-muridnya," tutur
Darwin Gunanthy, sekretaris umum OSIS SMAN I, Jakarta.
"Keingintahuan murid tak tersalur. Dan jangan salahkan mereka
kalau lantas jadi malas belajar," sambung Darwin pula. Adrian
Zulfi, ketua OSIS di SMA yang sama pun melihat, jarang guru yang
bisa diajak diskusi. Tapi remaja ini pun menyalahkan rekannya
pula bila ini dijadikan alasan untuk malas. "Tempat belajar tak
hanya di sekolah," katanya. "Juga dalam keluarga dan masyarakat
luas." Tentu bisa diartikan, sekolah tak selalu memenuhi
harapan.
Sikap itu didukung oleh Agus Sutiarso salah seorang remaja
finalis lomba Karya Ilmu Pengetahuan tahun ini. Ia mengamati
kebanyakan siswa SMA memang cuma menggantungkan ilmu dari
gurunya. Tak ada semangat mereka untuk menambah dan mencari ilmu
sendiri. "Saya lihat kalau mereka ke toko buku yang dicarinya
novel pop, bukan buku-buku ilmiah," katanya.
Jadi bagaimana idealnya? Eko menjawab: "Guru seharusnya bisa
menjadi orangtua yang memberi teladan." Juga bisa menjadi teman
murid-muridnya, tanpa harus kehilangan kewibawaan. Dan bisa
menularkan ilmunya kepada siswa dengan kreatif. Jadi sekolah
yang baik tentu saja "sekolah yang cukup memadai fasilitasnya,
dan guru-gurunya ideal".
Pak Guru Judi tadi masih menjawab. "Biasanya, bila seorang guru
bergaul rapat dengan murid-muridnya, kok lantas kehilangan
wibawa," katanya. Ia melihat, guru yang begitu di mata
murid-muridnya tak lagi dipandang dengan hormat. Memang susah
rupanya, ya?
Di samping itu, Pak Guru ini mengakui, banyak guru yang hanya
mengajar sesuai dengan buku, tak lebih tak kurang. Dan mereka
suka menutup pertanyaan siswa bila pertanyaan itu tak ada dalam
buku pelajaran.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini