Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Kritik-kritik eko

Diskusi panel tentang kesehatan jiwa masyarakat di UGM, yogya. eko sulistyo maryoto, 19 (siswa yang pernah membuat angket seks) tampil sebagai panelis-mengkritik perilaku guru. (pdk)

27 Agustus 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEKOLAH hanya mencari status dan pacar. Guru kurang kreatif, hanya mengajarkan ilmu yang itu-itu. Murid hanya menelan kata guru, malas menambah pengetahuan dari luar. Rentetan serangan terhadap dunia sekolah itu dilemparkan Eko Sulistyo Maryoto, 19 tahun, di depan diskusi panel tentang kesehatan jiwa masyarakat, di UGM, 6 Agustus lalu. Bak seorang Ivan Illich yang menganjurkan 'masyarakat tanpa sekolah', siswa yang pernah membikin angket seks di sekolahnya itu cenderung menganggap cara mengajar kebanyakan guru sekarang membunuh kreativitas murid. Apakah Eko bukan sekadar membalas sakit hati? Di awal 1983 ia dikeluarkan dari SMPP 10 Yogyakarta, gara-gara mengedarkan angket seks tanpa izin sekolah itu. Remaja jangkung, 178 cm itu, dengan berat badan sekitar 60 kg, mengakui pendapat-pendapatnya dalam diskusi panel itu memang tak berdasar penelitian. "Cuma pengamatan dan wawancara sambil lalu," katanya kepada TEMPO. Tapi ia menyangkal bila dikira ia didorong motif balas dendam. Memang, ia hanya bisa memegang Surat Tanda Tamat Belajar dari sebuah SMA swasta yang berstatus sekolah malam. Tapi keuntungan lain ia peroleh pula: namanya dikenal luas. hingga ia pun diundang menjadi panelis. Tapi pertanyaan apa yang pernah ia lontarkan kepada sekitar 20 cewek siswa SMA-SMA favorit di kotanya, hingga tercetus pendapatnya yang keras itu? Inilah antara lain. "Apabila cowok Anda datang pada suatu malam dan esoknya ada ulangan, mana yang lebih penting: menemui pacar atau belajar?" Menurut Eko, 12 dari 20 respondennya menjawab: lebih penting menemui pacar. Lalu: "Mana yang lebih penting, popularitas sekolah atau mutu pendidikan sekolah?" Lebih banyak yang menjawab popularitas. Nah: sekolah ternyata cuma untuk mencari status dan pacar. Adapun tentang perilaku guru, Eko mengambil dari pengalaman sendiri. Ia heran, mengapa ketika ia mencoba membikin angket seks langsung dipecat. Bukan dibimbing bagaimana seharusnya melakukan penelitian. Ia pun sempat mengingat, bagaimana kebanyakan gurunya bila ditanya hal-hal yang belum diajarkan hanya menjawab, "Itu belum saatnya ditanyakan." Pendapat yang membantah Eko ada juga, rupanya. Judi Sutrisno, 45 tahun, guru fisika SMAN III, Yogyakarta, misalnya. Ia keberatan bila dikatakan para remaja hanya tertarik oleh nama unggul sekolah favorit. "Masuk sekolah favorit itu tak gampang," katanya. Dicontohkannya sekolahnya sendiri, yang hanya menjaring lulusan SMP dengan nilai minimal rata-rata 7. Maksudnya, anak-anak pintar dengan kemauan belajar yang baiklah yang masuk ke situ. Bahkan Franciscus Sibarani, siswa SMA Santa Maria, Surabaya, salah seorang peserta Lomba Karya Ilmu Pengetahuan Remaja tahun ini, melihat "pacar malah bisa memberi semangat belajar." Sibarani ini pula yang menganggap guru yang otoriter kadang-kadang "ada baiknya". Alasannya? "Kalau ada yang baik-baik dari guru itu kan terpaksa diikuti muridnya," jawab remaja yang mencoba mempopulerkan peninggalan purbakala di daerah Trawas, Jawa Timur itu. Sebab kenyataannya hal-hal yang baik memang jarang ditiru. Yang banyak ditiru adalah yang buruk-buruk. Tapi wawancara TEMPO dengan beberapa siswa dari Jakarta tentang guru mendapatkan lebih banyak siswa yang sependapat dengan Eko. "Kebanyakan guru menutup pertanyaan murid-muridnya," tutur Darwin Gunanthy, sekretaris umum OSIS SMAN I, Jakarta. "Keingintahuan murid tak tersalur. Dan jangan salahkan mereka kalau lantas jadi malas belajar," sambung Darwin pula. Adrian Zulfi, ketua OSIS di SMA yang sama pun melihat, jarang guru yang bisa diajak diskusi. Tapi remaja ini pun menyalahkan rekannya pula bila ini dijadikan alasan untuk malas. "Tempat belajar tak hanya di sekolah," katanya. "Juga dalam keluarga dan masyarakat luas." Tentu bisa diartikan, sekolah tak selalu memenuhi harapan. Sikap itu didukung oleh Agus Sutiarso salah seorang remaja finalis lomba Karya Ilmu Pengetahuan tahun ini. Ia mengamati kebanyakan siswa SMA memang cuma menggantungkan ilmu dari gurunya. Tak ada semangat mereka untuk menambah dan mencari ilmu sendiri. "Saya lihat kalau mereka ke toko buku yang dicarinya novel pop, bukan buku-buku ilmiah," katanya. Jadi bagaimana idealnya? Eko menjawab: "Guru seharusnya bisa menjadi orangtua yang memberi teladan." Juga bisa menjadi teman murid-muridnya, tanpa harus kehilangan kewibawaan. Dan bisa menularkan ilmunya kepada siswa dengan kreatif. Jadi sekolah yang baik tentu saja "sekolah yang cukup memadai fasilitasnya, dan guru-gurunya ideal". Pak Guru Judi tadi masih menjawab. "Biasanya, bila seorang guru bergaul rapat dengan murid-muridnya, kok lantas kehilangan wibawa," katanya. Ia melihat, guru yang begitu di mata murid-muridnya tak lagi dipandang dengan hormat. Memang susah rupanya, ya? Di samping itu, Pak Guru ini mengakui, banyak guru yang hanya mengajar sesuai dengan buku, tak lebih tak kurang. Dan mereka suka menutup pertanyaan siswa bila pertanyaan itu tak ada dalam buku pelajaran.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus