SURAT al-Fatihah dibaca. Suasana khusyuk mencekam sekitar 1.200 orang yang memadati gedung. Di kanan podium, dekorasi bertuliskan kaligrafi Arab menghias dinding gedung ukuran 12 X 15 meter itu. Para kiai berkumpul? Memang, yang kebanyakan hadir di Wisma Haji Sukolilo, Surabaya, Minggu pekan lalu, itu adalah para kiai dari berbagai pelosok Jawa Timur. Tapi mereka bukan berkumpul untuk membahas hal ihwal yang berkaitan langsung dengan agama. Inilah pertemuan yang pertama kali terjadi - mengenang kembali laskar Hizbullah. Reuni ini berlangsung 18-20 April. Seperti sebutannya, laskar, ia tergolong badan semimiliter. Hizbullah lahir di masa Jepang. Dan memang ia hadir sebagai bagian upaya pertahanan Jepang di Indonesia kala itu. Seperti juga Barisan Pelopor atau Sjuisintai yang dipimpin Soekarno, Hizbullah pun merupakan satu dari banyak barisan cadangan pertahanan rakyat kala itu. Kelahiran laskar-laskar ini berawal dari gagasan Gatot Mangkupradja. Tokoh ini pernah melawat ke Tokyo selama Oktober-Desember 1933. Ia, agaknya mendapat kesan bahwa Jepang sungguh-sungguh ingin mewujudkan cita-cita: Asia bagi orang Asia. Di awal September sepuluh tahun kemudian, di kala Jepang menduduki negeri ini, Gatot membaca sebuah tulisan di surat kabar Tjahaja yang terbit di Bandung. Seorang pemuka Indonesia, Soetardjo Kartohadikoesoemo, lewat koran itu meminta Jepang mengadakan wajib militer. Tujuannya: membantu Jepang memenangkan Perang Asia Raya. Gatot, tokoh yang di masa Belanda pernah ditahan bersama Bung Karno di penjara Sukamiskin, menyatakan ketidaksetujuannya. Ia lebih suka adanya pasukan sukarela. Maka, lahirlah Pembela Tanah Air yang lebih terkenal dengan Peta. "Tidak sedikit pemuda Islam, terutama dari kepanduan Hizbul Wathan dan Ansor yang masuk Peta," ujar H.M. Jusuf Hasjim, ketua reuni laskar Hizbullah. Adalah berbagai tokoh organisasi Islam yang tergabung dalam Masyumi, kemudian mengusulkan pada Jepang agar umat Islam diberi kesempatan mendirikan barisan khusus yang juga dilatih keterampilan militer. Itulah kisah lahirnya laskar Hizbullah. Untuk menyiapkan laskar ini, diambillah pemuda-pemuda dari pesantren dan kepanduan di seluruh Jawa. Menurut Jenderal A.H. Nasution, ada dua macam laskar Hizbullah, yakni yang bersenjata dan yang tanpa senjata. "Perjuangan Hizbullah dulu cukup merata di desa-desa," katanya. Laskar yang bersenjata inilah yang kemudian di-TNI-kan. Jenderal Simatupang berpendapat, "Inilah laskar tertua dan yang paling tersebar." Laskar lain yang termasuk kuat adalah Pesindo, dan BPRI-Bung Tomo. Sedang di Sumatera yang menonjol adalah Harimau Liar dan Napindo. Tapi, kemudian, semua laskar itu diintegrasikan dan direorganisasikan. "Sebab, negara tidak bisa mempunyai tentara begitu banyak," katanya. Seperti kata Nasution, ada satu juta orang lebih anggota laskar yang di-TNI-kan. Setelah lama tak terdengar, mengapa reuni diadakan? "Kami khawatir generasi mendatang tidak tahu apa itu laskar Hizbullah," kata Jusuf. Kecuali itu, katanya, reuni yang dibuka oleh Pangdam V Brawijaya Mayjen Saiful Sulun ini antara lain bertujuan "meluruskan sejarah". Sebab, banyak anggota laskar Hizbullah terlibat DI/TII. Kartosuwiryo, misalnya, adalah seorang anggota laskar Hizbullah. Reuni ini, katanya, untuk menegaskan, "Yang terlibat DI/TII itu adalah oknum, bukan Hizbullah, bukan kelaskarannya," kata Jusuf yang pernah menjadi Komandan Kompi Batalyon 39 di Tuban. Reuni ini semula akan dibuka oleh Pangab Jenderal Moerdani. Juga diharapkan datang Menteri Agama Munawir Sjadzali, salah seorang anggota laskar Hizbullah Divisi Solo. Tokoh lain yang terkemuka dari laskar ini adalah Letjen (pur.) Himawan Sutanto, bekas Pangkowilhan yang kini menjadi duta besar di Malaysia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini