Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah kembali menuai sorotan dalam hal pendataan penanganan pandemi Covid-19. Kali ini, masyarakat mengkritik keputusan pemerintah menghapus indikator kematian dalam penentuan level pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat atau PPKM.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pencoretan indikator ini muncul saat Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, mengumumkan perpanjangan PPKM pada Senin, 9 Agustus 2021.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia mengatakan pemerintah menemukan adanya input data yang tidak update alias merupakan akumulasi angka kematian selama beberapa minggu ke belakang. "Sehingga menimbulkan distorsi dalam penilaian," kata Luhut dalam konferensi pers di Jakarta, Senin, 9 Agustus 2021.
Epidemiolog dari Universitas Indonesia, Pandu Riono, mengkritik keputusan ini. Pandu mengatakan pemerintah seharusnya memperbaiki kualitas data, bukan mengeluarkan indikator kematian. "Bukan dikeluarkan indikatornya, tapi datanya diperbaiki. Saya tidak setuju sama Luhut," kata Pandu kepada Tempo, Selasa, 10 Agustus 2021.
Pandu mengatakan, dengan logika seperti itu, pemerintah terkesan ingin mengeluarkan data yang kualitasnya tak bagus dari indikator penilaian. Padahal menurut dia, semua data menyangkut Covid-19 patut dipertanyakan kualitasnya.
Juru bicara Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Jodi Mahardi menjelaskan menuturkan pemerintah tidak menghapus data. "Bukan dihapus, hanya tidak dipakai sementara waktu karena ditemukan adanya input data yang merupakan akumulasi angka kematian selama beberapa minggu ke belakang, sehingga menimbulkan distorsi atau bias dalam penilaian," katanya, Rabu, 11 Agustus 2021
Pemerintah, kata Jodi, menemukan banyak angka kematian yang ditumpuk-tumpuk, atau dicicil pelaporannya, sehingga terlambat. "Jadi terjadi distorsi atau bias pada analisis, sehingga sulit menilai perkembangan situasi satu daerah," katanya. Data yang bias ini, kata dia, menyebabkan penilaian yang kurang akurat terhadap level PPKM di suatu daerah.
Sementara itu, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kementerian Kesehatan Widyawati mengatakan keterlambatan pelaporan dari daerah ini akibat keterbatasan tenaga kesehatan.
Ia mengatakan keterlambatan akhirnya berpengaruh pada lonjakan angka orang meninggal. “Tingginya kasus di beberapa minggu sebelumnya membuat daerah belum sempat memasukkan atau memperbarui data ke sistem NAR Kemenkes.” katanya. “Lonjakan-lonjakan anomali angka kematian seperti ini akan tetap kita lihat setidaknya selama dua minggu ke depan.”