Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Persamuhan itu digelar oleh Mahkamah Agung (MA) pada 23 November 2022. Selain dihadiri pejabat Komisi Yudisial (KY), acara itu diikuti sejumlah perwakilan masyarakat sipil. Setelah dua hakim agung ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), MA merasa perlu mendapat masukan dan saran dari luar. Saran-saran mereka akan digunakan untuk membenahi Mahkamah Agung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah satu usul yang mengemuka adalah memperbaiki hubungan MA dengan Komisi Yudisial. Usul itu, antara lain, disampaikan oleh Direktur Eksekutif Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP), Liza Farihah. “Sinergitas harus diperkuat, karena ketika ada hakim yang ditangkap, sebenarnya itu bukan hanya menjadi bencana untuk MA, tapi juga KY sebagai lembaga pengawas,” kata Liza, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Liza menuturkan hubungan antara pimpinan Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial sebenarnya sudah cukup baik. Sebab, Ketua Mahkamah Agung M. Syarifuddin merupakan mantan Kepala Badan Pengawas MA yang sering berkomunikasi dengan Komisi Yudisial. Namun relasi itu belum bisa menghasilkan kerja sama yang konkret untuk perbaikan MA. “Kerja sama itu, misalnya, dengan melakukan pemeriksaan bersama ketika ada hakim yang terjerat hukum,” kata dia.
Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung, Sobandi, mengatakan MA sepakat untuk meningkatkan kerja sama di bidang pengawasan dengan Komisi Yudisial. Apalagi saat ini sudah dibentuk tim penghubung untuk membahas berbagai isu, terutama dalam meningkatkan integritas hakim.
Menurut Sobandi, MA dan KY sudah beberapa kali menggelar pertemuan untuk memantapkan pembentukan tim penghubung itu. Dalam waktu dekat, akan ada pertemuan lanjutan untuk merumuskan langkah-langkah pembenahan Mahkamah Agung. Salah satunya membahas konsep pemeriksaan aduan masyarakat secara bersama-sama. “Kami ingin merebut kembali kepercayaan publik,” kata dia.
Wajah Mahkamah Agung benar-benar tercoreng setelah KPK mengungkap kasus suap yang melibatkan hakim agung dan pegawai MA. Komisi antirasuah menetapkan dua hakim agung menjadi tersangka, yaitu Sudrajad Dimyati dan Gazalba Saleh. Selain itu, tersangka lainnya adalah tiga hakim yustisial atau panitera pengganti, yaitu Elly Tri Pangestu, Prasetio Nugroho, dan Edy Wibowo. Begitu juga dengan sejumlah pegawai MA yang berperan sebagai perantara suap.
Juru bicara Komisi Yudisial, Miko Ginting, mengatakan tim penghubung yang dibentuk bersama MA sebenarnya sudah dirintis sejak 2021. Tim ini beranggotakan M. Taufiq, Binziad Kadafi, dan Amzulian Rifai. Tim tersebut menjadi jembatan komunikasi antara MA dan KY. Setelah KPK mengungkap kasus suap dua hakim agung, kerja tim akan diperluas. Salah satunya, tim dapat memberikan usul perbaikan bagi MA.
Sejauh ini tim penghubung telah menggelar dua pertemuan setelah operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK. Pertemuan-pertemuan itu dihadiri oleh tim ahli yang berlatar belakang akademikus dan masyarakat sipil. “Di pertemuan itu, kami menganalisis masalah yang ada di MA dan mencari solusi perbaikan,” kata Miko. “Kalau pertemuan tim ahli, bahkan lebih intens dan hampir setiap waktu bergerak.”
Saat ini Komisi Yudisial tengah merumuskan sejumlah usul perbaikan bagi MA, antara lain rekrutmen hakim yustisial. Proses perekrutan harus dilakukan lebih hati-hati, transparan, dan akuntabel. Meski baru berupa usul, kata Miko, kerja sama dalam perekrutan hakim yustisial sudah berjalan. “MA sudah meminta informasi dari KY tentang calon-calon tertentu. Kami juga sudah mengirim informasi yang dibutuhkan,” kata dia.
Selain itu, Komisi Yudisial mengusulkan agar MA mengunggah amar putusan secara lengkap melalui Direktori Putusan MA. Publikasi menyeluruh putusan akan mengurangi kecurigaan masyarakat dan mempersempit peluang sebuah putusan dijualbelikan. “Beberapa usul lain juga sudah muncul, tapi sedang dipertajam dan akan dibicarakan secara langsung dengan MA,” kata Miko.
Koordinator Bidang Hukum dan Peradilan Indonesia Corruption Watch, Lalola Ester, menilai Komisi Yudisial memang perlu diperkuat agar bisa menjalankan fungsi pengawasan terhadap hakim. Kerja sama antara Komisi Yudisial dan MA bisa memecah kebuntuan selama ini. Dengan kerja sama itu, MA diharapkan lebih terbuka atas masukan-masukan dari Komisi Yudisial. “Kerja sama tersebut bisa menjadi fondasi yang lebih baik untuk saling menguatkan,” kata dia.
Pekerja sedang melakukan pembersihan dan pengecatan ulang warna logo KPK di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 10 Agustus 2021. TEMPO/Imam Sukamto
KERJA SAMA DENGAN KPK
Mahkamah Agung juga berencana bekerja sama dengan KPK dalam seleksi hakim yustisial, panitera muda perkara, dan hakim tinggi pemilah perkara. Menurut Sobandi, bentuk kerja samanya adalah meminta analisis laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) dari KPK.
Selama ini, kata Sobandi, hakim diwajibkan menyetorkan LHKPN ke KPK setiap tahun. Analisis terhadap LHKPN dilakukan untuk mengecek kesesuaian antara profil hakim dan kekayaan yang dimiliki. Selanjutnya MA akan meminta analisis untuk menguji integritas calon hakim. “Poin yang diutamakan adalah hakim yang berintegritas,” kata dia.
Peran hakim yustisial yang merangkap menjadi asisten hakim agung saat ini tengah menjadi sorotan. Sebab, tiga asisten hakim agung, yaitu Elly Tri Pangestu, Prasetio Nugroho, dan Edy Wibowo, menjadi tersangka kasus suap. Elly merupakan asisten Sudrajad Dimyati, dan Prasetio adalah asisten Gazalba Saleh. KPK belum mengumumkan nama atasan Edy Wibowo di MA. Ketiga asisten hakim agung itu ditengarai menjadi perantara suap untuk para bosnya.
Liza Farihah mengatakan asisten kerap menjadi penghubung antara hakim dan penyuap. Asisten hakim agung—biasa disebut panitera pengganti—merupakan hakim yang ditarik untuk membantu kerja hakim agung. Menurut Liza, masalah asisten hakim agung ini sudah dimulai pada proses perekrutan.
Menurut Liza, MA belum memiliki aturan yang jelas tentang perekrutan asisten hakim agung. Selama ini perekrutan didasarkan pada kedekatan antara hakim agung dan calon asistennya. Rekrutmen yang serampangan ini memunculkan potensi korupsi karena tidak ada pengecekan rekam jejak calon. “Padahal asisten hakim agung itu perannya sentral,” kata dia.
ROSSENO AJI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo