MUNGKIN I Nyoman Moena hanya berkelakar. Dua pekan silam, ia mengajukan "protes" pada program Keluarga Berencana di Bali, yang siap memangkas anak ketiga dan keempat. Dirut PT (Persero) Sucofindo itu merasa akan menjadi "manusia langka" di kemudian hari, karena memakai nama Nyoman. Pasalnya, kalau program KB menyebar subur di Bali, penduduk menjadi berkurang. Dan otomatis nama khas Bali seperti Nyoman dan Ketut, yang selalu tertera pada urutan anak ketiga dan keempat, pun menyusut. Sebelumnya, kebiasaan ini memang telah berabad-abad menempel pada budaya Bali. Lalu, seandainya program "dua anak cukup" tetap gencar, mungkin hanya dikenal nama Wayan dan Made, panggilan bagi anak pertama dan kedua. Menurut Oka Supartha, pengawas Kantor Agama Provinsi Bali, sesungguhnya urutan kelahiran orang Bali berkaitan erat dengan langkanya jumlah penduduk dan tenaga kerja yang kurang bagi lahan pertanian. Tapi tak hanya itu soalnya. Jumlah anak yang lahir semula idealnya empat orang. "Maksudnya, kalau orangtuanya meninggal, bisa digotong empat anaknya. Tak perlu dibantu tetangga untuk memikul mayat," ujar Oka. Untuk mengatasi kepunahan ini, cagar budaya untuk kelahiran manusia pun dianggap perlu. Paling tidak, di beberapa daerah tertentu seperti di Tenganan, Bali bagian timur, tak usah tertembus program KB. "Di sana, jarang manusia lahir. Ada baiknya kalau diadakan proyek percontohan, sehingga nama Nyoman dan Ketut tetap ada," ujar Oka lagi. Ketua Sekolah Tinggi Seni Indonesia Denpasar, I Made Bandem, juga setuju kalau tercipta cagar budaya di Tenganan dan Trunyan. Di daerah tersebut, menurut dia, kebudayaan Bali asli masih terbina. Daya dukung adat dan agama masih sangat kuat untuk menyaring masuknya budaya luar. "Alangkah sayangnya kalau nama-nama orang yang jadi identitas budaya Bali itu hilang," katanya bersemangat. Namun, menurut I Gde Sudibia dari Studi Kependudukan Universitas Udayana, tak ada alasan membendung program KB di Bali. "Di naskah lontar maupun sastra agama Bali, tak pernah tercetus istilah 'banyak anak banyak rezeki' sebagaimana lazimnya di Jawa," katanya. Memang benar, dalam Babad Pasek, tercantum pandangan beranak empat untuk memperoleh tenaga kerja dan tenaga untuk mengubur orangtua. "Tapi itu pandangan tradisional. Kini makin banyak anak, kan makin miskin," ujarnya lagi. Selebihnya, budaya Bali dianggap sudah pas dengan program dua anak. Pro dan kontra cagar budaya untuk menolak program KB di beberapa daerah tertentu di Bali masih berlangsung hingga sekarang. Antropolog sekaligus dekan Fakultas Sastra Unud, I Wayan Geria, bahkan melihat porsi kepentingan nama Nyoman dan Ketut tidak seberapa besar, ketimbang pentingnya menaikkan taraf hidup di Bali. "Biarkan saja nama Ketut atau Nyoman punah, asal kehidupan masyarakat Bali meningkat," ujarnya. Cagar budaya itu sendiri dianggap Geria hanya patut diterapkan pada benda mati. "Tak ada keharusan bagi orang Bali untuk beranak empat, dari Wayan hingga Ketut," tambah Ida Bagus Agasetya Ketus Peradah, dari anggota Organisasi Pemuda Agama Hindu. Pihak Pemda Bali sendiri tampaknya juga tak menggubris kekhawatiran punahnya Nyoman dan Ketut. Kampanye KB tetap berlangsung di berbagai pelosok, untuk memenuhi target akhir Pelita V, dengan tingkat kelahiran 2% per tahun. Ida Bagus Pangjaya, Kahumas Pemda Bali, memberi contoh. "Di Tabanan, yang melahirkan di atas 35 tahun sudah dianggap tidak umum," ujarnya. Bahkan kini berderet 194 sekolah dasar di Bali, yang tak akan menerima murid kelas satu, akibat suksesnya program KB di sana. Linda Djalil, I.N. Weja, dan Joko D. (Bali)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini