SEKOLAH-sekolah yang bernaung dibawah Yayasan Pembina Lembaga Pendidikan PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia) di Jawa Tengah sempat panik. Kepala Dinas P dan K setempat, dalam suratnya akhir Juli lalu, bermaksud menertibkan pemakaian gedung SD negeri yang selama ini masih dipinjam sekolah swasta. Para peminjam diminta segera pindah. Kepala Dinas P dan K Ja-Teng, Drs. Hartono, dalam suratnya itu meminta kepala cabang Dinas P dan K di kabupaten-kabupaten mengirim laporan paling lambat 31 Agustus. Sekolah PGRI yang paling kena, karena sekolah inilah yang meminjam gedung SDN itu. Pengelola sekolah PGRI bahkan mengartikan surat itu sebagai pengusiran. Ini membuat mereka kelabakan. Parjono, kepala SMP PGRI Mojosongo, Boyolali, misalnya, sempat pontang-panting mencari gedung yang akan disewa. Sebagai pihak yang menumpang, dia sadar sewaktu-waktu akan diusir. Namun, Parjono bingung, bagaimana mencari gedung untuk kegiatan sekolah, alam waktu yang singkat pula. SMP yang dipimpinnya itu menumpang di SDN I Mojosongo. Yang tak kalah bingungnya adalah Ketua PGRI Ja-Teng, Drs. Karseno. "Jika larangan itu benar-benar dilaksanakan, saya tidak dapat membayangkan bagaimana jerit tangis 90 ribu murid," katanya. PGRI Ja-Teng memiliki 117 TK, 345 SMTP, 121 SMTA, dan 2 perguruan tinggi. "TK dan perguruan tinggi punya gedung sendiri. Tapi SMTP dan SMTA itu hanya 20 persen yang punya gedung," kata Karseno. Alhamdulillah, kepanikan itu segera "dicium" Gubernur Ja-Teng Ismail. Selasa pekan lalu, Gubernur mempertemukan Pengurus PGRI dan Dinas P dan K Jawa Tengah. Dicapai kesepakatan, sekolah PGRI masih dibolehkan menumpang di gedung SDN sampai tahun 1992. Alasannya, menurut Karseno, latar belakang didirikannya sekolah PGRI tidak lain untuk menampung ledakan lulusan SD yang tak tertampung di sekolah negeri. Artinya, Ismail memotong kebijaksanaan aparat bawahannya karena Dinas P dan K itu di bawah pemerintah daerah." Batas waktu 4 tahun itu, menurut Karseno, memberi kesempatan sekolah PGRI membangun gedung. "Pada tahun 1992, tanpa harus diminta pindah pun, saya kira semua sekolah PGRI sudah menempati gedung sendiri," kata Karseno. Sebetulnya, sejak 1983 sudah ada ketentuan dari Ditjen Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen P dan K, bahwa sekolah swasta yang akan didirikan tidak boleh menempati dan menggunakan fasilitas milik pemerintah. Sekolah swasta yang sudah ada dan menumpang di sekolah negeri diimbau membangun gedung sendiri. Imbauan itu memang bukan pengusiran. "Juga tak ada deadline. Yang ditekankan dalam imbauan itu, pihak swasta perlu punya gedung sendiri," kata Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, Prof. Hasan Walinono. Ketua Umum PGRI Pusat, Basyuni Suriamiharja, menjelaskan permohonan meminjam gedung SDN oleh PGRI dilakukan resmi tahun 1980 untuk jangka waktu 5 tahun. Pertimbangannya, pada tahun 1985 sekolah PGRI sudah bisa membangun gedung. Kalau terus meminjam, "dua-duanya tak akan maju," kata Basyuni. "Murid SD negeri yang gedungnya dipinjam akan terganggu kegiatan belajarnya, begitu sebaliknya." Setelah 1985 lewat, boleh dan tidaknya meminjam gedung SDN terpulang pada kebijaksanaan pemerintah daerah, karena gedung SDN adalah urusan pemerintahdaerah. Karena itu, jika ada pemda yang tegas melarang, "saya bisa memahami, itu sesuatu yang wajar," kata Basyuni. Dinas P dan K Jawa Tengah sebenarnya sudah mengeluarkan surat mengenai penertiban pemakaian gedung SDN ini Oktober tahun lalu. Di situ ditegaskan, penggunaan gedung SDN oleh pihak swasta sudah berakhir tahun ajaran 1987-88. Alasannya, mebelair (kursi, meja, lemari, papan tulis) yang dirancang untuk anak usia SD lebih cepat rusak jika digunakan oleh anak di atas usia SD, apalagi anggaran perbaikan sangat kecil. Selain itu, suasana belajar terganggu dan murid SD yang gedungnya dipinjam tak bisa meningkatkan proses belajarnya. Surat Dinas P dan K Ja-Teng akhir Juli lalu hanya menegaskan kembali surat ini. Tapi itu pun jadi mentah kembali dengan turun tangannya Gubernur Ismail. Agus Basri, Sri Indrayati, Heddy Lugito (Biro Yogya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini