GEDUNG Pusat Universitas Terbuka (UT) yang biasa lengang punya kesibukan besar Ahad pagi lalu. Puluhan mobil parkir di sepanjang jalan di depan gedung UT di Pondok Cabe, Ciputat, Tangerang. Dari mobil keluar orang-orang yang sudah mengenakan toga. Wajah mereka tak lagi bisa disebut muda. Kebanyakan membawa serta anak-anaknya. Mereka tampak gembira. Banyak yang melemparkan pandang ke arah gedung yang cukup megah itu. Sebagian besar dan mereka kabarnya baru saat itulah sempat melihat "kampus" UT. Saat mereka justru diwisuda. Inilah wisuda pertama yang dilakukan UT sejak perguruan tinggi negeri itu lahir pada 1984. Hari wisuda itu digabungkan dengan perayaan Dies Natalis ke-4. Ada 443 orang yang berhak diwisuda. Perinciannya, 185 lulusan program S1 Kependidikan dan 258 lulusan Program D II Kependidikan. Lulusan proram S1 ini adalah mereka yang sudah berstatus setingkat sarjana muda ketika diterima pada tahun awal berdirinya UT. Umumnya mereka guru SMTA. Tak semua wisudawan dan wisudawati hadir di Jakarta dan mendapat kehormatan mengenakan toga karena untuk ongkos dan biaya selama di Jakarta itu ditanggung sendiri. Hanya 176 orang yang datang. Tapi mereka ada yang dari Dili, Aceh, Ujungpandang, Jambi, Padang, Banjarmasin, Mataram. "Jelas, hal ini menggembirakan kami," kata Dr. M. Atwi Suparman, Pembantu Rektor III UT yang juga Ketua Panitia Wisuda. Yang tidak datang ijazahnya dikirim ke daerah. Itulah keistimewaan UT. Bisa meraih gelar sarjana tanpa perlu datang ke tempat kuliah dan tak membutuhkan kampus. Tapi cap UT sebagai perguruan tinggi untuk orang-orang yang sibuk dan yang sudah bekerja punya sisi lemah. UT jadi tak diminati para lulusan SMTA. Bahkan belakangan ini gaung UT menurun. "Sebetulnya yang mengenal UT itu sudah banyak. Cuma memang belum sepopuler perguruan tinggi negeri lain," kata Prof. Setijadi, Rektor UT. Celakanya, menurut Setijadi, banyak yang mengira ijazah UT itu bukan ijazah negeri. Kurangnya informasi tentang UT memang diakui Setijadi dan stafnya. Karena itu, diperkenalkan teknik baru dalam menjaring mahasiswa. Misalnya, bulan Juli lalu, juru kampanye UT diterjunkan di SMA-SMA DKI Jakarta. "Cara semacam ini tahun depan akan dilaksanakan di daerah-daerah," ujar Setijadi lagi. Ia optimistis UT masih tetap menjadi alternatif di samping perguruan tinggi negeri dan swasta yang sudah ada. Termasuk membunuh cap bahwa UT "hanya untuk karyawan yang sudah berusia lanjut. Mahasiswa UT dari tahun ke tahun memang tidak stabil. Tahun pertama (1984/85) menjaring 64 ribu mahasiswa. Tahun kedua melonjak menjadi 91 ribu lebih mahasiswa. Tahun ketika kembali hanya 64 ribu mahasiswa. Tahun keempat naik sekitar 3 ribu mahasiswa. Tapi tahun ajaran 1988/1989 ini peminatnya anjlok. Baru mendapatkan 39 ribu mahasiswa. Pendaftaran gelombang kedua sedang diproses. Ada empat fakultas yang dimiliki UT, yakni fakultas ekonomi, fakultas ilmu sosial dan ilmu politik, fakultas matematika dan pengetahuan alam, fakultas kcguruan dan ilmu pendidikan. UT sebenarnya tidak menerapkan sistem semesteran dan tahun ajaran secara ketat, sebagaimana di perguruan tinggi lainnya. Semuanya tergantung mahasiswa, ingin cepat selesai atau tidak. Peluang untuk menjadi mahasiswa abadi pun terbuka lebar. "Karena tidak ada sistem DO, mahasiswa bisa saja santai," kata Drs. Isa Hasbi, Kepala Bagian Akademik UT-UPBJJ (Unit Program Belajar Jarak Jauh) Yoyakarta. Mahasiswa tahun pertama bisa saja tidak mendaftar ulang di tahun kedua. Tahun berikutnya mendaftar kembali. Yang melakukan seperti ini, menurut Setijadi, sekitar 15 persen. Alasan ekonomi? SPP di UT tergolong sangat murah, hanya Rp 40 ribu untuk 12 SKS atau 60 ribu untuk 18 SKS, yang kalau normal bisa ditempuh per satu semester. Bandingkan dengan perguruan tinggi negeri yang "tidak terbuka", SPP termurah sekitar Rp 120 ribu per semester. Swasta jauh lebih tinggi. Karena itu, jika mahasiswa UT "mengaso setahun" diperkirakan bukan faktor ekonomi tapi kesempatan belajar yang sempit. Tapi memang ada yang lesu di UT dan siapa tahu menjadi biang keladi turunnya citra UT. Kegiatan tutorial, yang pada awal-awalnya bergairah, belakangan ini lesu. Menurut Dr. Mohamad Surya, Kepala UT-UPBJJ Bandung, masalahnya terbentur biaya untuk memanggil tutor yang baik. Materi pelajaran yang disiapkan UT tetap disusun secara sistematik agar mahasiswa bisa belajar mandiri. Materi kuliah pokok disampaikan dalam bentuk modul, selain kuliah lewat radio dan TVRI. Sekarang UT punya sekitar 500 ahli berbagai bidang, yang umumnya bergelar doktor dan guru besar dari berbagai perguruan tinggi, yang menyiapkan modul. "Materi kuliah lebih tinggi dari perguruan tinggi lainnya. Khususnya di fakultas ekonomi bahkan setingkat dengan pascasarjana," kata Setijadi. Tak perlu heran bila modul UT banyak dipakai rujukan oleh perguruan tinggi swasta. Sementara itu, UT kurang mampu menjaring lulusan SMTA, menurut sebuah sumber, karena banyak orang yang merasa "belum mahasiswa" jika hanya baca buku di rumah. Punya kampus dengan segala atributnya adalah kebanggaan. Jika sinyalemen itu benar, ide UT-UPBJJ Denpasar untuk membuat semacam Balai Belajar, sebagai tempat diskusi mahasiswa UT boleh dicoba. Mahasiswa setiap saat datang ke Balai itu, berdiskusi atau merencanakan kegiatan lain, misalnya, gerak jalan atau mendaki gunung. "Jadi, mendekati universitas biasa," kata Drs. Made Djegog Ketua Akademik UT-UPBJJ Denpasar. Yusroni Henridewanto dan biro-biro
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini