KEGEMBIRAAN Nyonya Endang Siti Koesarjatmi Soepono tak bisa disembunyikan. Wajahnya yang keriput tampak berseri di bawah toga hitam. Ibu tiga anak dan seorang cucu ini usianya sudah 61 tahun. Ketika ia diwisuda sebagai sarjana pendidikan lulusan Universitas Terbuka, Ahad lalu, suami dan anak sulungnya ikut mendampingi. "Kebahagiaan yang saya rasakan hari ini sulit untuk diutarakan," ujarnya tcrbata-bata kepada Gunung Sardjono dari TEMPO. Semula guru bahasa Inggris di SMAN I Surakarta ini tak punya bayangan bakal meraih gelar sarjana. Tapi suami dan anaknya mendorong ketika Nyonya Endang mendaftar di program pendidikan Bahasa Inggris FKIP Fakultas Ilmu Pendidikan dan Keguruan) UT tahun 1985. Ia memang punya ijazah program D III dari IKIP Surakarta tahun 1964 sehingga memenuhi syarat untuk ikut program S1 di UT. Ia tak kesulitan mengikuti pelajaran. Modul yang diterimanya selalu datang tepat. Ia tak pernah mengikuti tutorial. Empat kali mengikuti ujian, tak pernah gagal. Rata-rata IPK (indeks prestasi kumulatif) yang diraihnya 3,12. Nyonya Endang mengaku setiap hari minimal belajar satu jam. "Asal disiplin," katanya. Kelancaran pengiriman modul tampaknya memegang peranan penting. "Kalau terlambat biasanya ada petugas dari UT yang memberi tahu ke rumah," kata Sih Maryatun, guru SMAN I Sleman, Yogyakarta. Lulusan sarjana muda IKIP Yogyakarta tahun 1976 ini juga jarang ikut tutorial. "Tapi, kami punya kelompok belajar yang hasilnya lebih efektif," katanya. Disiplin belajarnya cukup tinggi. "Sebelum menyediakan sarapan, saya selalu menyisihkan waktu utuk belajar," kata ibu tiga anak yang setiap hari belajar pukul 02.00 hingga 04.00 dinihari itu. Disiplin belajar itu pula yang mengantarkan Sahat Tampubolon, 48 tahun, meraih gelar sarjana yang sudah lama diidam-idamkannya. Bahan-bahan UT tak pernah lepas dari tasnya. "Setiap ada waktu luang, saya gunakan untuk membaca," kata guru SMA IV Medan ini kepada Affan Bey dari TEMPO. Sahat juga membentuk kelompok belajar mengingat bimbingan tutor tak ada lagi di Medan. Tapi Sahat tak bisa mengikuti wisuda di jakarta. "Istri saya sudah menganjurkan ke Jakarta. Dia bersedia mencari pinjaman uang. Tapi saya tak bisa meninggalkan anak didik," kata Sahat. Para lulusan program S-1 IKIP UT ini memang tidak diwajibkan membuat skripsi. Mereka hanya mengikuti ujian komprehensif. Sebagai kompensasinya peluang untuk melanjutkan ke program S-2 (pascasarjana) agak tertutup. Kalau lancar, baru tahun depan UT mewisuda sarjana dengan skripsi sebagai syarat utama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini