Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Masih juga kumpul di Jawa

Keluhan tentang kurangnya dosen bagi perguruan tinggi negeri (ptn) di luar jawa. program yang menargetkan pengiriman 1.000 dosen setahun gagal. ada soal birokratis pengangkutan. (pdk)

6 Juni 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DAERAH luar Jawa tentu saja bukan anak tiri. Tapi mereka yang lulus pendidikan tinggi di Jawa, diketahui kebanyakan lebih suka bila beroleh kesempatan kerja di Jawa juga. Setidak-tidaknya bila pekerjaan itu di lingkungan universitas. Keluhan kurangnya dosen bagi perguruan tinggi negeri (PTN) di luar Jawa, kembali terdengar pekan lalu. Pada rapat kerja Menteri P&K dan Komisi IX DPR, terus terang Daoed Joesoef mengakui. Dan "ini disebabkan sejarah pertumbuhan perguruan tinggi di Indonesia. Perguruan tinggi di luar Jawa umumnya masih muda, dan minat sarjana baru untuk menjadi tenaga akademik kurang. " Lebih lagi, yang tak dikatakan Daoed: ternyata minat sarjana baru dari PTN di Jawa pun, untuk menjadi dosen di luar Jawa, kurang. Bisa dilihat program pengadaan dosen dari Pusat bagi PTN luar Jawa -- sejak sekitar pertengahan 1980. Program itu, yang menargetkan pengiriman 1000 dosen setahun, dikelola langsung oleh Dep. P&K. Seleksi calon diserahkan kepada 9 PTN di Jawa: IKIP Negeri Jakarta, Bandung dan Malang, UGM, Unair, ITB, IPB, Unpad dan UI. Toh, sampai hampir setahun ini, baru terseleksi sekitar 135 calon. Dan dari jumlah itu, yang SK-nya telah keluar dari BAKN (Biro Administrasi dan Keuangan Negara) baru 45 orang. Lantas yang sudah terlaksana dikirim ke luar Jawa baru 15 orang -- antara lain ke Universitas Andalas di Padang, Universitas Udayana di Bali dan Universitas Sriwijaya di Palembang. Kebanyakan dosen di bidang pendidikan dan ilmu sosial. Dosen Berlibur Padahal program itu mendapat sambutan baik dari pihak perguruan tinggi luar Jawa. "Kita jadinya seperti terlepas dari beban berat," kata Prof. Dr. Ibrahim Hasan, Rektor Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. Sebab, menurut sang rektor, usaha pihak PTN luar Jawa sendiri untuk mengadakan dosen sangat mahal biayanya. Misalnya dengan pemberian beasiswa bagi mahasiswa yang menonjol. Atau dengan mengirimkan mahasiswa untuk kuliah di salah satu PTN di Jawa, dengan syarat setelah lulus bersedia menjadi dosen di Universitas Syiah Kuala misalnya. Cara ketiga, mencari 'dosen jadi' di PTN di Jawa. Tentu, beberapa fasilitas terpaksa diadakan bagi si calon dosen. Antara lain ongkos transpor pindah dari Jawa ke tempat bekerja, juga transpor ke Jawa lagi bila sang dosen berlibur, misalnya. Cara seperti itu umumnya memang juga dijalankan PTN lain di luar Jawa. Tentu, fasilitas yang diberikan berbedabeda, tergantung kemampuan. Universitas Hasanuddin di Ujungpandang misalnya, sebelum ada program pengadaan dosen ini bersedia memakai calon dosen yang - memang berminat, sebelum SK BAKN turun. Itu berarti semua honorarium dan lain-lain ditanggung Unhas. Tapi menjadi dosen di luar Jawa agaknya memang membutuhkan semangat tinggi. Tidak saja bagi dosen asal Jawa -- juga yang dari luar Jawa sendiri . Masalahnya gampang ditebak: di Jawa mudah mencari penghasilan tambahan. Juga mudah mengembangkan diri. Satu contoh persoalan yang dihadapi dosen di Universitas Cenderawasih Irian Jaya misalnya, diberikan Drs. Kusno Probohandoyo, Kuasa Rektor. "Andai seorang dosen dari Jawa di Uncen bisa menabung Rp 20 ribu sebulan, setahun ia baru bisa mengumpulkan Rp 240 ribu," tuturnya. "Itu baru ongkos sekali jalan ke Jawa untuk satu orang. Nah, kalau ia ingin berlibur ke Jawa sekeluarga, bayangkan ongkos yang harus disediakan." Dengan kata lain, gaji dosen yang tak begitu menggiurkan itu, ternyata semakin tak mencukupi untuk menutup kebutuhan keluarga -- justru di daerah, di tempat yang sukar sekali orang mencari kerja sambilan. Dari para pendaftar program pengadaan dosen, bisa diketahui bagaimana sebenarnya kualitas minat mereka. Bila calon dosen untuk luar Jawa itu ternyata diterima di perguruan tinggi swasta tapi di Jawa, ternyata tak segan-segan mereka membatalkan lamarannya. Itu salah satu sebab, mengapa jumlah yang telah dikirim ke luar Jawa sangat sedikit. Bahkan menurut sumber TEMPO di Ditjen Pendidikan Tinggi, banyak calon dosen yang telah diterima dan diminta secepatnya mempersiapkan diri, minta penangguhan. Alasannya macam-macam. Masih menunggu anaknya lulus sekolah. Masih mengurus rumah. Menunggu habisnya kontrak kerja --dan lain-lain. Padahal kalau diusut, sebenarnya mereka cuma ingin, kalau bisa bekerja mbok ya di Jawa saja. Soalnya, memang, sebelum si dosen baru itu bekerja, ia tak terikat apa pun -- meski misalnya telah ada SK dari BAKN. Padahal program ini pun memberikan fasilitas yang tak diberikan kepada dosen yang pengangkatannya di luar program. Ialah, selama 6 bulan menunggu pengangkatan sebagai dosen tetap, pihak Ditjen Pendidikan Tinggi memberikan 'uang tunggu' Rp 50 ribu per bulan. Transpor dari Jawa pun ditanggung -- termasuk satu istri. Lebih lagi, program itu sendiri memang punya kelemahan. Misalnya saja yang terjadi di Universitas Lambung Mangkurat (Unlam), Banjarmasin. Dua orang dosen beberapa waktu yang lalu ditawarkan kepada Unlam -- satu untuk jurusan geografi, satu lagi untuk kedokteran hewan. Herannya, kedua jurusan itu tak ada di Unlam. Langsung Unlam memberitahu Ditjen Pendidikan Tinggi: menolak. Untung saja mereka belum diberangkatkan ke Banjarmasin. Kemungkinan salah administrasi atau kurang lancarnya komunikasi hingga mengakibatkan keteledoran semacam itulah yang dikritik Drs. Nu'man Somantri M.Sc., Rektor IKIP Bandung - salah satu IKIP yang diwajibkan mengadakan dosen untuk program ini. "Kurangnya dan sulitnya komunikasi antara IKIP sebagai sumber dengan yang akan menampung dosen baru itu, karena harus lewat Ditjen Pendidikan Tinggi, sangat menghambat," katanya. Maka, IKIP Bandung sering menjadi sasaran keluhan calon dosen yang telah lulus testing tapi belum juga diberangkatkan. Itu pula yang dikeluhkan Prof. Dr. Masrun, Pembantu Rektor I UGM, yang juga terlibat program. "Proses yang sekarang, karena harus lewat Ditjen Pendidikan Tinggi, terlalu panjang dan birokratis," tuturnya. Ia menyarankan agar hubungan antara universitas sumber dengan universitas penerima dosen langsung saja. "Bisa lebih cepat."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus