DAERAH luar Jawa tentu saja bukan anak tiri. Tapi mereka yang
lulus pendidikan tinggi di Jawa, diketahui kebanyakan lebih suka
bila beroleh kesempatan kerja di Jawa juga. Setidak-tidaknya
bila pekerjaan itu di lingkungan universitas.
Keluhan kurangnya dosen bagi perguruan tinggi negeri (PTN) di
luar Jawa, kembali terdengar pekan lalu. Pada rapat kerja
Menteri P&K dan Komisi IX DPR, terus terang Daoed Joesoef
mengakui. Dan "ini disebabkan sejarah pertumbuhan perguruan
tinggi di Indonesia. Perguruan tinggi di luar Jawa umumnya masih
muda, dan minat sarjana baru untuk menjadi tenaga akademik
kurang. "
Lebih lagi, yang tak dikatakan Daoed: ternyata minat sarjana
baru dari PTN di Jawa pun, untuk menjadi dosen di luar Jawa,
kurang. Bisa dilihat program pengadaan dosen dari Pusat bagi PTN
luar Jawa -- sejak sekitar pertengahan 1980.
Program itu, yang menargetkan pengiriman 1000 dosen setahun,
dikelola langsung oleh Dep. P&K. Seleksi calon diserahkan kepada
9 PTN di Jawa: IKIP Negeri Jakarta, Bandung dan Malang, UGM,
Unair, ITB, IPB, Unpad dan UI. Toh, sampai hampir setahun ini,
baru terseleksi sekitar 135 calon. Dan dari jumlah itu, yang
SK-nya telah keluar dari BAKN (Biro Administrasi dan Keuangan
Negara) baru 45 orang.
Lantas yang sudah terlaksana dikirim ke luar Jawa baru 15 orang
-- antara lain ke Universitas Andalas di Padang, Universitas
Udayana di Bali dan Universitas Sriwijaya di Palembang.
Kebanyakan dosen di bidang pendidikan dan ilmu sosial.
Dosen Berlibur
Padahal program itu mendapat sambutan baik dari pihak perguruan
tinggi luar Jawa. "Kita jadinya seperti terlepas dari beban
berat," kata Prof. Dr. Ibrahim Hasan, Rektor Universitas Syiah
Kuala, Banda Aceh. Sebab, menurut sang rektor, usaha pihak PTN
luar Jawa sendiri untuk mengadakan dosen sangat mahal biayanya.
Misalnya dengan pemberian beasiswa bagi mahasiswa yang menonjol.
Atau dengan mengirimkan mahasiswa untuk kuliah di salah satu PTN
di Jawa, dengan syarat setelah lulus bersedia menjadi dosen di
Universitas Syiah Kuala misalnya. Cara ketiga, mencari 'dosen
jadi' di PTN di Jawa. Tentu, beberapa fasilitas terpaksa
diadakan bagi si calon dosen. Antara lain ongkos transpor pindah
dari Jawa ke tempat bekerja, juga transpor ke Jawa lagi bila
sang dosen berlibur, misalnya.
Cara seperti itu umumnya memang juga dijalankan PTN lain di luar
Jawa. Tentu, fasilitas yang diberikan berbedabeda, tergantung
kemampuan. Universitas Hasanuddin di Ujungpandang misalnya,
sebelum ada program pengadaan dosen ini bersedia memakai calon
dosen yang - memang berminat, sebelum SK BAKN turun. Itu berarti
semua honorarium dan lain-lain ditanggung Unhas.
Tapi menjadi dosen di luar Jawa agaknya memang membutuhkan
semangat tinggi. Tidak saja bagi dosen asal Jawa -- juga yang
dari luar Jawa sendiri . Masalahnya gampang ditebak: di Jawa
mudah mencari penghasilan tambahan. Juga mudah mengembangkan
diri. Satu contoh persoalan yang dihadapi dosen di Universitas
Cenderawasih Irian Jaya misalnya, diberikan Drs. Kusno
Probohandoyo, Kuasa Rektor. "Andai seorang dosen dari Jawa di
Uncen bisa menabung Rp 20 ribu sebulan, setahun ia baru bisa
mengumpulkan Rp 240 ribu," tuturnya. "Itu baru ongkos sekali
jalan ke Jawa untuk satu orang. Nah, kalau ia ingin berlibur ke
Jawa sekeluarga, bayangkan ongkos yang harus disediakan."
Dengan kata lain, gaji dosen yang tak begitu menggiurkan itu,
ternyata semakin tak mencukupi untuk menutup kebutuhan keluarga
-- justru di daerah, di tempat yang sukar sekali orang mencari
kerja sambilan.
Dari para pendaftar program pengadaan dosen, bisa diketahui
bagaimana sebenarnya kualitas minat mereka. Bila calon dosen
untuk luar Jawa itu ternyata diterima di perguruan tinggi swasta
tapi di Jawa, ternyata tak segan-segan mereka membatalkan
lamarannya. Itu salah satu sebab, mengapa jumlah yang telah
dikirim ke luar Jawa sangat sedikit. Bahkan menurut sumber TEMPO
di Ditjen Pendidikan Tinggi, banyak calon dosen yang telah
diterima dan diminta secepatnya mempersiapkan diri, minta
penangguhan. Alasannya macam-macam. Masih menunggu anaknya lulus
sekolah. Masih mengurus rumah. Menunggu habisnya kontrak kerja
--dan lain-lain. Padahal kalau diusut, sebenarnya mereka cuma
ingin, kalau bisa bekerja mbok ya di Jawa saja.
Soalnya, memang, sebelum si dosen baru itu bekerja, ia tak
terikat apa pun -- meski misalnya telah ada SK dari BAKN.
Padahal program ini pun memberikan fasilitas yang tak diberikan
kepada dosen yang pengangkatannya di luar program. Ialah, selama
6 bulan menunggu pengangkatan sebagai dosen tetap, pihak Ditjen
Pendidikan Tinggi memberikan 'uang tunggu' Rp 50 ribu per bulan.
Transpor dari Jawa pun ditanggung -- termasuk satu istri.
Lebih lagi, program itu sendiri memang punya kelemahan. Misalnya
saja yang terjadi di Universitas Lambung Mangkurat (Unlam),
Banjarmasin. Dua orang dosen beberapa waktu yang lalu ditawarkan
kepada Unlam -- satu untuk jurusan geografi, satu lagi untuk
kedokteran hewan. Herannya, kedua jurusan itu tak ada di Unlam.
Langsung Unlam memberitahu Ditjen Pendidikan Tinggi: menolak.
Untung saja mereka belum diberangkatkan ke Banjarmasin.
Kemungkinan salah administrasi atau kurang lancarnya komunikasi
hingga mengakibatkan keteledoran semacam itulah yang dikritik
Drs. Nu'man Somantri M.Sc., Rektor IKIP Bandung - salah satu
IKIP yang diwajibkan mengadakan dosen untuk program ini.
"Kurangnya dan sulitnya komunikasi antara IKIP sebagai sumber
dengan yang akan menampung dosen baru itu, karena harus lewat
Ditjen Pendidikan Tinggi, sangat menghambat," katanya. Maka,
IKIP Bandung sering menjadi sasaran keluhan calon dosen yang
telah lulus testing tapi belum juga diberangkatkan. Itu pula
yang dikeluhkan Prof. Dr. Masrun, Pembantu Rektor I UGM, yang
juga terlibat program. "Proses yang sekarang, karena harus lewat
Ditjen Pendidikan Tinggi, terlalu panjang dan birokratis,"
tuturnya. Ia menyarankan agar hubungan antara universitas sumber
dengan universitas penerima dosen langsung saja. "Bisa lebih
cepat."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini