SEOLAH-OLAH terkena malapetaka 280 orang pingsan di IKIP Malang
(Jawa Timur). Ini terjadi beberapa hari setelah perguruan tinggi
di kota sejuk itu mulai menjual formulir bagi calon mahasiswa
baru, Rabu pekan lalu. Rektor Drs. M.A. Icksan memang menduga
tahun ini jumlah pendaftar akan jauh lebih besar dibanding tahun
sebelumnya. Tapi ia tak menyangka caion mahasiswa itu datang
bagaikan air bah.
Sehari sebelum loket-loket penjualan formulir dibuka, di luar
kampus laki dan perempuan mencoba bertahan sepanjang malam, tak
mau setapak pun beringsut dari tempatnya. Mereka memang menunggu
hari pertama penjuaian formulir.
Hujan lebat yang turun malam hari, ternyata juga tak mampu
membubarkan antrean itu. "Kami sudah minta agar mereka bernaung,
tapi tak ada yang mau dengar," keluh M.A. Icksan. Hasrat mereka
untuk mendapatkan formulir pada giliran pertama nampaknya memang
kuat. Penambahan loket penjuaian dari 10 menjadi 20 pagi itu,
toh masih juga belum bisa menampung arus pembeli formulir itu.
Korban pun berjatuhan. "Mereka jatuh sambil berteriak histeris
memanggil orang tuanya," tutur beberapa orang yang menyaksikan.
Di Medan, juga ada kejadian serupa. IKIP Medan adalah perguruan
tinggi kedua setelah USU di Sumatera Utara yang dibanjiri ribuan
calon pendaftar. Walaupun sudah disediakan sembilan loket, dan
dibagi khusus untuk laki-laki dan perempuan, toh mereka saling
berdesakan. Di sini juga tercatat ada yang pingsan dan luka-luka
karena terinjakinjak ketika sedang berebutan formulir. Di IKIP
Jakarta, kejadiannya pun tak berbeda jauh.
Apakah banjir bandang calon mahasiswa IKIP ini bisa dikatakan
tanda makin besarnya minat untuk jadi guru? Rektor IKIP Jakarta,
Prof. Dr. R. Sudjiran Resosudarmo MA, cenderung mengatakan
begitu. Tapi, katanya, "ini baru observasi saya saja, bukan
hasil penelitian obyektif yang didukung data atau penelitian
ilmiah."
Namun Rektor IKIP Malang punya pendapat yang lain. Menurut M.A.
Icksan, kalau hanya dilihat dari data penjualan formulir, memang
bisa disimpulkan adanya minat yang meningkat dari tahun ke
tahun. Misalnya saja tahun ajaran 1979/1980, IKIP Malang
menyediakan formulir 4500 lembar, tapi ternyata masih tersisa
300 lembar. Setahun kemudian tak cukup disediakan 500 lembar.
Tahun ini, dari jumlah 10.000 lembar, di hari pertama saja sudah
laku lebih dari 9.000. Padahal penjualan berlangsung sampai
pekan depan.
Icksan sendiri tak yakin kalau data penjualan formulir itu bisa
dikatakan cerminan makin meningkatnya minat jadi guru. Sebab,
"Membanjirnya calon mahasiswa ini ke IKIP bisa saja disebabkan
peserta proyek perintis I dan II yang tesnya sudah lebih dulu
itu, ikut mendaftar kembali di IKIP."
Ini memang bukan hal yang baru terjadi. Sudah bukan rahasia lagi
jika seorang calon mahasiswa ikut testing di berbagai tempat.
Apalagi tahun ini hampir semua perguruan tinggi negeri yang
tergabung dalam proyek perintis I, II dan III juga kebanjiran
calon mahasiswa. Artinya persaingan di antara calon itu semakin
ketat, hingga mereka mendaftar di sana-sini dengan harapan bisa
diterima di salah satu tempat saja. "Saya mendaftar di IKIP ini
untuk berjaga-jaga, khawatir tidak diterima di Universitas
Brawijaya," ucap salah seorang pendaftar di IKIP Malang.
Lagi pula sering terjadi seseorang masuk IKIP tanpa ada niatan
jadi guru sebelumnya. Cidartati yang pekan lalu diwisuda sebagai
sarjana IKIP mengatakan ia sama sekali tidak bermaksud untuk
kemudian jadi seorang guru. "Jadi guru itu berat," tuturnya. Dia
ternyata lebih condong untuk bekerja di kantor pemerintah atau
di sebuah pusat latihan ketrampilan, daripada harus berdiri di
muka kelas menghadapi anak-anak yang harus diasuhnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini