KEDENGARANNYA memang rutin. Tapimungkin karena itu justru tak
putus-putusnya penting. Dalam sambutannya pada peringatan
Nuzulul Qur'an 20 Agustus lalu, Presiden sekali lagi
mengingatkan adanya larangan bagi para pegawai negeri dan
anggota ABRI untuk menerima pemberian dari orang lain yang bukan
keluarga.
Lalu 24 Agustus lalu Mensesneg Sudharmono mengeluarkan edaran
untuk para pimpinan Departemen dan Lembaga-lembaga Non
Departemen. Isinya: mengingatkan tentang adanya ketentuan,
larangan dan pembatasan bagi pegawai negeri terutama dalam
kaitannya dengan Pola Hidup Sederhana. Misalnya larangan
memberikan pelayanan yang berlebihan pada pejabat yang
berkunjung di daerah atau larangan penggunaan kendaraan dinas
mewah dan berlebihan. Juga diingatkan memasuki tempat perjudian,
klab malam dan pemandian uap dapat mencemarkan kehormatan
pegawai negeri, anggota ABRI dan pejabat, termasuk isteri.
Penyelenggaraan acara lebih dari 2 kali untuk satu peristiwa
atau yang dikunjungi lebih dari 250 pasang undangan dianggap
berlebihlebihan.
Kesal
Semuanya itu bukan peraturan baru. Sesudah peristiwa 15 Januari
1974, dikeluarkan Keputusan Presiden no. 11/1974 dan PP no.
6/1974 yang mengatur larangan dan pembatasan tadi. Dan anjuran
untuk menuruti Pola Hidup Sederhana juga sangat sering
disinggung dalam pidato-pidato Presiden.
Tapi bagaimana pelaksanaannya? Masyarakat bisa melihat anjuran
itu tampaknya tetap tinggal anjuran. Sejak dikeluarkannya
peraturan itu klab-klab malam masih saja penuh dikunjungi
pejabat pemerintah dan pesta-pesta mewah di hotel-hotel yang
diselenggarakan pejabat pemerintah dan dihadiri juga banyak
pejabat tinggi terus berlangsung dengan aman.
Wajar kalau banyak yang menganggap bahwa anjuran atau edaran
kali ini pun akan menemui nasib yang sama. Atau mungkinkah akan
ada angin baru?
"Sebetulnya Presiden merasa kesal bahwa petunjuk mengenai pola
hidup sederhana itu kurang dihayati oleh banyak orang," kata
seorang pejabat tinggi pada TEMPO pekan lalu.
Presiden rupanya mendapat laporan juga tentang penyelenggaraan
perayaan yang bersifat pribadi seperti perkawinan dan
ulang-tahun yang dilakukan secara mewah di hotel-hotel. Itu
alasan Presiden memerintahkan Mensesneg untuk mengeluarkan
edaran itu.
Tapi beberapa hotel besar -- di mana pesta-pesta mewah sering
diselenggarakan -- tampaknya tidak terlalu khawatir dengan
dikeluarkannya lagi penegasan itu. Apalagi karena itu cuma
berlaku buat pejabat.
"Kecenderungannya kok tidak menurun," kata Winarno, Banquet
Hotel Indonesia Sheraton. Rata-rata hampir 5 kali dalam seminggu
diselenggarakan cocktail party dan pesta perkawinan di HI
Sheraton. Hingga diharapkan agar para peminat jauh hari
sebelumnya memesan tempat. Diakuinya banyak orang sekarang lebih
suka melangsungkan pesta di hotel karena lebih praktis, murah
dan efisien. Betulkah ini?
HI Sheraton, misalnya, menyediakan ruangan Ramayana yang mampu
menampung 1000 tamu untuk pesta perkawinan. Pemesan bisa memilih
menu makanan yang ingin dihidangkan dengan tarip minimal Rp 2500
per orang. Yang dihidangkan biasanya makanan ringan. Tapi
disediakan juga berbagai pilihan lain tentu saja dengan tarip
yang lebih tinggi.
Tarip Hotel Borobudur sedikit lebih tinggi, minimal Rp 3.500 per
orang dan seperti hotel lain masih harus ditambah pajak 21%.
Kalau jumlah tamunya sekitar 1000 orang, menurut Gail Aluwi,
Banquet Sales Manager, ongkos yang harus dikeluarkan paling
tidak Rp 5 juta. Semuanya itu belum termasuk tetek bengek lain
seperti biaya band dan penyanyi, kursi penganten dan sebagainya.
"Kami tidak pernah membujuk orang agar menyelenggarakan pesta di
sini. Kalau mereka berminat, kami tidak akan menolak," kata Gail
mengomentari anjuran pola hidup sederhana.
Protes Pribadi
Kurang ditanggapinya anjuran dan semua peraturan ini mungkin
karena selama ini belum pernah terdengar ada pegawai negeri atau
pejabat yang dijatuhi sanksi karena melanggarnya. Padahal pasal
6 PP no. 6/1974 jelas menyebut sanksi itu. Antara lain "akan
diambil tindakan dan hukuman berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. "
Toh ada juga protes yang tak kentara. "Saya tidak pernah mau
hadir pada pesta perkawinan yang diselenggarakan di hotel mewah,
sekalipun yang menyelenggarakan itu atasan saya," seorang
pejabat teras Hankam pernah berkata. Mengapa? "Itu sebagai
protes pribadi pada acara yang berlebihan," jawabnya. Soalnya,
apakah protes itu akan dimengerti?
Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup Emil
Salim saat ini tengah mempersiapkan rancangan peraturan
pelaksanaan mengenai pola hidup sederhana. "Yang kita perlukan
sekarang adalah suatu patokan apa yang dianggap hidup secara
wajar," kata seorang pejabat tinggi pada TEMPO. Dikutipnya
pendapat Presiden bahwa hidup sederhana itu tidak berarti hidup
secara melarat atau orang kaya harus dimusuhi. Ada pemikiran
untuk misalnya menerapkan pajak yang progresif pada rumah
tinggal (tergantung luas dan harga satuan per mÿFD) dan mobil
pribadi. Mungkin juga bepergian ke luar negeri tidak untuk
tujuan dinas akan dikenai pajak.
Ada pertanda tekad pemerintah sekali ini tidak akan tinggal
"omongan" saja. Akhir bulan lalu Mendagri bersama Menteri PAN
dan Wapangab/Pangkopkamtib selaku Ketua Opstib Pusat telah
memutuskan untuk memulai pelaksanaan perlertiban secara
menyeluruh setelah Lebaran. Laksamana Sudomo juga telah
memanggil para Laksuswil I sampai IV serta para Pangdam wilayah
II dan memberikan pedoman dan petunjuk pelaksanaan penertiban di
daerah-daerah.
Dalam rangka pola Hidup Sederhana, Markas Besar Angkatan Udara
(MBAU) pekan lalu telah mengirim radiogram ke segenp eselon AU.
Isinya: larangan bagi semua pejabat dan anggota TNI-AU untuk
mengadakan pesta, perayaan perkawinan, khitanan dan sebagainya
di hotel-hotel. Perayaan-perayaan itu harus dilaksanakan secara
sederhana di balaibalai pertemuan milik Angkatan/Polri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini