Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Masyarakat Sipil Anggap Cap Teroris Bukan Solusi

Pemerintah diduga mencari celah hukum melakukan kekerasan, tapi tidak mau menanggung konsekuensinya.

24 Maret 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Anggota Brimob memperbaiki jembatan yang dirusak Kelompok Kriminal Bersenjata di Distrik Yambi, Kabupaten Puncak Jaya. Dok AKBP Edwin Louis Sengka

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Masyarakat sipil mengkritik rencana pemerintah memberikan label teroris kepada KKB di Papua.

  • Pemerintah diduga mencari celah hukum untuk melakukan kekerasan, tapi tidak mau menanggung konsekuensinya.

  • Masyarakat sipil mengusulkan pemerintah melakukan pendekatan hukum dalam menyelesaikan masalah kelompok kriminal bersenjata di Papua.

JAKARTA – Kelompok masyarakat sipil mengkritik rencana Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menetapkan kelompok kriminal bersenjata (KKB) di Papua sebagai teroris. Mereka menilai langkah tersebut tidak akan mengatasi masalah kekerasan yang selama ini terjadi di Papua dan Papua Barat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati, mengatakan pemerintah seperti sedang mencari celah hukum untuk melakukan tindakan kekerasan, tapi tidak mau menanggung konsekuensi dari tindakan tersebut. Dia mengatakan KKB merupakan istilah yang diciptakan oleh pemerintah. Istilah itu menunjukkan adanya konflik antara kelompok bersenjata dan aparat negara di Papua. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Asfinawati berpendapat, rencana tersebut tidak akan menyelesaikan konflik di Papua lantaran pemerintah mengedepankan pendekatan keamanan. Padahal masalah di Papua seharusnya diselesaikan menggunakan pendekatan resolusi konflik. “Pendekatan keamanan tidak akan menghasilkan perdamaian,” katanya, kemarin. 

Menurut Asfinawati, pemerintah sebaiknya melihat bahwa tidak semua perlawanan di Papua bernuansa politik dengan tujuan memisahkan diri dari Indonesia. Tapi ada juga perlawanan yang didasari adanya dugaan pelanggaran hak asasi manusia. Jadi, ketika semua perlawanan di Papua dicap sebagai terorisme, hal itu akan membahayakan masyarakat sipil. 

“Sekarang di sana ada banyak demonstrasi dituduh KKB. Ini memperparah konflik, dan korbannya masyarakat sipil,” ujar Asfinawati.

Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati di Kantor YLBHI, Jakarta, 2019. TEMPO/Hilman Fathurrahman W

Senin lalu, Kepala BNPT Boy Rafli Amar mewacanakan KKB di Papua akan ditetapkan sebagai kelompok teroris. Wacana itu ia sampaikan dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat.

Boy mengatakan KKB telah melakukan kejahatan yang dianggap layak disejajarkan dengan aksi teror, seperti penggunaan kekerasan, ancaman kekerasan, senjata api, serta menimbulkan efek ketakutan yang luas di masyarakat. 

Menanggapi rencana ini, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan wacana itu tidak akan mengakhiri pelanggaran hak asasi manusia di Papua. Ia menduga pelanggaran HAM selama ini dilakukan oleh aparat keamanan negara ketika menumpas kelompok separatis di sana. 

Usman khawatir pemberian label teroris akan dijadikan dalih untuk semakin membatasi kebebasan berekspresi dan berkumpul orang Papua melalui Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Ia pun mengusulkan agar pemerintah mengutamakan pendekatan hukum untuk menyelesaikan tindakan kriminal bersenjata di Papua. 

“Dalam tiga bulan pertama tahun ini saja, setidaknya ada tiga kasus dugaan pembunuhan di luar hukum oleh aparat keamanan dengan total lima korban,” katanya. 

Sesuai dengan catatan Amnesty International Indonesia, ketiga kasus itu adalah penembakan terhadap Janius Bagau, Soni Bagau, dan Justinus Bagau di Puskesmas Bilogai, Intan Jaya, pada 15 Februari 2021. Kedua, penembakan terhadap Donatus Mirip di Distrik Sugapa, Intan Jaya, pada 27 Februari 2021. Ketiga, penembakan terhadap Melianus Nayagau di Distrik Sugapa, Intan Jaya, pada 6 Maret 2021.

Korban penembakan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) ditandu menaiki pesawat saat evakuasi di Intan Jaya, Papua, 14 September 2020. ANTARA/Humas Polda Papua

Direktur Eksekutif Pusat Studi Politik dan Kebijakan Strategis Indonesia, Stanislaus Riyanta, mengatakan, secara regulasi, apa yang dilakukan KKB sudah termasuk tindakan terorisme sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Namun ia meminta agar jangan terjebak pada urusan istilah, sehingga pemerintah menjadi tidak fokus menangani masalah di Papua. 

Stanislaus menyatakan pemerintah seharusnya mengedepankan pendekatan yang komprehensif untuk menyelesaikan masalah di Papua. Pendekatan itu dapat dilakukan secara masif, termasuk dengan menggunakan instrumen dana otonomi khusus dan pemerintah pusat harus menjaga penggunaan dana itu tepat sasaran. Pemerintah bisa juga melakukan pendekatan di luar dimensi ekonomi, seperti memastikan pembangunan sarana kesehatan dan pendidikan di Papua. 

“Jika itu dilakukan, pada saat bersamaan, pemerintah juga tegas kepada kelompok yang menggunakan senjata untuk kekerasan,” kata Stanislaus. 

Menurut Stanislaus, pekerjaan rumah pemerintah saat ini adalah berupaya membangun kepercayaan masyarakat Papua kepada negara. “Pemerintah hadir, masyarakat percaya, akhirnya tak mudah disusupi oleh kelompok bersenjata itu,” katanya. 

BUDIARTI UTAMI PUTRI | DIKO OKTARA
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus