Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DARI sebuah panggung di Trenggalek, Jawa Timur, genderang perang itu ditabuh Megawati Soekarnoputri. Dengan sengit, Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu mengancam tokoh partai yang berseberangan dengan dirinya dalam Kongres II PDIP di Bali, akhir Maret mendatang. "Saya berjanji, jika nanti saya terpilih kembali sebagai ketua umum dalam kongres, mereka yang tidak bekerja dan banyak bicara harus keluar dari partai," kata Mega, Kamis silam.
Di hadapan ribuan kader partai yang hadir, Mega juga menuding mereka yang mengusulkan penghapusan hak prerogatif ketua umum dan formatur tunggal dalam penyusunan pengurus pusat dalam kongres partai itu tak bakal berperan di partai dalam periode kepemimpinannya kelak. "Mereka semua itu seperti tong kosong, nyaring bunyinya," kata Mega.
Hak prerogatif dan formatur tunggal adalah pasal pamungkas dalam Anggaran Dasar PDIP. Dalam pasal itu, Mega diberi wewenang mengambil langkah organisatoris dalam tubuh partai. Kedengarannya memang normatif, tapi di lapangan pasal itu dipakai untuk menggasak kader partai yang tak sejalan dengannya (lihat tabel). Soal tuntutan pencabutan hak istimewanya itu, Mega kalem berkomentar, "Saya memilih dengerin saja."
Mantan presiden itu mengakui saat ini ada desakan kuat regenerasi dan ia setuju itu. Namun, ia kecewa ketika para tokoh itu lebih banyak bicara di media dan tak punya dukungan dari rakyat bawah. "Jadi, kalau mau geser saya, ya, nanti dulu," ujarnya lagi. Ia meminta mereka bertarung dalam kongres sebagai forum pengambil keputusan tertinggi dalam partai.
Yang tampak nelangsa mendengar sindiran itu adalah Sukowaluyo Mintorahardjo, bekas Sekretaris Fraksi PDIP di MPR. Tapi dia mengaku tak gentar akan dikeluarkan dari partai. Suko merasa baru kemarin rasanya ia menggantung ijazah sarjana kedokterannya dan memilih "runtang-runtung" dengan Mega dan Taufiq Kiemas saat bergabung di PDI pada 1986. Ia tetap setia kepada mereka, meski huru-hara politik membelah PDI menjadi dua dan membawa partai itu menjadi PDIP yang sekarang ini. "Rasanya cepat sekali delapan belas tahun itu berlalu," kata Suko.
Semenjak lembaga penelitian yang dipimpinnya itu dibubarkan Mega, Suko merasa di simpang jalan. Soalnya, lembaganya itu melansir hasil penelitiannya tentang kecilnya kans PDIP dan Mega memenangi Pemilu 2004. "Padahal penelitian itu sebagai warning agar Mega hati-hati," kata Suko.
Belakangan, Suko memang termasuk satu di antara sejumlah politisi PDIP?selain Sophan Sophiaan, Arifin Panigoro, Roy B.B. Janis, Kwik Kian Gie, Laksamana Sukardi, dan Didi Supriyanto?yang menggugat hak prerogatif dan sistem formatur tunggal.
Di mata Suko, penyusunan pengurus partai dengan sistem formatur tunggal mengeliminasi aspirasi daerah dan hanya menonjolkan kader partai yang AMS (asal Megawati senang). "Harusnya kan PDIP mengambil orang-orang daerah. Di sana banyak kader potensial yang bisa direkrut menjadi pengurus partai," ujar Suko.
Kecewa dengan kondisi, Suko dan kawan-kawannya itu akhirnya membentuk Gerakan Pembaruan Partai. Ratusan kader "Partai Banteng Gemuk" dari pelbagai daerah ikut hadir dalam deklarasi gerakan itu di Hotel Sahid Jaya, Jakarta, akhir Januari silam.
Selain meminta pembaruan manajemen partai dengan menghapus hak prerogatif dan formatur tunggal, gerakan ini mengusulkan dibentuknya dua lembaga baru: Dewan Pengarah dan Dewan Pengurus.
Usulan ini memang gampang diendus sebagai upaya untuk mengunci Megawati dalam sangkar emas. Dalam buku yang diterbitkan gerakan ini, nama Megawati diusulkan sebagai Ketua Dewan Pengarah, lembaga baru semacam Dewan Penasihat-nya Golkar. Sedangkan jabatan Ketua Dewan Pengurus diserahkan ke kader lainnya. Sejumlah calon yang digadang-gadang antara lain Sophan Sophiaan, Guruh Soekarnoputra, Roy B.B. Janis, Kwik Kian Gie, Laksamana Sukardi, dan Arifin Panigoro.
Mega agaknya emoh menjadi Ketua Dewan Pengarah. "Saya hanya bersedia menjadi calon ketua umum apabila diberikan amanah oleh kongres partai," kata Megawati seperti dikutip Guruh Soekarnoputra, adik kandungnya.
Tapi angin pembaruan telanjur bertiup hingga ke daerah. Peni Suparto, Ketua PDI Cabang Malang, mengaku setuju usulan itu. "Mbak Mega itu kan mantan presiden. Jadi, perlu ditempatkan pada posisi yang lebih tinggi, misalnya jadi Ketua Dewan Pengarah," kata Peni Suparto kepada Bibin Bintariadi dari Tempo.
Tapi, tak banyak orang seperti Peni. Mayoritas daerah yang telah menggelar konferensi cabang khusus untuk memilih utusan ke kongres justru merekomendasikan nama Megawati sebagai kandidat ketua umum.
Jago-jago lainnya yang ditawarkan gerakan pembaruan? "Tak disebut. Mayoritas daerah hampir 90 persen menyebut nama Megawati," kata Soetjipto, Sekretaris Jenderal Partai.
Di Jawa Timur saja, misalnya. Dari 38 kepengurusan cabang, 35 meneken surat dukungan kepada Mega. Surat dukungan itu disampaikan saat Mega meresmikan kantor PDIP Kabupaten Trenggalek. Sisanya, seperti Bondowoso, menyebut dua nama, Megawati dan Guruh. Lainnya tak menyebut nama.
Di Jawa Barat dan Jawa Tengah pun demikian. Di Jawa Tengah, 35 cabang sepenuhnya menyokong Megawati. "Satu lagi, cabang Pati belum menggelar konferensi. Tapi dipastikan juga akan mencalonkan Mega," kata Agustina Wilujeng, Wakil Ketua PDIP Jawa Tengah. Demikian juga di Bali. "Menurut kami, belum ada yang bisa menggantikan Mega sebagai pemersatu partai," kata Ida Bagus Putu Wesnawa, Ketua Partai Banteng di Bali.
Dengan hasil konferensi cabang ini, Mega dipastikan bakal tetap terpilih memimpin PDIP secara aklamasi. Sebab, sesuai dengan tata tertib kongres, jika hanya satu nama ketua umum disebut dalam forum, sang calon akan terpilih secara aklamasi.
Mega memang diuntungkan secara organisatoris dibandingkan dengan kandidat lain. Selain tata tertib kongres berpihak padanya, tim sukses Mega juga cukup waktu untuk menggalang dukungan. Mega sendiri hanya cukup mengeluarkan pesan harian pada 4 Februari silam yang mengingatkan, dirinya bersedia kembali dicalonkan sebagai ketua umum partai.
Tokoh PDIP non-Mega, Didi Supriyanto, mengakui dukungan daerah kepada Megawati memang masih kuat. Tetapi ia optimistis ide-ide pembaruan bisa diterima cabang-cabang dalam kongres nanti. Setidaknya, para pendukung Mega di daerah juga sudah mulai berteriak mengenai perlunya perubahan sistem. Terutama soal formatur tunggal dan hak prerogatif ketua umum.
Bali dan Jawa Tengah, misalnya. Meski menyokong penuh Mega, kedua provinsi itu juga meminta kongres mengatur lagi batasan-batasan hak prerogatif ketua umum. "Harus ada parameter yang jelas, mana saja kebijakan yang boleh dan tidak boleh dilakukan ketua umum dengan hak prerogatifnya," kata Astawa Manuaba. Dalam kasus pemilihan kepala daerah, Bali menolak penggunaan hak prerogatif.
Yogyakarta dan Jawa Barat lain lagi. Keduanya tetap melihat hak prerogatif diperlukan. Namun, Yogyakarta meminta hak-hak itu harus dirinci lagi. "Dan itu tak bisa dikaitkan dengan urusan pemilihan kepala daerah. Siapa yang menjadi kandidat kepala daerah, itu ditentukan lembaga, bukan ketua umum partai," kata Rudi Harsa Tanaya, Ketua PDIP Jawa Barat.
Soal formatur tunggal, DI Yogyakarta, Jawa Tengah, Bali, dan sebagian Jawa Timur sepakat menolaknya. Menurut Agustina Wilujeng, alasan penghapusan formatur tunggal bukan karena takut didominasi orang-orang Mega, melainkan justru dalam rangka membantu tugas Mega.
Rupanya, daerah memang berkepentingan dengan pemekaran struktur dan penyusunan kepengurusan. Dengan formatur gabungan, peluang wakil daerah duduk di kepengurusan pusat partai jelas semakin terbuka.
Tapi, semuanya kini bergantung Mbak Mega dan peserta kongres. Maret nanti, pertarungan sebenarnya baru akan terjadi.
Widiarsi Agustina, Sunudyantoro, Dwijo U. Maksum, Rinny Suhartanti , Heru C.N. , Rofiqi Hassan, Sohirin
Kewenangan Khusus Mega itu?
Kewenangan khusus Ketua Umum PDIP merupakan hasil keputusan Kongres I PDIP di Semarang. Ketentuan itu diatur dalam Anggaran Dasar Partai
Pasal 20 Anggaran Dasar Ayat 6: Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Nasional Partai secara bersama-sama bertanggung jawab ke dalam dan ke luar untuk dan atas nama Partai, kecuali terhadap hal-hal tertentu yang oleh Kongres Partai diberikan wewenang dan tanggung jawab khusus hanya kepada Ketua Umum Partai.
Ayat 7: Yang dimaksud dengan wewenang khusus kepada Ketua Umum Partai tersebut adalah wewenang untuk melakukan langkah organisatoris dan tindakan tertentu yang bersifat luar biasa dalam rangka mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pancasila, dan UUD 1945 dan eksistensi Partai yang dipertanggungjawabkan di hadapan kongres.
Mereka yang Tergusur Kewenangan itu Penentuan Calon Legislator Selaku Ketua Umum PDIP, Megawati punya kewenangan khusus menyeleksi calon legislator asal PDIP sebelum diserahkan ke Komisi Pemilihan Umum. Calon legislator yang pindah daerah pemilihan karena inisiatif pribadi dicoret, kecuali ditugasi partai.
Pemilihan Gubernur Bali Awalnya, Fraksi PDIP Bali mencalonkan A.A. Ngurah Oka Ratmadi dan Putu Agus Suradnyana. Namun, PDIP pusat justru mencalonkan paket Dewa Made Beratha (Gubernur Bali saat itu) dan I G.N. Alit Kesuma Kelakan. Oka dan Putu Agus pun mundur.
Pemilihan Gubernur DKI Jakarta Rapat Koordinator Khusus PDIP Jakarta mengusulkan Tarmizi Suhardjo sebagai calon Gubernur DKI dari PDIP. Namun, rapat PDIP pusat memutuskan mendukung Sutiyoso dan meminta seluruh anggota Fraksi PDIP di parlemen Jakarta mengamankan keputusan itu. Tarmizi ngotot maju dan akhirnya kalah. Melalui SK Nomor 205/DPP/KPTS/X/2002, Tarmizi akhirnya dipecat dari posisinya sebagai Ketua PDIP DKI Jakarta.
Pemilihan Gubernur Jawa Tengah Semula, PDIP Jawa Tengah mencalonkan ketuanya, Mardijo, sebagai Gubernur Jawa Tengah berpasangan dengan Hisyam Alie (PPP). Namun, markas besar PDIP malah mendukung Mardiyanto-Ali Mufidz. Karena melawan, Mardijo dipecat sebagai anggota PDIP dan ketua partai di provinsinya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo