Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saya menyayangkan Pasar Turi Surabaya yang terbakar,” tulis seorang penyuka jalan-jalan sambil berbelanja dalam blognya. Ia satu dari ribuan orang yang kehilangan tempat berbelanja pakaian, sepatu, atau tas ”kelas butik dengan harga grosir” di Kota Pahlawan ini.
Kebakaran besar bulan lalu menghabiskan satu blok yang tersisa, setelah tiga bangunan lainnya menjadi abu lima tahun silam. Lebih dari 4.000 pedagang kocar-kacir mencari tempat jualan baru di seantero Surabaya sambil menunggu pembangunan pasar kembali.
Simon salah satunya. Ia memilih memindahkan bisnisnya ke lantai dua Dupak Grosir, Surabaya. ”Saya kehilangan banyak pelanggan,” katanya. Kiosnya di Pasar Turi Sektor III ludes. Namun sebagian besar dagangannya selamat karena disimpan di gudang di rumahnya.
Meski begitu, tak mudah baginya untuk kembali bangkit. Sebabnya, ya itu tadi, banyak pelanggan tidak tahu letak kios barunya. ”Hanya beberapa yang menyimpan nomor telepon saya,” katanya.
Rabu siang pekan lalu, ia kedatangan 2-3 pelanggan lamanya. Beberapa pembeli lain sengaja datang ke Dupak Grosir karena mendengar banyak pedagang Pasar Turi pindah ke sana. Salah satunya Rudi, yang berasal dari Gedangan, Sidoarjo. Ia memborong lebih dari dua kodi tas dan sepatu untuk dijual lagi.
Simon lebih banyak menjual sepatu dan tas produksi perajin rumahan berharga sekitar Rp 70 ribu, dibanding barang kelas butik. ”Penjualan barang dagangan kelas butik tidak selancar barang pabrikan,” katanya.
Teman senasibnya, Mujiadi, juga harus merintis usaha dari nol. Bersama istrinya, Elita, ia membuka kios di penampungan sementara pedagang Pasar Turi di Jalan Pahlawan, Surabaya. ”Sedihnya sudah lewat, Mas,” kata Elita, yang baru sepekan ini berjualan lagi dengan modal dagangan sepatu yang masih bisa diselamatkan. Mereka masih belum mendapat pelanggan, sehingga sang suami lebih banyak membuang waktu dengan mengisi teka-teki silang.
Ratusan korban lain mencoba kehidupan baru dengan pindah ke Pusat Grosir Surabaya, yang terletak di seberang Pasar Turi, Dupak Grosir, atau Galaxy Mall, di sudut timur Kota Buaya.
Kebakaran yang terjadi pada Minggu malam itu membuat pamor Pasar Turi sebagai pusat grosir sepatu—konon terbesar di Asia Tenggara—semakin muram. Sebelumnya, kebakaran yang terjadi pada 2007 di sektor I, II, dan IV sudah menyurutkan nama besar pasar legendaris ini.
Semula perputaran uang di pasar dengan 4.700 pedagang ini lebih dari Rp 15 miliar per hari. Tapi, setelah kebakaran lima tahun silam, perputaran uang menukik tinggal Rp 2-4 miliar saja. ”Sekarang nyaris tidak ada sisa lagi,” kata Sekretaris Tim Pemulihan Pascakebakaran Pasar Turi Kemas A. Chalim, yang juga pemilik stan konfeksi di pasar tersebut.
Pasar yang konon sudah ada sejak zaman Raden Wijaya sebelum mendirikan Majapahit pada abad ke-13 itu memang langganan terbakar. Jika kebakaran dalam pertempuran melawan pasukan Sekutu pada 10 November 1945 dihitung, Pasar Turi telah dilumat si jago merah sembilan kali. Namun berbagai hantaman itu hanya membuat bisnis di pasar ini surut untuk kemudian bangkit lagi.
Keyakinan itu yang dimiliki para pedagang seperti Simon. ”Saya harus berpikir positif, bagaimana usaha ini bisa jalan terus,” katanya. Ia berharap Pemerintah Kota Surabaya segera menyelesaikan pembangunan pasar delapan lantai di atas lahan seluas 17 hektare itu, setelah tertunda bertahun-tahun akibat sengketa lahan.
Mujiadi juga optimistis pedagang Pasar Turi bisa bangkit kembali. Itu karena mereka mempunyai modal yang tidak ternilai. ”Pelanggan setia yang tetap mencari kami,” katanya. Keyakinan ini pula yang bakal membuat warisan Raden Wijaya itu kembali menjadi pasar grosir besar, menyaingi Pasar Tanah Abang di Jakarta.
Yudono, David Priyasidharta, Fatkhurohman Taufiq (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo