Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Sebuah Alarm buat Presiden

Hak interpelasi diloloskan secara telak dan didukung fraksi-fraksi besar. Apa maknanya bagi Presiden Abdurrahman Wahid?

2 Juli 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUARA gaduh itu datang dari barisan kursi anggota DPR asal Partai Kebangkitan Bangsa. "Ketua sidang tidak tegas. Kami meminta pimpinan sidang diganti," kata mereka berkali-kali. Teriakan dengan pengeras suara itu memenuhi ruang sidang pleno yang membahas usulan penggunaan hak interpelasi kepada Presiden Abdurrahman Wahid. Ketua sidang, A.M. Fatwa dari Fraksi Reformasi, tampak kikuk. Beberapa kali ucapannya terpotong interupsi para politisi PKB yang dekat dengan Presiden Abdurrahman. Tapi, pada detik yang menegangkan itu, ia segera bisa mengendalikan keadaan. "Karena tidak ada jalan lain, rapat memutuskan untuk melakukan voting," katanya. Lalu, tok, palu diketuk. Hasil pemungutan suara menunjukkan kemenangan telak para pendukung interpelasi. Sebanyak 76,5 persen, atau 332 anggota DPR, menyatakan setuju. PKB, yang semua anggotanya menolak penggunaan hak itu, terpaksa menggigit jari. Hak interpelasi atau "hak untuk meminta keterangan kepada presiden tentang suatu kebijakan pemerintah" adalah salah satu hak anggota dewan yang dilindungi oleh konstitusi. Hak ini merupakan salah satu bentuk mekanisme kontrol lembaga legislatif terhadap eksekutif. Tidak ada yang istimewa di situ kecuali bahwa hak itu jarang sekali dipakai. Dalam era Orde Baru, yang lebih mirip kerajaan ketimbang republik, DPR tak ubahnya merupakan stempel karet bagi presiden. Zaman telah berubah. Hak interpelasi yang pekan lalu lolos mengharuskan Presiden Abdurrahman menjawab pertanyaan para anggota dewan kenapa dia membuat keputusan kontroversial: memecat Menteri Perindustrian dan Perdagangan Jusuf Kalla serta Menteri Negara Penanaman Modal dan Pembinaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Laksamana Sukardi. Tidak lebih dan tidak kurang. Para pendukung Abdurrahman Wahid di PKB khawatir penggunaan hak interpelasi tadi akan merupakan langkah awal untuk menggusurnya. Dan mereka memang layak khawatir. Meski tidak otomatis bisa menjatuhkannya, disetujuinya penggunaan hak interpelasi oleh DPR merupakan pukulan buat Presiden Abdurrahman. "Jika jawaban Presiden nanti tidak memuaskan dan ditolak, secara moral kredibilitas Presiden diragukan. Ia dianggap telah berbohong," kata Ade Komaruddin dari Partai Golkar, yang menjadi penggagas interpelasi ini. Ade memang telah mencari dukungan untuk mengegolkan penggunaan hak interpelasi sejak pertengahan Mei lalu. Ia menjalin lobi dengan sejumlah politisi asal PDI Perjuangan, seperti Arifin Panigoro dan Heri Akhmadi. Tata tertib DPR mensyaratkan dukungan minimal 10 anggota DPR agar usul penggunaan hak interpelasi itu bisa digolkan. Ternyata mencari tanda tangan tidaklah sulit, apalagi dua menteri yang dipecat berasal dari Golkar dan PDI-P, dua partai besar pemenang pemilu. Hanya dalam 11 hari, Ade dan kawan-kawan berhasil mengumpulkan 277 tanda tangan. Enam fraksi besar, yakni Fraksi PDI-P, Fraksi Partai Golkar, Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Fraksi Reformasi, Fraksi Partai Bulan Bintang, dan Fraksi Daulat Umat, mendukungnya. Sedangkan fraksi yang menolak meneken sokongan adalah Fraksi Kebangkitan Bangsa, Fraksi Partai Demokrasi Kasih Bangsa, dan Fraksi Kesatuan Kebangsaan Indonesia. Heri Akhmadi dari PDI-P menyatakan bahwa partainya dan Golkar semula ragu-ragu mendukung interpelasi tadi. Itu bukan karena bersimpati kepada Abdurrahman, tapi karena hak tadi terlalu lunak implikasinya, yakni hanya sebatas tekanan moral terhadap Presiden. Dua partai itu semula cenderung memikirkan pembentukan panitia khusus (pansus) DPR. Panitia ini—seperti panitia serupa untuk kasus Bank Bali—memiliki hak untuk melakukan investigasi terhadap Presiden yang pernyataannya telah dianggap berbau fitnah. Bahkan, semula ada pembagian tugas: PDI-P menggarap hak interpelasi, sedangkan Golkar menggarap pembentukan pansus. Tapi belakangan, ketika jalur interpelasi berjalan mulus, rencana menghidupkan pansus distop. PKB, partai yang dibidani Abdurrahman Wahid, tak tinggal diam. Dalam rapat Badan Musyawah DPR 6 Juni lalu, mereka secara sengit membela sang Presiden. PKB menilai pencopotan menteri adalah hak prerogatif presiden dan, karena itu, DPR tidak memiliki hak untuk mempertanyakan putusan tersebut. Selain itu, menurut Astrid Susanto dari Fraksi Partai Demokrasi Kasih Bangsa, yang berdiri di sisi PKB, pencopotan Laksamana dan Jusuf Kalla adalah persoalan intern PDI-P dan Golkar dengan Presiden. "Jadi jangan dibawa ke tingkat bangsa," kata Astrid. Noer Iskandar Albarsany dari PKB juga menuduh ada niat lain di balik pengajuan hak interpelasi tadi: menggusur Presiden. "Ngototnya mereka memperjuangkan penggunaan interpelasi menunjukkan bahwa mereka mau menjatuhkan pemerintahan Gus Dur," katanya. PKB mencoba membangun benteng perlindungan. Sampai Rabu malam pekan lalu—sehari sebelum sidang pleno DPR—fraksi itu masih melakukan rapat intensif di ruang fraksi di lantai 17 Gedung DPR. Hasilnya minim: meski barisan PKB rapat menolak interpelasi, partai itu gagal memperbanyak pendukung. Di pihak lain, kubu pro-interpelasi justru semakin rapat, diilhami oleh kekecewaan yang kian menggumpal. Hubungan Abdurrahman dengan PDI-P, Golkar, dan Poros Tengah memang memburuk terutama setelah menteri-menteri dari ketiga kekuatan politik utama itu dicopot. Persoalannya bukan cuma Presiden merevisi kabinetnya, tapi juga karena Presiden melontarkan tuduhan korupsi—tanpa pembuktian—kepada para menteri yang dicopot. Pertemuan kubu interpelasi dua kali di sebuah hotel di Jakarta Selatan pada 21 dan 28 Juni lalu memastikan tekad mereka. Bahkan, PPP, yang sebelumnya setengah hati menyokong interpelasi, belakangan justru berbulat tekad. Rapat internal partai ini mewajibkan semua anggota DPR dari PPP menyokong usul interpelasi. Dengan modal yang besar ini, kubu pro-interpelasi tak khawatir ketika sidang pleno menawarkan voting sebagai jalan keluar. Mereka akhirnya memang memenangi pemungutan suara—bahkan lebih banyak dari jumlah tanda tangan pengusulannya sendiri. DPR akan mengajukan pertanyaan kepada Presiden awal pekan ini. Dan sepekan kemudian, Presiden harus menjawabnya. Ade Komaruddin berharap DPR bisa memutuskan penilaian terhadap jawaban itu paling lambat 21 Juli nanti. Jika penjelasan Presiden Abdurrahman tidak memuaskan atau ditolak, DPR kemudian bisa mengajukan hak menyatakan pendapat yang sifatnya lebih mengikat. Guru besar hukum tata negara Sri Soemantri tidak yakin interpelasi punya dampak terhadap goyangnya kekuasaan presiden. Menurut dia, jikapun keterangan presiden itu ditolak DPR, tidak ada sanksi apa pun yang bisa dikenakan kepadanya. Soalnya, presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR. "Satu-satunya yang bisa dilakukan DPR adalah mengirimkan rekomendasi kepada MPR untuk mengadakan sidang istimewa jika presiden dinilai melanggar UUD 1945 dan GBHN," kata Sri Soemantri kepada Andari Karina Anom dari TEMPO. Padahal, meyakinkan MPR bahwa Presiden Abdurrahman telah melanggar UUD 1945 dalam kasus pemecatan dua menteri itu bukan persoalan mudah. Perlu lobi dan pembuktian hukum yang tidak sederhana. Itulah sebabnya, meski kalah, kubu PKB masih tenang-tenang saja. Noer Iskandar Albarsany bahkan yakin bahwa Presiden Abdurrahman bisa menjawab semua pertanyaan yang diajukan dewan nanti. "Lihat saja, pasti akan banyak fraksi yang merasa puas setelah mendengar jawaban langsung dari Gus Dur," katanya. Di Badan Musyawarah DPR nanti, PKB mengaku hanya akan berupaya agar interpelasi ini terbatasi pada kasus pemecatan menteri saja. "Jadi, ibarat bola, bukan bola liar," kata Abdul Khaliq Ahmad, Sekretaris Fraksi PKB. Golkar sendiri sadar bahwa interpelasi ini hanyalah merupakan tekanan moral kepada Presiden. Tujuannya bukan untuk menjatuhkan, melainkan justru mengingatkan agar kredibilitas Presiden Abdurrahman Wahid tidak terus merosot. Didukung fraksi-fraksi utama, dengan suara yang telak, hak interpelasi ini bagaimanapun merupakan peringatan keras bagi Presiden Abdurrahman. Sebagai presiden, Abdurrahman Wahid tidak seyogianya menuduh seseorang melakukan korupsi tanpa ada bukti dan menuding setiap orang yang mempersoalkan kebijakannya sebagai biang makar. Zaman telah berganti. Indonesia bukan lagi kerajaan seperti era Soeharto. Arif Zulkifli, Dwi Wiyana, Adi Prasetya, Oman Sukmana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus