Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Mendidik Generasi Forrest Gump

Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, melalui dinas sosial, menemukan bakat ajaib anak-anak penderita keterbelakangan mental. Melalui seni lukis, mereka diharapkan bisa mandiri.

30 Desember 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesan magis menyergap saat melihat lukisan berjudul Show karya Neneng. Lukisan itu menggambarkan dua sosok perempuan misterius berlenggak-lenggok cantik. Kesan serupa terasa di gambar lain berjudul Pose, yang melukiskan sosok perempuan misterius seperti sedang bergaya di depan kamera.

Tema perempuan cukup dominan dalam karya-karya lukis gadis 14 tahun ini. Seolah-olah sang pelukis ingin menyatakan kerinduannya kepada figur ibu yang selama ini tidak diketahui bentuk dan rupanya. Sejumlah seniman dan pengunjung pameran kepada Tempo menyatakan takjub terhadap karya-karya Neneng. Lukisan-lukisan abstrak itu ekspresif dan berkarakter.

Selain Neneng, belasan remaja binaan Unit Pelayanan Terpadu Pondok Sosial Ka­lijudan dan Pondok Sosial Wonorejo juga memamerkan karya mereka. Seluruhnya ada 54 lukisan dipamerkan di Balai Pemuda Surabaya, 13-17 Desember lalu, dalam Pameran Lukisan Anak Tunagrahita dan Anak Jalanan bertajuk "Believe". Ada yang melukis dengan gaya naturalis hingga yang abstrak.

Mungkin orang tidak mengira lukisan yang dipamerkan adalah hasil goresan anak-anak penyandang keterbelakangan mental. Guratan cat mereka begitu ekspresif dan natural, tak kalah oleh pelukis profesional. "Salah satu karya mereka mengingatkan saya pada karya pelukis kondang Pablo Picasso yang berjudul The Dream," kata Suryanto, guru besar psikologi Universitas Airlangga, Surabaya, berkomentar atas pameran itu.

Untuk mencapai itu tentu tidak instan. Kepala UPT Pondok Sosial Kalijudan, Rosalia Endang Setyawati, mengatakan perlu proses lama untuk mendidik anak-anak "hilang" ini mengembangkan potensinya. Saat masuk, mereka sangat liar dan sulit diatur. "Semua ini berawal dari kebingungan, mau diapakan anak-anak ini," ujar Tya-panggilan Setyawati-kepada Tempo, Jumat dua pekan lalu.

Hingga muncul gagasan memberikan pelajaran melukis. Semua anak diberi kertas untuk menggambar sesuka hati. Hasilnya, menurut guru lukis yang diminta mendampingi mereka, ketahuan siapa yang punya bakat dan tidak. "Mereka diminta mewarnai. Ternyata pintar juga pemilihan warnanya. Akhirnya kami seriusin," kata Tya.

Tak butuh waktu lama untuk melihat kemajuan mereka. Program melukis dimulai Februari. Enam bulan berikutnya, pada November 2012, mereka sudah berani tampil dalam pameran perdana di Balai Kota Surabaya. Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, yang memang memiliki kepedulian tinggi dalam soal perlindungan hak-hak anak, mengundang mereka secara khusus berpameran untuk memperingati Hari Pahlawan. "Tuhan itu Maha-adil. Setiap kekurangan pasti ada kelebihan. Tapi itu tidak akan muncul apabila tidak didorong," ujar Risma kepada Tempo, Jumat dua pekan lalu.

Menurut Tya, dalam pameran perdana itu, 25 lukisan dipamerkan. Semuanya habis terjual. Para pembeli adalah tamu Risma yang datang ke pameran, di antaranya pengusaha Chairul Tanjung, para pengusaha lain, Ketua DPRD Surabaya, dan Kepala Kepolisian Daerah.

Apresiasi terbesar diberikan Chairul Tanjung. "Beliau memesan seratus lukisan dari karya anak-anak," kata Risma. Hingga setahun kemudian, dalam pameran 13-17 Desember 2013, pesanan itu belum terpenuhi karena baru ada 54 lukisan. Menurut Tya, semua lukisan itu telah dipesan Chairul Tanjung, tapi karena banyak peminat dari kalangan pejabat dan pengusaha, Chairul mengalah. "Nanti sisanya yang belum terjual diborong beliau," ujar Tya.

Harga lukisan itu terbilang tidak murah. Satu lukisan dipatok Rp 1,5-20 juta. Namun harus diakui ada unsur karitas juga di dalamnya. Wali Kota menyatakan sejak awal bahwa hasil penjualan seluruhnya milik pelukisnya, yakni anak-anak tunagrahita itu. Risma berulang-ulang menyampaikan bahwa anak-anak yang terlahir "miskin" ini pun bisa berkarya, menghasilkan uang, dan punya tabungan untuk masa depan mereka.

Pemerintah Kota Surabaya dibantu sejumlah seniman ikut membina. Ada lima guru lukis yang aktif, yaitu Andi Prayitno, Asri Nugroho, Joni Ramlan, Iwan Jusuf, dan Gusar Suryanto. Asri mengakui mengajari anak-anak terbelakang mental ini sangat sulit, terutama karena hambatan komunikasi. Akhirnya, pakem dan teknik seni rupa tak ada yang bisa masuk. ­"Ngajari enggak pakai teknik. Gimana mau belajar teknik yang bener, wong diajak ngomong saja enggak nyambung," ucap Asri kepada Tempo sembari tertawa.

Ajaibnya, kata Asri, dalam kondisi yang ekstrem (keterbelakangan mental), cara melukis mereka yang salah malah jadi betul hasilnya. "Saya menyebut cara melukis mereka ini deformasi," ujar Asri. Yang terpenting, kata Andi Prayitno, membuat mereka cinta dulu pada apa yang dilakukan. "Harus punya mental seniman. Bukan lagi anak jalanan atau disabilitas," ucap Andi.

Tak hanya melukis, beragam minat dan bakat lain dikembangkan di Pondok Sosial Kalijudan. Pemerintah Kota menyediakan guru vokal, tari, musik band, olahraga, bahkan guru memasak. Mereka diikutkan di kelas masing-masing. Tersaring anak yang menonjol di bidang menyanyi, menari, ngeband, futsal, dan sebagainya. "Akhirnya kami buat kelas sesuai dengan minat dan bakat mereka, supaya lebih terfokus," ujar Tya, yang mengaku memiliki 50 anak disabilitas di tempatnya.

Mereka dikondisikan berani tampil di depan umum. Setelah itu, potensi diri mereka digali untuk dipersiapkan menjadi mandiri. Sebab, kelak mereka akan menjadi dewasa dan mau tidak mau harus terjun ke masyarakat. Bila Anda pernah menonton aktor Tom Hanks dalam film Forrest Gump, seperti itulah kondisi anak-anak di Pondok Sosial Kalijudan. Para pengasuhnya mirip seperti Nyonya Gump, yang paham kondisi "unik" anaknya tapi mampu meyakinkan Forrest agar tak lemah, dan selalu mengajarinya kebiasaan baik secara terus-menerus, berulang-ulang.

Psikolog dari Universitas Airlangga, Nalini Muhdi, menilai metode pembelajaran yang diterapkan Pondok Sosial Kaliju­dan sudah tepat. Menurut dia, menumbuhkembangkan potensi anak berkebutuhan khusus harus berkelanjutan. Tidak ada batas waktunya. "Perhatiannya pun harus khusus dan case by case," katanya.

Agus Supriyanto, Dewi Suci Rahayu


Picasso dari Pondok Kalijudan

Namanya pendek saja: Neneng. Siapa nama lengkapnya tidak ada yang tahu. Gadis 14 tahun itu hanya mau dipanggil Neneng. Asal-usul dan orang tuanya tidak ada yang tahu. Bila ditanya, Neneng akan menjawab: ibu mati, sementara bapak di rumah lagi makan. Jawabannya bisa berubah-ubah, tergantung suasana hati.

Dia ditemukan petugas Satuan Polisi Pamong Praja Pemerintah Kota Surabaya ketika mengamen di perempatan Jalan Dupak pada 2008. Sejak itu, anak berkebutuhan khusus yang gemar melukis dan menghafal doa ini menjadi penghuni Pondok Sosial Keputih, sebelum pindah ke Kalijudan.

Meski ia "tidak normal", lukisannya menuai banyak pujian. Beberapa di antaranya, yakni Pose, Show, dan Pose (II), dipajang dalam Pameran Lukisan Anak Tunagrahita dan Anak Jalanan bertajuk "Believe" di Balai Pemuda Surabaya, 13-17 Desember lalu. Lukisan-lukisan dia dalam pameran sebelumnya (2012) dibeli para pengusaha dan kolektor seni. Bahkan, pada Februari 2014, lukisan Neneng akan disertakan dalam pameran seni internasional di Prancis. "Nanti saya lihat ke depan, bisa menemani atau tidak. Anak-anak enggak mungkin berangkat sendiri, kan," kata Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini menuturkan rencana pameran di Prancis itu.

Menurut Asri Nugroho, pelukis profesional yang juga pelatih lukis di Pondok Sosial Kalijudan, lukisan Neneng mempunyai nilai estetika yang tinggi. Lukisan berjudul Pose, misalnya, memiliki gaya deformatif dengan komposisi bentuk dan warna yang menarik. "Ekspresi lukisannya berkarakter. Ada sentuhan gaya Pablo Picasso," kata Asri kepada Tempo, Selasa pekan lalu. Pablo Picasso adalah seniman yang terkenal dengan aliran kubisme, melukis obyek acak dan cenderung abstrak.

Menurut Asri, bakat Neneng masih bisa dikembangkan. Keterampilan dan kepribadian Neneng, kata Asri, sangat unik serta istimewa. "Saya yakin, jika mau serius, dia akan jadi pelukis skala internasional," ujar Asri. Ia berharap Neneng mempunyai guru lukis lebih dari satu orang. Tujuannya agar ilmu dan wawasan seni rupanya lebih kaya. Jika hanya punya satu guru, kemampuan Neneng cuma sebatas menyerupai kepandaian guru itu.

Kepala Pondok Sosial Kalijudan, Rosalia Endang Setyawati, menyebut Neneng anak tunagrahita sekaligus indigo. Di beberapa kesempatan, Neneng sering bercerita tentang makhluk astral yang ditemuinya. "Kadang lukisannya itu hasil dari apa yang dilihatnya ditambah dengan imajinasinya sendiri," kata Tya.

Remaja yang menyukai bunga ini pemalu, tapi ramah kepada semua orang. Dia menyapa dan menyalami setiap orang yang ditemuinya. Ia mengaku senang lukisannya dibeli. Menurut Neneng, uang hasil lukisan akan dipakainya buat membeli telepon seluler, sepeda motor, dan mobil berwarna putih. "Nah, kayak gitu," ujarnya sembari menunjuk mobil Swift putih yang sedang melintas di depan Pondok Sosial Kalijudan. Ditanya mengenai cita-citanya, Neneng mengaku ingin menjadi artis seperti Julia Perez. "Karena cantik," ujarnya kepada Tempo, Senin pekan lalu.

Dewi Suci Rahayu

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus