Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sepintas bentuknya seperti mangga gadung biasa. Kita baru menyadari ada yang aneh begitu tahu cara menikmatinya. Bak iklan biskuit, mangga ini bisa disantap dengan cara dibelah, diputar, minus dicelupin. Daging buah akan terpisah dari bijinya.
"Makannya bisa dengan sendok," kata Ketua Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Makmur Sentosa, Slamet Yakob, salah satu produsen mangga Klon 21, Senin pekan lalu.
Begitulah nama mangga gadung varietas baru ini. Daging buahnya bisa disendok persis seperti menyantap alpukat. Karena tidak berserat dan berkadar air rendah, teksturnya lebih lembut dan kesat. Keunggulan ini yang membuat mangga gadung Klon 21 dinobatkan sebagai juara lomba Agribisnis Hortikultura Tanaman Buah Mangga Tingkat Nasional pada 2013 dari Kementerian Pertanian. Slamet menerima penghargaan Adhikarya Pangan Nusantara 2013 dari Wakil Presiden Boediono di Jakarta, akhir November lalu.
Penghargaan itu bukan hanya karena kualitas mangga. Kementerian menilainya unggul dari produk lain soal administrasi hingga pemasarannya. Karena itu, sebelum meraih penghargaan tingkat nasional, mangga gadung Klon 21 memenangi lomba serupa di Kabupaten Pasuruan pada 2010 dan tingkat Provinsi Jawa Timur.
Ini adalah hasil kerja panjang para petani dan Dinas Pertanian Tanaman Pangan setempat. Sebenarnya mangga gadung jenis ini sudah ada sejak masa kolonial Belanda. Induk pohon varietas ini masih banyak di Balai Benih Induk Hortikultura milik Dinas Pertanian Provinsi Jawa Timur di Desa Pohjentrek, Kecamatan Purworejo, Kabupaten Pasuruan.
"Dulu tidak dikembangkan karena butuh dana besar," kata Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Pasuruan Ihwan. Pengembangan baru dimulai pada 1994. Waktu itu Kementerian Pertanian meluncurkan program nasional Program Pertanian Rakyat Terpadu. Tiap wilayah boleh memilih program sesuai dengan potensi masing-masing.
Pasuruan, Sampang, dan Situbondo memilih mengembangkan mangga gadung Klon 21. Ihwan, yang ketika itu Kepala Subseksi Hortikultura, mengusulkan agar varietas mangga gadung Klon 21 yang dibudidayakan. "Sudah ada mangga asli Pasuruan, kenapa mau yang lain?" Usul pun disetujui.
Pemerintah Pasuruan lalu menggandeng PT Fajar Mekar Indah (Frigga), yang punya kebun pembibitan mangga di Desa Jarangan, Kecamatan Rejoso, Pasuruan. Bibitnya dibawa seorang pensiunan Balai Benih yang kemudian bekerja di perusahaan itu. "Balai Benih tidak berorientasi bisnis dan tidak menyiapkan dalam jumlah besar, sehingga kami kerja sama dengan swasta," ucap Ihwan.
Institut Pertanian Bogor, yang meneliti sampel tanah di Pasuruan, merekomendasikan tanah di lima kecamatan, yakni Rembang, Wonorejo, Sukorejo, Grati, dan Nguling. Tanah hitam, kering, dan lengket pada musim hujan disenangi mangga karena mengandung unsur hara.
Dari lima kecamatan itu, Rembang yang paling cocok. Selain karakter tanah, ketinggian lokasi lahan dan iklim setempat berpengaruh. Rembang berada empat-enam meter di atas permukaan laut. "Kalau ditanam di dataran tinggi, hasilnya belum tentu sama."
Perawatan Klon 21 pun terhitung mudah. Air hujan saja cukup, tak perlu disiram. Kunci utama agar pohon produktif adalah varietas unggul dan pemupukan rutin.
Bantuan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk program ini Rp 500-750 juta per tahun. Selain untuk pengadaan benih, anggaran buat membangun infrastruktur jalan sampai gudang. Luas lahan yang dijadikan proyek sekitar 600 hektare.
Meski begitu, tak mudah menjalankan program ini. Dinas Pertanian mati-matian "merayu" petani agar menanam Klon 21. Saat sosialisasi, program ini ditolak warga. Petani ketakutan lahannya diambil alih pemerintah karena menanam bibit bantuan pemerintah. "Kalau sosialisasi, saya sampai harus menginap di desa," Ihwan mengenang.
Pemuka agama pun dilibatkan. Kebetulan seorang kiai memiliki lahan yang bisa ditanami. "Kami yang menanam dan Pak Kiai yang menerima mangganya," kata Ihwan. Bahkan Dinas sampai membelikan mikrofon untuk pondok pesantren kiai itu.
Agaknya cara ini ampuh. Warga bersedia magang di kebun PT Frigga di Desa Jarangan selama sebulan. Selain dilatih cara budi daya, petani diajari cara memasarkan. Dinas Pertanian dan Gapoktan memberi bantuan perawatan dan pupuk melalui program Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan. Dari pelatihan itu, petani yakin Klon 21 prospektif. Ketika praktek pun mereka mengetahui pendapatan menanam mangga ini selama setahun setara dengan panen padi tiga tahun.
Pasca-Orde Baru, program ini dilanjutkan dengan anggaran daerah Pasuruan melalui Program Pengembangan Sentra Mangga sejak 2000. Anggarannya jauh lebih kecil, bibit yang dibagikan pun terbatas. Tahun ini anggaran hanya Rp 70 juta dan bibit yang dibagikan 6-10 ribu batang. Dana 2013 itu diwujudkan menjadi 10 ribu bibit untuk 100 hektare lahan di Kecamatan Sukorejo.
Kini Pasuruan punya 4.000 hektare Klon 21 di Rembang, Wonorejo, Sukorejo, dan Nguling. Yang paling sukses Desa Oro-oro Ombo, Rembang, dengan 468 hektare lahan. Hidup petani Klon 21 pun berubah. Dari berharap hidup dari tanaman singkong dengan rumah beralas tanah dan berdinding bambu,kini mereka berpenghasilan hingga puluhan juta rupiah.
Anggota Gapoktan Makmur Sentosa, Santoso, misalnya, meraih laba Rp 90 juta tahun ini dari tiga hektare Klon 21. Tahun lalu dia mendapat Rp 160 juta. "Ada yang pernah mendapat Rp 1 miliar dari lima hektare lahan dalam setahun," ujar Ihwan.
Pada awal musim panen, harga mangga alpukat ini bisa Rp 30 ribu per kilogram. Saat panen raya, harga merosot hingga Rp 10 ribu per kilogram. Jika dipukul rata, harga jual ke pengepul Rp 15 ribu per kilogram, jauh di atas harga mangga biasa yang Rp 3.500.
"Tak aneh jika ada pengepul yang memutar uang sampai Rp 11 miliar untuk membeli mangga dari petani," kata Ihwan. Mangga-mangga itu dipasok ke supermarket Jakarta dan kota-kota besar.
Endri Kurniawati, Ishomuddin
Garifta Si Merah Masam
Pemerintah Kabupaten Pasuruan sedang menyiapkan peluncuran varietas mangga baru: garifta. Menurut Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Pasuruan Ihwan, garifta adalah hasil persilangan mangga madu lokal dengan mangga Brasil. Garifta adalah akronim dari kata "ga" yang berarti mangga, "rif" dari Research InstiÂtute for Fruit, dan "ta" untuk mempercantik ucapan.
Juru bicara Kebun Percobaan Kementerian Pertanian di Desa Cukurgondang, Grati, Pasuruan, Khoirul Mu'minin, mengatakan garifta akan dikembangkan untuk pasar internasional yang telah jenuh dengan mangga berwarna hijau karena terkesan dipaksa masak. Garifta yang masak warnanya merah kekuningan, rasanya sedikit asam.
Mangga ini cocok ditanam di ketinggian 1.500 meter, curah hujan di bawah 1.500 milimeter per tahun, dan masa kering kurang dari empat bulan. Wilayah potensial garifta tersebar di 11 provinsi dan 38 kabupaten di Indonesia. Di Jawa Timur, mangga ini potensial ditanam di Probolinggo, Pasuruan, Situbondo, Gresik, Mojokerto, Lamongan, dan Magetan.
Garifta terdiri atas empat varietas, di antaranya garifta merah, kuning, dan gading. Proses pengembangan dan penelitian dimulai sejak 1977 hingga 2009. Seleksi dilakukan menggunakan metode seleksi klon terbaik untuk meningkatkan kemampuan genetik tanaman vegetatif.
Observasi cita rasa dan kesukaan dilakukan sejak 1996 dengan panelis para pekebun mangga, asosiasi hortikultura, pedagang buah, dan konsumen. "Tak terhitung lagi berapa kali gagal," kata peneliti garifta, Karsina.
Tahun lalu, 150 hektare lahan di Desa Cukurgondang ditanami bibit garifta. Jumlah itu meningkat jadi 300 hektare pada 2013. November lalu, Garifta dipanen setelah ditanam dua-tiga tahun. Pasar menyambutnya antusias. Mangga ini bisa laku dengan harga hingga Rp 60 ribu per kilogram.
Endri K., Edwin F. Suko, Ishomuddin
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo