PERKARA seperti ini tergolong langka. Bambang Subono, 29 tahun, mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Bambang Isti Nugroho, 29 tahun, tukang sapu di perguruan tinggi itu, dituduh menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme, Marxisme, dan Leninisme yang terlarang itu. Secara terpisah, kedua perkara subversi ini (melanggar UU nomor 11/PNPS/1963), sekarang diadili Pengadilan Negeri Yogyakarta. Bambang Subono, mahasiswa tingkat terakhir jurusan Sosiologi Fisipol UGM itu, mulai diadili, Kamis pekan lalu. Tiga hari sebelumnya, pengadilan yang sama memeriksa Bambang Isti Nugroho. Jaksa Akhrul Latief menuduh, sejak 1981 Bambang Subono telah menyimpan, memiliki, menyebarkan, dan memperdagangkan barang cetakan yang mengandung ajaran komunis. Antara lain sejumlah buku karangan tokoh Lekra Pramudya Ananta Toer yang berjudul Rumah Kaca, Gadis Panlai, dan Anak Semua Bangsa. Bambang memiliki juga beberapa buku Tan Malaka, tokoh kiri Indonesia yang jadi anggota Komunis International (Komintern), serta karangan Mao Zedong. Buku-buku Pramudya itu, menurut Jaksa, dijual terdakwa kepada para mahasiswa di kampus UGM, IKIP Sanata Dharma Universitas Atmajaya, dan UII Yogyakarta. Padahal Marxisme/Komunisme dalam segala bentuk dan manifestasinya dilarang di Indonesia, sesuai dengan ketetapan MPRS. nomor XXV/MPRS/1966. Peristiwa ini terbongkar ketika pada 9 Juni 1988 Bambang tertangkap tatkala menjajakan buku-buku itu kepada penonton pementasan drama di Sport Hall Kridosono Yogyakarta. Pada pemeriksaan pendahuluan di Kodim 0734 Yogyakarta, Bambang Subono mengaku memperdagangkan buku itu untuk tambahan uang saku. Tapi dari pemeriksaan kemudian, Bambang mengaku anggota Kelompok Studi Sosial Palagan Yogyakarta (KSSPY) yang dikoordinasikan Bambang Isti Nugroho. Isti dituding Bambang menginginkan terbentuknya negara komunis di sini. Itu dibantah Isti. "Padahal saya tak tahu-menahu Marxisme/Komunisme," katanya di dalam berita acara pemeriksaan (BAP). Berdasarkan pengakuan Bambang Subono, Isti Nugroho ditangkap Kodim, 20 Juni 1988. Tukang sapu di Lembaga Penelitian UGM ini, menurut tuduhan Jaksa A.H. Ritonga, telah 13 kali melaksanakan diskusi tanpa izin di rumahnya. Di dalam diskusi-diskusi yang dihadiri lebih dari lima orang itu, berkali-kali Isti mengeluarkan kata-kata yang dianggap Jaksa sebagai menyebarkan rasa permusuhan, perpecahan, kekacauan, keguncangan di kalangan masyarakat. Misalnya, anak muda yang tak tamat SMA itu mengatakan bahwa pembangunan masih belum menjangkau masyarakat bawah, atau sistem pemerintahan sekarang tidak demokratis. Isti juga pernah mengundang penceramah Doktor Keith Foucher dari Australia. Di dalam acara itu, Keith Foucher memberikan ceramah yang isinya berbau komunis. Buku Pramudya, Gadis Pantai dinilai mempunyai nilai estetika tinggi. Padahal, menurut Jaksa, Isti tahu kalau buku itu dilarang Kejaksaan Agung karena mengandung ajaran Marxisme/Komunisme. Isti mengaku gagal di bangku sekolah formal, karena itu ia mencoba belajar di luar sekolah, antara lain dengan mendirikan kelompok diskusi itu sejak 1985. Sabtu pekan lalu, dalam eksepsinya, tim pembela berpendapat bahwa "Perbuatan terdakwa merupakan salah satu sikap kritis generasi muda terhadap masalah-masalah sosial yang ada di lingkungan kita berada". Maka tim pembela yang dipimpin Nur Ismanto pun bertanya: mengapa sikap kritis semacam itu dimejahijaukan? Ucapan-ucapan terdakwa yang dianggap jaksa bisa menimbulkan permusuhan adalah tidak istimewa, sebab banyak ahli yang menulis atau membicarakan hal yang sama di media massa. "Ucapan adanya jurang kaya-miskin 'kan sudah sering diucapkan -- bukan hanya para ahli, tapi juga oleh pejabat pemerintah," kata pembela.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini