TAK ada kebocoran radiasi, tapi Pusat Penelitian Nuklir Yogyakarta (PPNY) pekan-pekan ini jadi sorotan. Dua pekan lalu enam staf di sana mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Sleman, Yogyakarta. Yang mereka gugat ialah Haryono Arumbinang, Kepala PPNY, dan Dirjen Batan Djali Ahimsa. Sumihar Hutapea, misalnya, dalam gugatan yang disampaikan ke pengadilan 20 April lalu, mengungkapkan berbagai perlakuan tak wajar yang diterimanya selaku staf di pusat penelitian nuklir itu. Sejak 12 Agustus 1987, ahli nuklir ini dilarang oleh Dirjen Batan memasuki kompleks PPNY. Bahkan untuk mengambil gaji saja, ia tak bisa memasuki kantor itu. Selanjutnya, sejak Februari 1988, uang TBN (tunjangan bahaya nuklir) sebesar Rp 34.000 per bulan, untuk Sumihar, dihentikan Ditjen Batan. Juga dihentikan biaya studi Sumihar untuk program S3 di UGM Yogya. Terakhir, 4 April lalu, keluar pula SK untuk memindahkannya ke kantor Reaktor Serba Guna di Serpong, Jawa Barat. Untuk semua kerugian moril maupun material itu, Sumihar meminta pengadilan agar menghukum Dirjen Batan dan Kepala PPNY Rp 200 juta. Ternyata, yang mengalami nasib begini bukan cuma Sumihar. Lima temannya Buntarto. Djoko Suroso, Heri Noor Heryanto, Bambang Setyadi, dan Widodo mengalami nasib sama. Empat nama pertama dipindahkan ke berbagai proyek Batan, sedang Widodo sudah diberhentikan Februari lalu. Maka, mereka juga menggugat Dirjen dan Kepala PPNY di pengadilan. Yang menarik, latar belakang semua perlakuan jelek yang diterima enam pegawai Batan itu, karena mereka membuat laporan ke Kejaksaan Tinggi Yogya, bahwa di lingkungan kantornya itu terjadi manipulasi yang mengakibatkan negara dirugikan Rp 1 milyar. Penyelewengan itu meliputi ketidakberesan pembangunan gedung, pembelian peralatan laboratorium, serta pembayaran TBN para peneliti. Karena laporan ini, kejaksaan memeriksa 40-an pegawi PPNY, termasuk para pelapor itu. Kemudian Juli 1987, Kepala Kejaksaan Tinggi Yogyakarta H.R. Djoko Moeljo menerangkan bahwa pihaknya sedang mengusut kasus penggelapan Rp 1 milyar di pusat penelitian nuklir itu. Betulkah mereka ditindak karena laporan itu? Kepala Biro Pemasyarakatan dan Kerja Sama Sains Teknologi Ditjen Batan Nyonya Soeprapto membenarkan. "Tindakan kami ambil karena kelompok enam itu tidak pernah melaporkan kecurigaan mereka pada atasannya, tapi langsung ke Kejaksaan Tinggi. Padahal, sesuai peraturan kepegawaian, mestinya mereka melapor dulu kepada atasannya," katanya. Gaji mereka, menurut Ny. Soeprapto, tak pernah dihentikan. Tapi mereka harus mengambil gaji di gardu depan kantor, karena larangan terhadap mereka untuk masuk ke PPNY belum dicabut. Benarkah peraturan kepegawaian melarang orang melaporkan penyelewengan di instansinya ke Kejaksaan? Ternyata tidak. "Sebagai warga negara, mereka berhak memberikan informasi penyelewengan kepada aparat hukum. Termasuk melapor ke Kotak Pos 5000," kata Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Sarwono Kusumaatmadja pada TEMPO. Malah sebagai pegawai negeri, kata Sarwono, "kalau mengetahui penyelewengan, mereka wajib melaporkannya pada aparat yang berwewenang." Cuma, mereka harus bertanggung jawab terhadap laporan itu agar tak menjadi fitnah. Kejaksaan Agung sendiri membantah telah memetieskan perkara itu. "Sampai sekarang kami masih memeriksa saksi-saksi dan mengumpulkan barang bukti dengan cermat. Kami tak tergesa-gesa, karena perkara ini memerlukan perhatian yang serius," kata Soeprijadi, Kepala Humas Kejaksaan Agung.Amran Nasutlon, Sri Pudyastuti, I Made Suarjana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini