Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Silang sengketa penguasa tunggal

Sengketa tanah antara penduduk & otorita pangkalan TNI-AU medan terus berkepanjangan. ada perbedaan penafsiran dalam istilah "penguasa tunggal". penduduk dilarang menguburkan jenazah di tanah sengketa.

6 Mei 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

UPACARA pemakaman jenazah Paijan, 62 tahun, di pekuburan Karangsari, Medan, akhir Maret lalu nyaris gagal. Para pengiringnya buyar karena dihadang 40-an anggota TNI-AU bersenjata lengkap. Tapi enam jam kemudian, para anggota TNI-AU itu mundur setelah ratusan kaum ibu, sambil memekikkan takbir Allahu Akbar, menggantikan kaum bapak yang lari terbirit-birit. Peristiwa ini hanya salah satu insiden yang sering terjadi di perkampungan dalam kawasan Otorita PAU (Pangkalan TNI-AU) Medan seluas 602 hektar, yang sejak 1950 dinyatakan terlarang dihuni atau digunakan untuk bangunan atau sarana sosial penduduk sipil. Becak atau kendaraan umum juga dilarang masuk. Yang diizinkan beroperasi hanyalah minibus yang dikelola sebuah yayasan di bawah PAU. Untuk membangun, harus mendapat izin PAU dengan biaya Rp 300.000. Bila ketentuan dilanggar, kendaraan pengangkut bahan bangunan pasti dicegat pos penjagaan. Atau bangunannya dirobohkan. "Seperti ada negara dalam negara saja," kata Pardi Kelewang, 62 tahun, pensiunan TNI-AU yang juga penghuni di situ. Suasana seperti itu mendorong 168 penduduk menggugat PAU ke pengadilan. Mereka menang. Pada 12 April lalu, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Medan memutuskan tanah pekuburan itu sah milik penduduk. Tanah pekuburan seluas 3.200 m2 itu dibeli penduduk dari Mohindar Singh. Tapi belakangan Komandan PAU Medan, Letkol. Saefullah, tidak menyetujui penggunaan tanah itu untuk pekuburan umum, karena sudah direncanakan untuk bangunan militer. Alasan itu, seperti diungkapkan Kapten B. Tambunan, S.H. selaku kuasa hukum PAU, ada dasarnya. Sejak 1950, PAU ditunjuk oleh Kol. T.B. Simatupang, Kepala Staf Angkatan Perang saat itu, sebagai "penguasa tunggal" di wilayah militer seluas 602 hektar itu. Keputusan itu dikuatkan SK Menteri Pertahanan Ir. Djuanda pada 1957. Lantas ada surat keputusan bersama (SKB) yang diterbitkan Komandan PAU Medan dan Komandan Militer Kota Besar Medan pada 1958, yang menegaskan bahwa segala sesuatu yang berada di wilayah militer itu harus tunduk kepada peraturan PAU. SKB ini diperkuat SK Dirjen Agraria pada 1970. Tapi, menurut Darwan Peranginangin dari LBH Medan, yang jadi pengacara penduduk, hak penguasaan PAU atas tanah tersebut pada 1982 telah dicabut oleh Menteri Dalam Negeri. Artinya, kawasan itu kembali dinyatakan sebagai tanah negara -- meski PAU tetap bisa memohon hak pakai dengan syarat: tanah tersebut bebas dari pemilikan penduduk. Setelah memenangkan perkara sengketa tanah pekuburan, semangat penduduk muncul untuk menggugat PAU lagi. Kali ini 150 KK mempersoalkan penguasaan PAU atas tanah permukiman mereka. Tapi di lain pihak PAU naik banding dalam kasus sengketa tanah pekuburan. Pengajuan banding ini memang beralasan. Menurut B. Tambunan, perwira hukum PAU tadi, kawasan militer di Polonia yang dikuasakan pada PAU meliputi perbatasan Sungai Deli, Babura, Jalan Merdeka, dan rel kereta api Gedung Johor. "Penduduk yang tinggal di kawasan itu harus tunduk pada ketentuan yang digariskan oleh PAU," katanya. Ia mengakui, banyak penduduk yang memegang SK Camat, seperti halnya tanah pekuburan itu. "Tapi SK Camat itu tidak kuat, karena hanya menjelaskan bahwa pemegangnya masuk ke dalam wilayah kecamatan itu," katanya. Artinya, bukan merupakan bukti pemilikan tanah. Bahwa PAU kalah di pengadilan, agaknya lantaran majelis hakim tidak mempertimbangkan SK Kepala Staf Angkatan Perang pada 1950 itu. Bahkan, menurut Tambunan, SK Mendagri 1982 -- yang menurut dia juga menyatakan status tanah di wilayah Polonia itu sebagai tanah negara -- justru dianggapnya penting. Sebab, hal itu sejalan dengan instruksi Gubernur Sumatera Utara 22 Agustus 1984 dan Instruksi Wali Kota Medan 1 September 1984, yang antara lain menyatakan bahwa segala macam izin tidak akan diberikan tanpa koordinasli PAU. Soalnya, katanya, wilayah itu sudah dirancang untuk instalasi militer, tidak ada yang digunakan untuk permukiman penduduk sipil. Rencana induknya pun sudah disahkan oleh KSAU. "Justru bila komandan PAU mengizinkan wilayahnya digunakan untuk bangunan yang tidak sesuai dengan rencana induk, berarti ia melawan hukum," ujar Tambunan, mengulangi alasannya dalam tanya-jawab di pengadilan. Tampaknya ada perbedaan penafsiran mengenai istilah "penguasa tunggal". Majelis hakim, misalnya, menafsirkan bahwa hak penguasaan PAU tidak berarti PAU sebagai pemilik tanah, tapi hanya hak menentukan penggunaannya. Lagi pula, yang dimaksud kawasan penguasaan PAU ialah lokasi dalam radius lima kilometer dari landasan lapangan terbang yang ditandai dengan pagar yang jelas dan diumumkan secara resmi untuk diketahui orang banyak. Padahal, tanah sengketa itu di luar radius tersebut. Beda penafsiran itu juga mengenai SK Mendagri 1982. Menurut majelis hakim, justru SK tersebut mencabut hak penguasaan PAU atas tanah seluas 138 hektar dalam areal wiiayah seluas 602, hektar yang sejak 1950 dikuasakan kepada PAU itu. Tanah yang kembali jadi milik negara itu meliputi Desa Karangsari, Karangrejo, Polonia 1-2, Sidodadi 1-2, dan Sukadamai. Tanah-tanah ini berada di lokasi yang 132 hektar itu. Tapi PAU pantang mundur, meski tanah yang dikuasainya kurang layak sebagai basis pangkalan udara. Penilaian itu, misalnya, datang dari Kota Madya Medan. "Pemda Medan dan Pemda Provinsi Sumatera Utara sudah beberapa kali minta TNI-AU memindahkan lapangan terbang Polonia ke lokasi yang lebih luas dan aman untuk penerbangan," kata Niwal Hasyim, Kepala Humas Kota Madya Medan. Tapi pihak TNI-AU belum bersedia. Sebab, pemindahan sebuah bandar udara, lengkap dengan segala perangkat dan instalasinya, tentu membutuhkan biaya besar. Itu sebabnya PAU naik banding dan tetap melarang penduduk menguburkan jenazah di tanah pekuburan sengketa itu. "Kalau mereka mendirikan bangunan, mudah membongkarnya. Tapi untuk membongkar kuburan, kan susah," kata Tambunan.Budiman S Hartoyo, Bersihar Lubis, Irwan E Siregar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum