Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Mengapa Mereka Tidak Setuju Perkara Normalisasi Kampus

Penolakan mahasiswa UI, ITB dan UGM atas terlaksananya nkk dan bkk di kampus. wawancara tempo dengan daoed joesoef tentang nkk/bkk. (pdk)

8 Desember 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MEREKA, berjumlah separuh dari sekitar 2.500 undangan, rupanya tak menduga. Presiden Soeharto, dalam membacakan sambutannya, ternyata menyinggung juga soal "Normalisasi Kehidupan Kampus." Itu terjadi di Gedung Negara Surabaya, akhir November lalu dalam acara puncak peringatan 25 tahun Universitas Airlangga, Surabaya. Soal NKK (Normalisasi Kehidupan Kampus) memang menarik lagi. Meskipun di sebagian besar universitas (31 dari 47 buah) ia dilaporkan berjalan lancar, suara mahasiswa -- terutama dari UI dan ITB -- masih terdengar menolak. Setelah beberapa bulan kabar tentang itu tak terdengar, di kampus UI Salemba misalnya, muncul poster-poster yang menghantam BKK (Badan Koordinasi Mahasiswa) lembaga yang sah berdasar NKK. Itu bermula dari kasus Triennial Intervarsity Games di Kualalumpur (TEMPO, 17 November 1979), yang menyebabkan 6 mahasiswa diskors rektor UI. Dan tak hanya di kampus, mahasiswa UI -- juga kemudian ITB -- melaporkan keresahan mereka soal penerapan NKK tersebut ke DPR. Ulah mahasiswa ini sempat mendorong pihak UI dan P&K, untuk bersama-sama mengadakan satu konperensi pers. Berlangsung sore hari, di Departemen P&K, pertengahan November lalu. Rektor UI Prof. Dr. Mahar Mardjono lengkap membawa Purek, Dekan dan Pudeknya. Di situ kembali ditegaskan oleh Menteri Daoed Joesoef, bahwa NKK tetap akan dijalankan. Sempat pula dikatakannya, bahwa sebagai bagian masyarakat yang mempunyai aturannya sendiri universitas bisa saja menjatuhkan sanksi terhadap pelanggarnya. Yang menarik kemudian ialah yang terjadi di DPR 24 November 25 anggota DPR dari FPP (Fraksi Persatuan Pembangunan) dan FDI (Fraksi Demokrasi Indonesia) mengajukan usul interpelasi yang pada pokoknya menanyakan kepada pemerintah apakah kebijaksanaan mengenai kampus tak seyogyanya ditinjau kembali. Usul interpelasi ini -- hak DPR meminta keterangan langsung dari Presiden mengenai suatu kebijaksanaan pemerintah -- memang dijamin dalam Tata Tertib DPR Ayat 10 Pasal 1. Tapi mengapa FKP (Fraksi Karya Pembangunan) di antara anggotanya tak ikut menandatangani usul interpelasi tersebut? "FKP tak pernah ditawari usul itu," jawab Oka Mahendra SH, dari FKP kepada Margana dari TEMPO. Ia pun menilai bahwa usul tersebut memang sesuai hak anggota DPR, "tetapi sasarannya kurang memadai dibanding senjatanya." Dan sementara, Kamis 29 November sejumlah besar mahasiswa ITB memperingati 19 tahun KM (Keluarga Mahasiswa) ITB di kampusnya, sekitar 70 mahasiswa UI bertamu lagi ke DPR. Tak ada pernyataan baru, liwat pembicara mereka, mahasiswa UI itu hanya menyampaikan terima kasih. "FPP telah memahami aspirasi kami dan ikut memperjuangkan kepentingan kami," kata wakil mahasiswa. Dua hari kemudian di kampus UI Salemba ada acara yang disebut "Apel Siaga". Agak berbeda dengan acara kumpul-kumpul yang semacam yang terjadi pada hari-hari sebelumnya, hari itu lebih banyak dibacakan puisi. Maklum, di antara mereka hadir penyair Rendra yang pertengahan November lalu mementaskan drama Lysistrata di Yogyakarta. Pada hari yang sama dengan "Apel Siaga" UI, di Gelanggang Mahasiswa Yogyakarta, sebuah acara yang sebelumnya diduga akan menjadi arena debat sengit, ternyata tak jadi dilaksanakan. Acara itu -- dengar pendapat antara mahasiswa anggota BKK dengan SM (Senat Mahasiswa) dan BPM (Badan Permusyawaratan Mahasiswa) UGM -- dibatalkan, karena "ditinjau dari segi keamanan tidak memungkinkan," kata F. Hutagalung alias Ucok, mahasiswa Fakultas Sosial Politik UGM yang duduk dalam BKK. Tapi pagi itu memang ada yang dikerjakan -- oleh mahasiswa anggota BKK. Mereka merumuskan konsep yang akan dibawa ke Jakarta. "Kita ingin memberi tahu kepada Menteri P&K, baju yang diberikan setahun lalu dan kita terima untuk dipakai, ternyata benar-benar sesak," kata Ucok. Jadi maksudnya ke Jakarta dengan konsep "mempermak dan melonggarkan" baju tersebut. Sudah jelas, baju itu ialah NKK beserta BKK-nya. Jadi kampus UGM memang bergaya lain daripada ITB atau UI. "Kita coba diterapkan, dan benar tidak baik," tambah Ucok. Menurut dia, Ketua dan Sekretaris Umum BKK yang dijabat oleh Purek III dan Pudek III ternyata mematikan kreativitas karena sangat birokratis. Memang, agaknya kondisi, suasana dan gaya kampus-kampus di Indonesia ini berlainan. Di Unhas, Ujungpandang, Prof. Dr. Amiruddin berhasil mengadakan pendekatan dengan mahasiswa. Dan kata rektor itu dengan bangga: "NKK yang semula lesu, kini sudah bergairah." Jadi apa sebenarnya hambatan bagi terlaksananya NKK beserta BKK-nya? Umumnya memang lembaga kemahasiswaan yang diketuai Purek 111 itu dianggap mengurangi kebebasan gerak mahasiswa, terutama soal BKK-nya. "Dengan BKK memang benar kalau gerak mahasiswa dibatasi," kata Prof. Moedomo, Koordinator Kegiatan ITB kepada TEMPO. "Soal berjuang memang hak mahasiswa. Tapi membawa nama kampus ITB, itu yang tidak dibenarkan." Pendapat semacam itu biasanya ditafsirkan sebagai pembatasan kegiatan kampus sebagai cuma tempat yang hambar. "Yang dimaui pemerintah hanya kegiatan ilmiah yang steril," kata Jo Rumeser, mahasiswa Fak. Psikologi Ul. Untuk menggunakan organisasi mahasiswa luar-kampus, seperti HMI, GMNI dan lain-lain, menurut Jo, "sudah tidak pada zamannya, ormas tak bisa lagi menampung aspirasi mahasiswa. " Yang lebih keras lagi kata Reni Patirajawane, mahasiswa Fak. Sastra UI: "Organisasi ekstra-universiter memecah belah persatuan mahasiswa." Soal organisasi luar kampus memecah belah mahasiswa secara tak langsung diakui oleh Wem Kaunang, Ketua Presidium Pengurus Pusat PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa Katolik Indonesia) periode 1977-79 : "PMKRI sudah out dari kampus sejak 1971. Untuk menghindarkan nafsu kompetisi tak sehat sesama organisasi luar kampus," katanya. Toh ada suara lain, datang dari anggota DPR, yang tak bersedia disebut namanya. "DM bukan satu-satunya alat untuk main politik," katanya: "Masalahnya mahasiswa tak senang dengan Parpol dan Golkar." Rachmat Witular, anggota FKP dan bekas Ketua DM ITB 1965/66 lebih tegas lagi: "Mahasiswa jangan puas hanya menggunakan haknya sebagai mahasiswa." Maksudnya, silakan pergunakan Parpol atau Golkar untuk menyalurkan aspirasi politik. "Wadah itu lebih efektif untuk masa kini," tambahnya. Tapi kata Krisna Wijaya, Ketua SM Fak. Pertanian IPB periode 1978-79: "Selama lembaga demokrasi kita sudah berjalan wajar, mahasiswa tak akan punya alasan resah dan melakukan aksi." Dan dalam keadaan seperti itu, "NKK dengan BKK-nya pun bisa berjalan lancar, karena ada jaminan aspirasi mahasiswa akan tertampung dalam lembaga-lembaga demokrasi itu." Kata Yusman dari ITB: "Organisasi politik mampet, jadi kami akan tetap melakukannya lewat saluran kampus." Tapi semangat "perjuangan mahasiswa" memang tak bisa dilepaskan dari, misalnya, "suksesnya Angkatan '66 dahulu. Hingga timbul satu mitos: kampus ternyata bisa juga menjadi kekuatan politik, meskipun perubahan yang terjadi di tahun 1966 itu sebenarnya tak hanya dilakukan mahasiswa -- bahkan tak selamanya dimulai oleh kampus dan mahasiswa . Dan kritik terhadap pihak mahasiswa tak cuma itu. Misalnya, jarang orang mendengar mahasiswa protes bahwa perpustakaannya tidak lengkap atau dosennya sering absen. Padahal seperti Prof. Moedomo bilang, "Kita sudah lama merasakan dunia pendidikan kita sudah jauh ketinggalan." Benarkah mahasiswa hanya teriak soal negara dan lalai mempersoalkan kekurangan yang lebih dekat? Ada jawaban dari UGM. "Kekurangan buku dan dosen tidak harus disuarakan keraskeras," kata Ucok. Menurut dia, sambil membawa "baju" untuk minta dipermakkan ke Jakarta nanti, Ucok dan kawan-kawannya juga membawa sejumlah masalah menyangkut: pengadaan buku di perpustakaan, sistem ujian, terlalu banyaknya dosen yang dikirim ke luar negeri hingga mahasiswa terlambat ujian, dan lain-lain. DI samping itu, sejumlah mahasiswa IKIP Bandung membuktikan, di tengah keresahan soal NKK/BKK, mereka masih sempat terketuk untuk membantu korban gempa di Kabupaten Tasikmalaya dan Garut. Mereka datang kepada rektor, membeberkan ide-idenya. Rektor menyambut baik. Hanya dua hari telah terkumpul Rp 150 ribu. Dan ketika Gubernur Ja-Bar mengundang perguruan-perguruan tinggi di Bandung untuk menanyakan penanggulangan korban gempa itu, IKIP tampil dengan konsepnya yang memang telah disiapkan. Akhirnya sebuah gedung sekolah di Cigalontang, Tasikmalaya berhasil didirikan --oleh IKIP Bandung. Itu semua hanya membuktikan, sekali lagi, bahwa kondisi dan gaya kampus-kampus memang berlainan. Di UI sendiri muncul 14 mahasiswa yang di akhir November ke DPR dan bersuara agak lain dari suara mahasiswa UI sebelumnya. "Tuntutan mereka (mahasiswa, rekan-rekan mereka juga, yang protes NKK/BKK sebelumnya - Red.) rasanya kurang beralasan -- kecuali bila seluruh mahasiswa perguruan tinggi di Indonesia ini menolak NKK/BKK," kata Muarakarta Simatupang, salah seorang dari yang 14 itu, kepada wartawan TEMPO Bachrun Suwatdi. Seorang sosiolog, Prof. Dr. Harsja Bachtiar, kepada TEMPO mengatakan susahnya menjadi Menteri P&K di Indonesia: "Orang-orang yang terlibat dalam sistem pendidikam guru, mahasiswa, dosen atau pelajar, begitu berbeda-beda latar belakang kehudayaan dan ekonominya." Maksud Harsja, kebijaksanaan apa pun yang dibuat Menteri P&K dalam menyempurnakan pendidikan pasti ada golongan yang merasa dirugikan, dan lantas protes. Sementara pendidikan harus terus berjalan -- dan meningkat kualitasnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus