INI pilihan yang sulit untuk para kuli tinta: mau kecepatan atau kelengkapan? Di tengah persaingan media massa yang makin ketat, kecepatan memang kerap diutamakan. Tapi, jangan sepelekan kelengkapan. Salah-salah mengalami nasib seperti Dono Darsono. Gara-gara terlambat melakukan konfirmasi untuk melengkapi beritanya, wartawan harian Pos Kota Biro Bandung itu dijadikan tersangka oleh polisi. Tuduhannya, mencemarkan nama baik Kapolda Jawa Barat, Irjen Sudirman Ali.
Kasus Dono bermula saat Ketua LSM Konstan, Hermanto, ditanyai wartawan sesudah melaporkan soal pencemaran nama baik institusinya oleh HELP?sebuah LSM serupa?ke polisi, 29 Januari lalu. Kata Hermanto, HELP telah menuduh Konstan menerima dan memeras PT Perhutani Jawa Barat sebesar Rp 360 juta. Selain itu, seperti tertera dalam siaran pers Konstan yang dibagikan kepada wartawan, Kapolda Ja-Bar juga dituding telah menerima uang oleh pihak yang sama.
Dono, yang meliput acara tersebut, segera melakukan konfirmasi kepada Kadispen Polda JaBar. Apa daya, "Kantor dispen kosong-melompong, tidak ada pejabatnya," ujar Dono kepada Bobby Gunawan dari TEMPO. Maklum, tanya-jawab itu sendiri selesai pukul 17.00.
Dono sempat bimbang apakah menurunkan berita itu atau menundanya. Namun, karena berita itu berkelas "kakap", ia tetap mengirimkannya ke Jakarta sebelum tenggat pukul 18.00. Esok hari, beritanya muncul dengan judul LSM Tuding Kapolda Terima Suap Rp 2 Miliar.
Hari itu juga Dono masih berupaya melakukan konfirmasi ke pihak Polda Ja-Bar. Namun, entah sudah telanjur jengkel dengan berita miring tentang Kapolda atau karena faktor lain, "Saya diusir dan dianggap bukan wartawan Polri," kata Dono, wartawan yang aktif memberitakan polisi itu.
Sepekan kemudian, 6 Februari, Polda Ja-Bar mengirim hak jawab ke Pos Kota. "Komplain itu kami turunkan esok harinya selama dua hari berturut-turut dalam bentuk berita," kata Cepi Ganda, Kepala Biro Pos Kota di Bandung. Melihat hak jawab sudah dimuat, Dono merasa tenang.
Namun, nasibnya apes. Seminggu setelah hak jawab polisi dimuat, ayah dua anak itu dipanggil ke Poltabes Bandung. Setelah diperiksa, Dono resmi dinyatakan sebagai tersangka pada 16 Februari. "Tidak ada yang kebal hukum," kata Kapolresta Bandung, Ajun Komisaris Besar Edward Syah Pernong. Ikut pula diseret sebagai tersangka adalah dua ketua LSM yang saling bersengketa: Hermanto dari Konstan dan Adang Gumelar, Ketua HELP.
Tindakan polisi itu mengundang kritik banyak pihak. Senin pekan lalu, misalnya, para wartawan berunjuk rasa di Markas Polwiltabes Bandung, menuntut agar Kapolda mau berdialog. "Berita itu justru bermaksud menyampaikan kepada Kapolda bahwa ada pihak yang mengembuskan isu miring tentang dia," kata Ahyani, salah satu wartawan yang ikut berdemo.
Pembelaan para wartawan itu tidak mengubah keputusan polisi. "Wartawan bisa dijadikan tersangka sesuai dengan kesepakatan polisi dengan Persatuan Wartawan Indonesia tahun 1983," kata Ajun Komisaris Besar Dade Achmad, Kadispen Polda Ja-Bar. Kasus seperti Dono juga menimpa wartawan Metro TV Makassar, Herman Hafsah, yang dua pekan lalu digugat oleh Bupati Polmas karena berita tentang korupsi bupati tidak disertai konfirmasi darinya.
Di mata Eko Maryadi dari Divisi Advokasi Aliansi Jurnalis Independen, tindakan polisi merupakan cermin ketidakpahaman mereka terhadap tugas jurnalistik. "Jika toh harus dipermasalahkan, harusnya pemimpin redaksi, bukan reporternya," ujarnya. Selain itu, Pos Kota sudah melakukan prosedur yang disyaratkan Undang-Undang Pokok Pers dengan memuat hak jawab Kapolda. Jika masih belum puas, katanya, polisi bisa membawa kasus tersebut ke Dewan Pers sebelum melakukan tindakan hukum itu.
Pihak Pos Kota sendiri tidak tinggal diam. "Kami sudah menyediakan pengacara dari Teguh Samudera & Rekan," kata Cepi. Salah satu pasal KUHP yang digunakan polisi untuk menjerat Dono adalah 331, tentang penghinaan dan penistaan, dengan hukuman maksimum lima tahun.
Johan Budi S.P., Prasidono L., dan Tempo News Room
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini