SERATUS purnawirawan Kodam Bukit Barisan resah. Mereka merasa telah diperdayai oleh Puskopad (Pusat Koperasi Angkatan Darat), menyangkut perkebunan seluas 400 ha. Pensiunan tentara itu mengadu ke LBH Medan, dan perkaranya telah diajukan ke pengadilan. "Kami telah dirugikan," kata Letnan Satu (pur) Gemuk Ginting, 61, pekan lalu. Tanah yang menjadi masalah itu terletak di Sei Baleh, Kecamatan Tanjungtiram, Kabupaten Asahan, kira-kira 150 km dari Medan. Inilah kawasan proyek Small Holder Kodam Bukit Barisan yang pertama. Lahan dibuka bergotong-royong, atas permintaan Puskopad Kodam, yang kala itu dipimpin Mayor Drs. Toga Lumban Gaol. "Kala itu kami sangat bergembira," ujar Gemuk Ginting, "karena merasa masa tua kami diperhatikan." Itu terjadi 1974. Inilah pertama kali lahan itu dibuka, seluas 200 ha. Dua tahun kemudian, 1976, 200 ha lagi dibuka, juga secara bergotong-royong oleh para purnawirawan itu. "Lahan itu memang memberi harapan, dan pimpinan Puskopad menjanjikan tanah itu akan menjadi hak milik kami," kata purnawirawan yang lain, Peltu (pur) Husin Lubis, 60. Pimpinan Puskopad, memang, membagi rata areal lahan itu. Sehingga, seorang purnawirawan mendapat areal kerja masing-masing 4 ha. "Saya mengerjakan tanah itu dengan berapi-api," tambah Husin Lubis. "Kerja gotong-royong itu mengingatkan saya pada masa perjuangan kemerdekaan dulu." Begitulah, katanya, seratus purnawirawan, berpakaian kusam, memanggul cangkul dan menyandang parang, bersemangat membabat semak belukar. "Lahan itu kami keroyok sejak pagi, bahkan kadang sampai lewat magrib," kata Lubis. Pada enam bulan pertama, mereka mendapat bantuan 16 kg beras sebulan dari Puskopad. Kecuali itu, dengan bantuan karyawan PTP VI, bibit kelapa sawit pun lantas ditanam. Setelah masa tanam selesai, ketika memasuki masa perawatan kebun, para purnawirawan itu mulai mendapat apa yang disebut "upah jasa". Upah ini diberikan dengan ukuran, bagi yang bekerja 120 hari setahun, mendapat maksimal Rp 38.000 setahun. Dan, ketika panen pertama dimulai -- 3 tahun setelah menanam -- Puskopad memberi Rp 5.000 sebulan. "Katanya, itulah hasil kelapa sawit dari calon lahanyang menjadi hak milik kami," ujar Gemuk Ginting. Kala itu, para purnawirawan ini tak protes, kendati hasilnya cuma sedikit. "Sebab, biasanya panen pertama memang hasilnya belum baik." Perolehan yang diterima makin lama memang kian bertambah. Dari Rp 5.000, meningkat pada panen-panen berikutnya, menjadi Rp 10.000, Rp 15.000, dan seterusnya, hingga akhirnya, sejak Maret 1985 hingga kini seorang purnawirawan mendapat Rp 200.000 sebulan. Uang itu diberikan, "Tanpa ada perincian," kata Gemuk Ginting. Yang unik ialah, para purnawirawan itu tak diperkenankan campur tangan, misalnya, dalam hal merawat kebun kelapa sawit itu. Para purnawirawan itu, setelah usai menanam, memang seakan disuruh hanya ongkang-ongkang. "Padahal, bukan begitu menurut perjanjian," kata Gemuk Ginting. Perjanjian memang pernah dibuat, 1981. Ditandatangani wakil purnawirawan dan Ketua Puskopad Toga Lumban Gaol, serta disaksikan Panglima Bukit Barisan kala itu, Brigjen M. Sanif, di situ diatur, antara lain, bahwa para purnawirawan itu harus aktif melakukan berbagai bidang pekerjaan di perkebunan itu, sesuai dengan keterampilan serta kesanggupan fisik dan mental masing-masing. Kecuali itu, pihak Puskopad akan memindahkan hak guna usaha atas lahan itu kepada para purnawirawan itu. Yang terakhir inilah yang hingga kini belum direalisasikan. Padahal, kebun itu, menurut Gemuk Ginting yang mewakili para purnawirawan itu, tahun lalu saja menghasilkan bersih Rp 937 juta lebih. Angka itu diperoleh dengan perhitungan, penjualan hasil produksi selama 1985 sebesar Rp 790 juta lebih. Belum lagi jasa giro bank, penjualan goni pupuk, dan lain-lain, sehingga total diperkirakan mencapai Rp 1,7 milyar. "Puskopad telah menyeleweng, karena itu kami menggugat," seperti kata Mayor (pur) Arifin Nasution. Gugatan itu, lewat LBH Medan telah diajukan 10 Juli lalu ke Pengadilan Negeri Kisaran. Menurut Mayor (pur) Drs. Toga Lumban Gaol, gugatan itu tak patut dilakukan. "Mereka tak tahu diuntung," katanya keras. Mengapa? Lahan itu dibuka, katanya, untuk membantu para purnawirawan itu. Dan, memang disengaja, lahan itu tak diberikan sebagai milik pribadi. Ini menghindari pengalaman tahun 1953 terulang. Kala itu, sejumlah purnawirawan diberi 2 ha lahan berikut rumah di Selayang, Medan. Tapi kemudian tanah dan rumah itu dijual, "Dan para purnawirawan itu, akhirnya, mengemis ke sana kemari," kata Lumban Gaol. Berdasar pengalaman itu, lahan perkebunan kelapa sawit di Sei Baleh, yang kini digugat itu, tak akan diberikan menjadi hak milik penggarap. "Sebab, kalau sampai terjadi seperti tahun 1953, itu berarti tujuan Panglima Kodam Bukit Barisan tidak tercapai," tambah Lumban Gaol.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini