WARGA Taiwan dan Hong Kong sekarang bisa lebih mudah berkunjung ke Indonesia. Jumat pekan lalu, Menteri Kehakiman Ismail Saleh dan Menteri Parpostel Ahmad Tahir secara bersama-sama mengeluarkan ketentuan baru menyangkut urusan keimigrasian bagi pendatang pemegang paspor Taiwan dan pemilik Certificate of Identity (CI) Hong Kong. Surar Keputusan Bersama yang berlaku per 1 Agustus ini praktis menghapuskan hambatan-hambatan yang muncul akibat SKB (dua menteri yang sama) 10 September 1984. "Jajaran Kehakiman tak ketinggalan mendukung program pengembangan ekonomi, melalui pariwisata dan kemudahan berkunjung untuk investasi," kata Ismail Saleh. SKB 1984 mengharuskan Dirjen Pariwisata melahirkan surat keputusan mengenai kewajiban bagi pendatang dari Taiwan dan Hong Kong untuk mengurus segala kelengkapan perjalanannya (visa dan tiket) hanya melalui biro perjalanan umum yang ditunjuk pemerintah RI yaitu: PT Bhayangkara Tour Travel Service, PT Vista Express, dan PT Surya Ampuh. Ketiganya mengurus pendatang pemegang paspor Taiwan dan CI Hong Kong selama berada di Indonesia. Ketiganya hanya boleh bekerja sama dengan biro perjalanan di Taipei dan Hong Kong, yaitu: Surya Djaya Travel, Panca Benua Makmur Travel, dan Arthapala Tours -- ketiganya berada di Taipei dan Hong Kong. Namun, biro wisata Taiwan 18 Desember 1984 menyurati Kadin (perwakilan) RI di sana, berkeberatan atas penunjukan ketiga perusahaan dengan hak monopoli itu. Protes Taiwan itu datang juga lantaran penunjukan tiga perusahaan itu telah menimbulkan keresahan. Sehingga pertemuan tim CI Hong Kong dan paspor Taiwan, 2 April 1985, di Jakarta, bersepakat bahwa Menparpostel layak minta maaf secara resmi kepada pemerintah Taiwan. Di Hong Kong masalah ini juga menimbulkan persoalan. Konjen RI, ketika itu Yahya, 17Januari 1985 dipanggil Direktur Protokol Pemerintah Hong Kong. Ada penyelidikan dan laporan Independent Commission Against Corruption (ICAC) -- lembaga yang dilindungi undang-undang setempat untuk melawan segala tindak culas di wilayah koloni itu -- bahwa ketiga biro perjalanan tersebut telah bertindak di luar batas. Misalnya, seorang pemegang CI Hong Kong dipungut HK$ 4.000 untuk mengurus visa, padahal Konjen RI secara resmi telah mengumumkan biaya itu hanya HK$ 67. Koran-koran penting di situ, yang berbahasa Inggris dan Cina, seperti South China Morning Post, Hongkong Standard, Ta Kung Pao, pada 9 Juli 1985 secara serempak memuat pernyataan Association of Travel Agents (HATA). Juru bicara organisasi agen perjalanan ini antara lain menyatakan, pemegang CI telah dikenai biaya $ 7.500 sampai $ 8.000, atau hampir dua kali lipat pemegang paspor biasa yang dipungut $ 4.780, untuk sebuah paket wisata selama lima hari ke Indonesia. Akibatnya, dari 1 juta lebih orang yang berpiknik ke luar negeri, hanya 10 ribu saja yang ke Indonesia. Sumber TEMPO di Deplu mengatakan, dari hampir 3 juta pemegang CI, 100 sampai 150 ribu adalah keturunan Cina bekas warga Indonesia. Sembari tetap mencoba menggugah minat turis Hong Kong, kata sumber itu, sejak 1979 pemerintah telah mengatur kunjungan mereka dan mengamankan diri dari kedatangan bekas warga negara tersebut. Merasa dipercaya pemerintah, ketiga biro perjalanan justru lepas kendali. Tak kurang dari Yahya, sebagai konjen, lantas menyimpulkan ketiganya tidak profesional dan gagal menjadi agen keamanan. Menurut sumber TEMPO, pada 25 Juli 1985 Yahya berkirim surat ke Jakarta melaporkan adanya bukti-bukti yang ditemukan ICAC bahwa mereka melakukan penipuan. Namun, kehati-hatian pemerintah Indonesia agaknya ada hubungannya dengan sikap para pendatang dari Taiwan dan Hong Kong sendiri. Paruh pertama 1985, selama empat bulan tercatat 387 orang telah memisahkan dari rombongan ketika piknik di sini. Konjen RI di Hong Kong, pada 22 Januari tahun yang sama, dibantu polisi setempat telah pula menggagalkan para pemalsu visa RI. Beberapa memang tertangkap sebelum sempat meninggalkan bandara Kaitak. Tak heran jika dalam SKB 1 Agustus itu masih ada pembatasan bagi penduduk kedua negeri itu. Antara lain dari Hong Kong hanya boleh berangkat dan pulang dari Kaitak dan Bandara Soekarno-Hatta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini