LIMA warga Kabupaten Inderagiri Hulu, Riau, yang dikabarkan tak berani pulang karena takut diperiksa pejabat setempat, sejak dua pekan lalu, dengan tenang sudah tidur di rumah mereka masing-masing. Apa yang terjadi? "Sebenarnya, kami tidak takut pulang," kata Hanuddin, seorang di antara mereka. "Ke DPR saja kami berani, apalagi di kampung sendiri." Memang, kabar tak berani pulang itu diberitakan oleh pers, seusai mereka mengadu ke Komisi II DPR. Tak hanya itu. Lima warga Riau itu juga mencoba melapor ke kantor Wakil Presiden, serta Departemen Dalam Negeri, pertengahan bulan silam. Para wartawan, rupanya, segera mengerubuti mereka. Dan, bertanya macam-macam. Kebetulan, kala itu, Tohir, seorang di antara mereka, menderita selesma. Maka, agar segera hambus dari para wartawan, "Tohir pun menjawab ceplas-ceplos saja," kata Hanuddin. Di antaranya, Tohir pun asbun alias asal bunyi. Mereka tak berani pulang karena takut diperiksa pejabat di Inderagiri Hulu. Dan, itulah yang kemudian ramai diberitakan. Gubernur Riau H. Imam Munandar, membaca berita itu, sempat mengeluarkan jaminan bagi keselamatan warganya itu. "Kalau mereka memang tak bersalah, tidak perlu takut. Pulang saja," ujar Gubernur menjawab pertanyaan wartawan, 24 Juli lalu. Berita jaminan itu lantas dimuat esoknya di koran Ibu Kota. Padahal, hari itu juga, yang dijamin sudah tenang-tenang di kampung mereka. Apa pun, yang terang, ulah kelima warga Inderagiri Hulu itu berhasil menghentikan penebangan dan pembakaran hutan karet di kampung mereka -- sekitar 330 km dari Pakanbaru. Inilah memang, pokok soal yang mereka adukan kepada Komisi II DPR itu. Penebangan dan pembakaran itu dilakukan oleh PTP IV. Perusahaan perkebunan yang berpangkal di Sumatera Utara ini mempunyai proyek perkebunan dengan pola NES (Nucleus Estate System) di wilayah Kabupaten Inderagiri Hulu itu. Inilah proyek yang dibiayai Bank Pembangunan Asia (ADB). Pola NES pada dasarnya menggunakan tanah yang selama ini dikelola rakyat secara tradisional, misalnya, dengan menanam kelapa atau karet. Tanah itu lantas diserahkan kepada Pemda setempat. Pemda lalu menyerahkan tanah itu kepada, dalam kasus di Inderagiri Hulu, ini kepada PTP IV. Selanjutnya, tanah itu dibagikan kepada rakyat, dengan kombinasi 60 persen transmigran dan sisanya penduduk setempat. Tiap-tiap kepala keluarga mendapat jatah 2 ha lahan kebun, 0,6 ha lahan pangan, serta 0,25 lahan permukiman. Perkebunan pola NES itu sebenarnya sudah dimulai sejak 1979 lalu di Kabupaten Inderagiri Hulu. Seluas 20 ha tanah rakyat di sana sudah digarap oleh PTP IV. Tanaman karet rakyat di kawasan ini ditebangi, dan dibakar, kemudian dijadikan kebun kelapa sawit dan juga karet. "Penduduk setempat protes, tapi tidak pernah ditanggapi," ujar Soepratman Syam, pengacara yang kini mewakili penduduk Kecamatan Rengat, Kabupaten Inderagiri Hulu, Riau, itu. Pada 1983, sembilan warga lantas mengadu ke DPR di Jakarta. Disebutkan, dalam pengaduan yang diterima Drs. Sawidagdo Wounde, pimpinan Komisi II dari FKP seluas 17.900 ha telah dibabati tanpa ganti rugi. Wounde memang akhirnya pergi meninjau ke kabupaten itu. Tapi apa yang terjadi? "Saya disambut oleh Pemda setempat, lantas dibelokkan sehingga tempat terjadinya areal pembabatan kebun rakyat itu tak kelihatan oleh saya," katanya. Perluasan areal terus berlangsung. Dan, 25 Februari lalu, petugas PTP IV menebas 60 hektar tanah milik penduduk, di antaranya lima warga yang mengadu ke DPR pertengahan bulan silam itu. Menurut Hanuddin, 43, ia memiliki 5 ha kebun karet yang ikut dibabat. "Ayah mewariskan tanah itu, dan siapa pun tahu di kampung ini, tanah itu milik kami," katanya. Di tanah itu tumbuh selain karet, juga pohon jengkol, petai, dan duren. Penduduk, menurut Soepratman Syam menuntut ganti rugi: tiap 1 ha tanah rakyat itu diganti uang Rp 2,5 juta. Kecuali itu, dengan perkiraan 1 ha tanah ditanami 400 batang pohon, dengan harga sebatang Rp 5.000. "Jadi, tiap hektar berharga Rp 4,5 juta," kata Syam. Tapi, pihak Pemda rupanya tetap berpendapat, sebagai hutan, tanah itu milik negara. "Tanah itu milik negara, dan mereka hanya ngarang saja mengaku sebagai miliknya," kata Kolonel Tata Suparta, Bupati Inderagiri Hulu. "Tanaman jengkol, petai, karet, dan duren yang disebut Hanuddin -- itu ditanam oleh burung." Sementara itu, pihak PTP IV merasa aneh atas ulah penduduk yang mengadu ke DPR. Tiap penduduk yang menjadi peserta proyek NES, pada dasarnya, mendapat jatah tanah perkebunan, serta kredit yang dimulai setelah tiga tahun, yakni panen sawit pertama. "Jadi, peserta proyek adalah pemilik perkebunan itu sendiri. Tak ada yang hilang," kata Ir. Daud Husni Bastari, Dirut PTP IV.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini