DEWAN Perwakilan Rakyat dipersoalkan lagi. Menjelang pemilu tahun depan, kembali banyak orang melontarkan masalah klise: kepingin lembaga wakil-wakil rakyat itu lebih berbobot dari yang ada sekarang. Golkar, misalnya, Oktober 1983 telah mencopot anggotanya yang duduk di DPP dari jabatan fungsional di DPR. Sehingga Sarwono Kusumaatmadja yang diangkat menjadi Sekjen Golkar, misalnya, harus melepaskan jabatannya di fraksi hanya jadi anggota biasa. Pekan lalu soal merangkap jabatan itu muncul lagi. Sekali ini datang dari PDI dan lebih "maju" lagi. Diusulkan agar sekjen dan ketua umum tak merangkap menjadi anggota DPR. Nicolous Daryanto, Sekjen PDI, memang sudah terang-terangan menolak menjadi anggota dewan. Tapi Soerjadi sendiri menampik berkomentar. "Tak etis kalau saya berkomentar karena bisa mempengaruhi keputusan DPP," katanya. Tetapi dari sebuah sumber yang mengutip rapat-rapat DPP menyatakan bahwa perlu tidaknya jabatan rangkap itu sama kuat berkembang di PDI. Yang menolak berargumentasi kepada keefektifan kerja. Artinya, dengan tidak merangkap jabatan maka ketua umum bisa memusatkan perhatian penuh kepada partai. Selain itu, "jabatan politik akan mempengaruhi kegiatan sehari-hari di partai," kata sumber tadi. Sebenarnya, ada sebuah budaya yang akan kembali dihidupkan dari kubu yang kontra ini. Yaitu, "Mengembalikan totalitas pengabdian pada partai." Maksudnya, keaktifan seseorang di partai tidak lagi merupakan terminal untuk satu sasaran lain di luar itu. Jadi, jabatan anggota DPR bukan lagi target yang harus dicapai. Bagi Albert Hasibuan, anggota FKP-DPR, itu tak begitu memusingkan benar. Selama yang bersangkutan, "Bisa memusatkan pikiran dan aktivitas politiknya, tidak menjadi masalah," katanya. Masalah itu baru timbul, menurut Abert, bila suatu waktu timbul konflik kepentingan dari dua kegiatan yang berbeda tadi. Bila titik itu ketemu, "Anggota itu harus memilih: DPR atau perusahaannya." Pendapat Hasibuan ini tak sejalan dengan pandangan Sabam Sirait. Bekas Sekjen PDI ini tak bisa menerima perangkapan anggota DPR yang juga sekaligus pengusaha. "Pengusaha yang baik 'kan harus bekerja sepenuhnya. Dan anggota DPR juga bukan pekerjaan sambilan," ujarnya. Sambilan atau bukan, bukan rahasia lagi bila banyak di antara anggota DPR yang sekarang ini merangkap pengusaha. Seperti yang diakui Mardinsyah, Sekjen PPP, "Sekitar 50 persen anggota FPP itu pengusaha dari berbagai kelas." Ia merasa kondisi ini justru menguntungkan, "Sebab, bisa merupakan sumber dana partai." Memang sulit dibayangkan bila gerak organisasi politik hanya mengandalkan suntikan dana pemerintah. Bantuan yang diterima dari pemerintah itu hanya Rp 5 juta sebulan. Masuk akal bila berbagai usaha dilakukan pimpinan partai dalam menghimpun dana. Salah satunya dengan memotong honor bulanan anggota lembaga legislatifnya. Bagi seorang anggota FPP-DPR RI, setiap bulan ia harus merelakan honornya dipotong Rp 65 ribu. Padahal, masih banyak pengeluaran lain. Misalnya, mencicil kredit mobil Rp 339 ribu sebulan. "Kami paling hanya bisa bawa pulang Rp 300 ribu," ujar anggota Dewan yang mengaku menerima honor Rp 900 ribu ini. Honor yang diterima anggota DPR Pusat ini memang lebih kecil bila dibandingkan yang diterima anggota DPRD DKI, yang mencapai 1,4 juta. Tetapi honor anggota DPRD Kabupaten lebih menyedihkan. Anggota DPRD Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah, misalnya, hanya menerima Rp 126 ribu sebulan. Maridjo, anggota F-PDI, tidak malu-malu membuka agen bis malam Wonogiri-Jakarta untuk Rp 90 ribu sebulan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini