Belanda dan Kanada akan menghentikan bantuan luar negerinya kepada Indonesia gara-gara peristiwa Dili. Lobi gerakan hak asasi manusia sedang naik daun? GAUNG peristiwa 12 November rupanya terasa juga di markas para teknokrat di Lapangan Banteng. Maklum, ada kemungkinan beberapa negara yang selama ini dikenal sebagai donor dana pembangunan akan menangguhkan bantuan mereka ke Indonesia. "Yang saya khawatirkan kalau terjadi efek domino," kata seorang pejabat senior yang tak mau namanya disebut. Artinya, pejabat ini khawatir kalau semangat menangguhkan pinjaman ini menular ke sejumlah donor yang lain. "Sebab kalau sampai Bank Dunia menyetop bantuan, berarti semua institusi keuangan akan hengkang dari Indonesia," tambah pejabat yang kaya pengalaman di bidang makroekonomi ini. Dan itu tentu saja berarti perekonomian Indonesia terancam: tak mampu lepas landas. Maklum, peran bantuan luar negeri dalam APBN cukup besar. Tahun anggaran yang lewat, misalnya, lebih dari seperempat penerimaan Pemerintah diharapkan berasal dari kocek para donor. Syukur alhamdulillah, penularan wabah ini tampaknya tak seganas AIDS. Hampir tiga pekan setelah peristiwa 12 November yang menggegerkan itu, baru dua negara donor yang tegas-tegas menyatakan akan meninjau kembali rencana bantuan mereka. Salvo pertama datang dari Menteri Kerja Sama Pembangunan Belanda J.P. Pronk, yang sedang mengajukan rencana anggaran belanja 1992 di depan parlemen negerinya ketika tragedi Dili itu terjadi. Pronk kontan menyatakan akan menghentikan bantuan baru untuk Indonesia. Salvo kedua meletup dari Kanada. "Ya, kami sedang meninjau kembali bantuan Kanada untuk Indonesia," kata Menteri Luar Negeri Barbara McDougal di depan Majelis Rendah Kanada di Ottawa, pekan lalu. Menteri yang sebenarnya dikenal cukup simpati pada Indonesia ini agaknya tak punya pilihan lain. "Hanya karena desakan pihak oposisi McDougal menyatakan bantuan ke Indonesia perlu ditinjau kembali," tulis harian Ottawa Citizen. Desakan itu agaknya terasa kuat karena pemberitaan peristiwa Dili di media massa setempat sungguh marak dan dilebihlebihkan. Sampai-sampai foto lama, yang menggambarkan kelaparan di Timor Timur, pun dipampangkan kembali. Celakanya, dalam masa belakangan ini, pemerintahan Brian Mulroney sedang gencar mengampanyekan hak asasi manusia yang dikaitkan dengan bantuan luar negeri. Pemerintah ini serta-merta menyetop bantuan luar negerinya ke RRC begitu terjadi peristiva Tien An Men. Penyetopan bantuan juga dilakukan Kanada terhadap Kenya lantaran pemerintahan Presiden Daniel Arap Moi di negeri itu mempergunakan sistem satu partai, dan dinilai Kanada sebagai pemerintahan diktator. Peristiwa Dili, tampaknya, menyebabkan Perdana Menteri Brian Mulroney terdesak, bila tidak bersikap keras terhadap Indonesia. Ini tentu saja dimanfaatkan pihak oposisi untuk menggebuk pemerintahnya, yang sejak 1976 selalu abstain dalam pemungutan suara soal Timor Timur di forum PBB. Maka mulai 1980-an, Kanada terang-terangan bersimpati terhadap kebijaksanaan Indonesia dalam soal Timor Timur di arena perkumpulan antarbangsa itu. Simpati itu juga terlihat dalam porsi bantuan yang diberikan Kanada. Jumlah bantuan negeri itu ke Indonesia hanja kalah besar dengan yang diberikan kepada Bangladesh. Tahun 1991/92, bantuan itu bernilai sekitar 200 milyar rupiah, meningkat lebih dua kali lipat dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Rupanya, bantuan ke Indonesia dianggap sukses hingga dijadikan proyek percontohan untuk bantuan Kanada ke negara berkembang lainnya. Menurut pejabat kepala bidang penerangan KBRI Ottawa, Soetanto Soemardjo, sekitar 53% bantuan pemerintah Kanada berupa beasiswa untuk mahasiswa Indonesia yang belajar di negara ini. Bila Kanada jadi menyetop bantuannya, akan banyakkah mahasiswa Indonesia yang akan putus kuliah? Belum jelas benar. Denish Laliberte, seorang pejabat di Deplu Kanada, mengatakan kepada TEMPO, pekan lalu, bahwa sekarang mereka sedang sibuk rapat untuk menentukan bantuan mana saja yang akan mereka tunda. Tampaknya, ada kriteria tertentu yang mereka gunakan dalam memilih bantuan mana yang diteruskan dan mana yang akan ditunda. "Saya tak setuju kalau bantuan yang menyangkut rakyat distop tiba-tiba," kata Menlu Barbara McDougal. Sebab, dalam pandangan McDougal, bila itu mereka lakukan, hanya akan membuat susah rakyat kecil saja. Dengan sikap McDougal seperti itu, Laliberte mengisyaratkan bahwa beberapa proyek bantuan mereka di Timor Timur, misalnya, akan diteruskan. Sejumlah proyek bantuan Kanada di Timor Timur dilaksanakan melalui kerja sama dengan ETADEF, sebuah LSM Katolik di Dili. Yaitu, berupa training mikrokomputer di Baucau, proyek air bersih di Matulia, pembangunan irigasi di Venilale, proyek peternakan di Manatuto, dan perikanan di Los Palos. Dilema serupa juga dihadapi Pronk di Belanda. Tapi bukan berarti Belanda tak akan pernah melakukan sanksi ekonomi. Terutama karena pemerintah Belanda sekarang merupakan koalisi partai Kristen Demokrat yang berasaskan prinsip-prinsip Kristen dan Partai Buruh yang berasaskan hak asasi manusia. "Gabungan keduanya menyebabkan bila terjadi peristiwa seperti di Dili, orang cenderung cepat bereaksi," kata Drs R.G. Kwantes, sejarawan terkemuka Belanda yang sudah berusia 80 tahun itu. Sikap ini telah terbukti dengan dihentikannya bantuan kepada Suriname karena dianggap tidak demokratis dan tidak memperhatikan hak asasi manusia. Semua ini terjadi karena kekuatan politik gerakan hak asasi manusia memang sedang naik daun mengikuti jejak kelompok lingkungan hidup. Apalagi generasi yang merasa "berutang budi" kepada Indonesia -karena faktor sejarah -mulai menciut jumlahnya di Belanda. "Saya menentang begitu banyak persyaratan yang dikaitkan dengan bantuan luar negeri. Tetapi saya setuju soal hak asasi manusia dikaitkan dengan bantuan," kata Nyonya Ria Beckers De Bruijn, anggota majelis rendah dari partai kiri hijau, yang termasuk generasi muda negeri kembang tulip itu. Nyonya ini jadi sponsor mosi menghentikan bantuan ke Indonesia. Kalaupun Belanda dan Kanada jadi menghentikan bantuannya, dampak ekonominya dianggap tak begitu besar, karena jumlah bantuan relatif kecil. Namun, negara penyumbang besar seperti Jepang pun sedang digoyang protes. Jumat pekan lalu, sekitar 35 pengunjuk rasa yang mewakili delapan organisasi sipil di Jepang beraksi di depan kedutaan besar RI di Tokyo. Di antara pengunjuk rasa itu terdapat Tomiko Okazaki, seorang wanita dan anggota Majelis Rendah dari Partai Sosialis Jepang yang merupakan kelompok oposisi. Unjuk rasa berjalan rapi dan tertib dan hanya berlangsung sekitar 15 menit. Kendati demikian, aksi mereka mendapat liputan sekitar 15 wartawan, termasuk dari stasiun TV NHK, yang pertengahan Desember ini merencanakan menyiarkan acara pendidikan tentang Timor Timur selama 45 menit. Ini bisa membuat tekanan kelompok yang menginginkan penangguhan bantuan ekonomi ke Indonesia semakin terasa. Untungnya, sampai pekan ini, pemerintah Jepang belum merasa perlu mengubah kebijakan bantuan luar negerinya untuk Indonesia. "Tak ada perubahan kebijaksanaan bantuan ekonomi Jepang kepada Indonesia," kata Keiichi Hayashi, Kepala Seksi Asia Tenggara, Kementerian Luar Negeri Jepang, kepada TEMPO di Tokyo. Hayashi menambahkan bahwa mereka belum pernah menerima semacam imbauan dari pemerintah Belanda maupun IGGI agar Jepang meninjau kebijaksanaan bantuan ekonominya kepada Indonesia. Yang sudah banyak mereka terima adalah surat dan telepon masyarakat Jepang yang memprotes tragedi di Dili itu. "Setelah NHK menyiarkan rekaman video peristiwa Dili, masalah ini bergaung di masyarakat Jepang," kata Hayashi. Tampaknya, belakangan, ini upaya menggoyang pendirian pemerintah Jepang itu gencar dilakukan Fretilin dan para pendukungnya. Pada Mei yang lalu, misalnya, sepucuk surat dari pimpinan Fretilin di Timor Timur, Xanana Gusmao, beredar di Jepang. Isi surat itu -yang katanya ditulis Xanana di pedalaman Timor Timur -mengimbau agar pemerintah Jepang mendukung mereka. Xanana mengaku sudah kesulitan secara militer, tapi perlawanan masih tetap mereka lakukan. Pada 3 September lalu, di Tokyo, diadakan acara menonton video tentang gerakan Fretilin di Timor Timur. Film di kaset video itu, menurut pengakuan si pemutar direkam sendiri oleh Xanana di Tim-Tim kemudian diselundupkan ke luar negeri. Tampaknya, mereka maklum betapa pentingnya arti Jepang dalam masalah perekonomian Indonesia. Tahun lalu, misalnya, bantuan Jepang berjumlah hampir dua milyar dolar AS. Pada April lalu, pemerintah Jepang membuat sejumlah syarat untuk bantuan luar negerinya, termasuk di antaranya, pengaitan bantuan dengan demokratisasi dan hak asasi manusia. Karena itu, sekalipun peristiwa Dili belum mempengaruhi kebijaksanaan Jepang, belum berarti semuanya beres. Toh Jepang harus memperhatikan suara yang berkembang di dalam maupun di luar negeri. "Kalau sampai hasil KPN tak diterima dunia internasional dan beberapa anggota IGGI meninjau kembali kebijakan bantuan mereka, sulit bagi Jepang untuk tetap berdiam diri," kata seorang pejabat kementerian luar negeri Jepang yang tak mau namanya disebut. Karena itu, sumber ini mengharapkan pemerintah Indonesia tak menyepelekan reaksi internasional terhadap kasus Dili. Apalagi perhatian dunia terhadap hak asasi manusia di masa pasca-perang dingin ini semakin mencuat. Jumat pekan lalu misalnya, dua belas anggota masyarakat ekonomi Eropa sepakat untuk mengaitkan bantuan ekonomi mereka dengan hak asasi manusia. Dampak kesepakatan ini tampaknya akan cukup besar. Soalnya, masyarakat ekonomi Eropa mengucurkan bantuan senilai sekitar 54 trilyun rupiah setahun ke negara berkembang. Itulah sebabnya Wakil Ketua Komisi APBN DPR RI, H. Hamzah Haz, cukup risau menghadapi gertakan negara donor. "Selama ini, bantuan luar negeri memang hanya sekitar 20% dari APBN dan boleh dikata hanya pelengkap saja," kata wakil rakyat dari Partai Persatuan Pembangunan ini kepada Priyono B. Sumbogo dari TEMPO. "Tapi harus dicatat bahwa surplus neraca pembayaran kita selama ini selalu didukung oleh bantuan itu. Tanpa dukungan luar negeri, kita akan defisit," tambahnya. Ini akan memaksa Indonesia menggunakan cadangan devisa untuk menutupnya. Walhasil, sekarang ini tugas berat berada di pundak para anggota Komisi Penyelidik Nasional. Bila laporan komisi ini bisa diterima dunia internasional, kekhawatiran para teknokrat di Lapangan Banteng tentu bisa dikendurkan. Bambang Harymurti (Jakarta), Seiichi Okawa (Tokyo), Ashari N.K. (Belanda), Toeti Kakiailatu (Vancouver)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini