Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Timor Timur di tweede kamer

Peristiwa dili menjadi perdebatan di sidang parlemen belanda (tweede kamer) ada usul pembentukan komisi penyelidik internasional di bawah pengawa- san pbb. bantuan dari belanda akan dihentikan.

7 Desember 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GEDUNG bergaya gotik itu sudah berdiri sejak tujuh abad yang silam. Sejak Abad Pertengahan, bangunan kuno yang letaknya di jantung Kota Den Haag itu menjadi tempat para anggota dewan perwakilan rakyat Belanda bersidang. Memasuki musim dingin tahun ini, rentetan perdebatan panas mewarnai sidang parlemen Belanda (Tweede Kamer). Perdebatan tadi apa lagi kalau bukan "Peristiwa 12 November" di Dili, yang makan korban jiwa itu. Semula, pada hari itu, Kamis dua pekan lalu, sidang Tweede Kamer akan membahas rencana anggaran belanja 1992. Namun, pembahasan kemudian berbelok menjadi perdebatan soal Timor Timur. Adalah Ny. Ria Beckers-de Bruijn, bersama tiga anggota parlemen lainnya, mengajukan mosi kepada dua menteri Belanda: Menteri Luar Negeri Hans van den Broek dan Menteri Kerja Sama Pembangunan J.P. Pronk. Isi "mosi Beckers-de Bruijn dkk." itu mendesak Van den Broek untuk memprakarsai pembentukan komisi penyelidik internasional yang independen di bawah pengawasan PBB. Pronk diminta menghentikan bantuan baru pembangunan dari Pemerintah Belanda kepada Indonesia. Buat Pronk, mosi itu rupanya klop dengan keinginannya. "Saya juga merencanakan menghentikan bantuan baru itu," kata Pronk, yang Ketua IGGI dan tahun ini sudah dua kali ke Indonesia. Tak pelak lagi, ucapannya disambut keplokan meriah. Pernyataan Pronk kali ini sebenarnya bertolak belakang dengan ucapannya di depan Tweede Kamer, 20 September 1991. Ketika itu, ia sudah didesak untuk menghentikan bantuan bagi RI, sejalan dengan beleid Pemerintah Belanda yang sudah menyetop bantuan bagi Suriname dengan alasan untuk memulihkan demokrasi dan hak asasi manusia di negeri itu. Pronk menolak. "Untuk mewujudkan pembaruan di Indonesia, bantuan justru tak boleh dihentikan," katanya. Lebih dari itu, di depan sidang ia sempat mengingatkan masa kolonialisme di Indonesia. "Belanda tak jarang menginjak-injak hak asasi manusia. Itu sebabnya desakan Belanda tidak digubris. Ini berlaku bagi semua bentuk campur tangan negara-negara Barat di bidang hak asasi manusia di semua negeri bekas jajahannya," kata Pronk. Kini, tampaknya Pronk serba sulit, terutama setelah meletusnya "Peristiwa 12 November" yang tersebar luas di media massa Belanda dengan opini yang amat memojokkan Indonesia. Berbeda dengan Van den Broek. Menlu Belanda ini tak terlalu antusias menyambut mosi yang mengotot untuk mempermalukan Indonesia. "Kita harus memberi kesempatan kepada Pemerintah RI untuk menjelaskannya," katanya. Sikap Van den Broek yang bersahabat dengan Indonesia ini memang mencerminkan beleid Partai Kristen Demokrat (CDA), yang menguasai 54 kursi dari 150 kursi di Tweede Kamer. Itu bisa dilihat bagaimana seorang tokoh CDA lainnya, W.J. Deetman, yang menjabat ketua Tweede Kamer, yang belum lama ini memperoleh Bintang Mahaputra Adipradana dari Pemerintah RI. Ia dianggap berjasa dalam mengembangkan hubungan baik kedua negara. Namun, apa boleh buat, suara Van den Broek akhirnya tenggelam oleh riuh-rendahnya serangan dari partai lain yang lebih radikal -seperti Groen Links (Kiri Hijau) dan Partai Demokrat 66 (D 66) -terhadap Indonesia. Pemrakarsa mosi, Ria Beckers-de Bruijn, dari kelompok Kiri Hijau, menguasai enam kursi di Tweede Kamer, sedangkan tiga rekannya Doeke Eisma dari Partai D 66 (12 kursi), Ericka Terpstra dari VVD (22 kursi), dan Meindert Leerling dari RPF (1 kursi). Ditambah dengan 49 kursi Partai Buruh, sikap yang menginginkan dibentuknya komisi internasional itu diterima parlemen. "Hal itu memang sulit, tapi kita coba saja," kata Van den Broek. Mengapa mereka keras? "Saya mengajukan mosi untuk membentuk komisi penyelidik internasional yang bebas atas peristiwa Dili di bawah pengawasan PBB karena tak percaya kepada komisi yang dibentuk oleh Pemerintah Indonesia," kata Beckers-de Bruijn kepada TEMPO. Sikap seperti ini disetujui ahli sosiologi Dr. Nico G. Schulte Nordholt, ahli Indonesia yang mengajar di berbagai universitas di Belanda. "Kalau hendak memberikan bantuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, ya tentunya bantuan itu harus diberikan kepada pemerintah yang memang menginginkan rakyatnya sejahtera," katanya. Sikap Belanda ini memang memukul Pemerintah RI dalam arena diplomasi internasional. Selama ini, sejak IGGI berdiri -sebuah manifestasi "pengakuan dosa" Belanda atas penjajahan di Indonesia selama 3,5 abad -hubungan kedua negara boleh dikatakan mesra. R.C. Kwantes, ahli Indonesia yang lain, tak setuju dengan Nordholt. Ia menyayangkan sikap "terburu nafsu" Belanda yang mengotot ingin memvonis Pemerintah RI itu. "Padahal, harus diberikan kesempatan bagi komisi penyelidik untuk membuat laporan. Dari laporan itu kita bisa menilai," kata R.C. Kwantes, ahli sejarah yang pernah tinggal di Indonesia. Penyusun empat jilid buku sejarah pergerakan RI 1917-1942 itu juga heran melihat pemerintahnya yang bungkam terhadap kejadian di tempat lain, yang lebih mengerikan dibandingkan "Peristiwa 12 November". Misalnya, perang di Kamboja atau di Yugoslavia. "Kita tak pernah mendengar ada suara-suara tentang itu di Belanda, atau juga di negara-negara lain yang bereaksi seperti Belanda sekarang," katanya. Ahmed K. Soeriawidjaja, Ashari N. Krisna (Hilversum)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus