SEJUMLAH bapak mengaku hanya bertemu anak-anaknya sekali
seminggu. Bukan mereka tak sayang anak, tapi cita-cita menaikkan
martabat mengharuskan mereka tak di rumah dari pagi hingga
malam. Jelasnya, para bapak itu belajar di malam hari sehabis
kerja sekolah yang di beberapa kota besar lazim disebut SMA
malam.
Juni dan Juli ini jenis sekolah bapak-bapak dan ibu-bu ini pun
sibuk menerima murid baru. Tentu, para pendaftar tak perlu
didampingi orangtua murid. Mereka datang sendiri, antre dengan
tertib. Antre? Jangan dikira SMA malam tak kebanjiran siswa
sebagaimana SMA biasa. SMA Yayasan Pendidikan (YP) 17 di
Bandung, misalnya, tiap tahun menyediakan tempat bagi 100 siswa.
"Tapi yang mendaftar rata-rata sekitar 200 orang," kata L.
Manurung, direkturnya.
Tak beda dengan SMA biasa, SMA yang jam belajarnya dari pukul
17.00 hingga 22.00 ini memakai kurikulum 1975. Di sekolah ini
juga diberikan PR (pekerjaan rumah). Bahkan pelajaran olah raga
dan praktikum laboratorium diberikan pula. Memang tidak pada
malam hari, tapi pada Minggu pagi. Pokoknya pelajaran komplit
sesuai dengan Kurikulum 1975.
Yang agak berbeda dengan SMA biasa, di SMA malam biasanya tak
ada ketentuan seragam sekolah (diketahui hanya SMA Budaya malam,
Jakarta, punya peraturan seragam putih-abu-abu). Juga tak ada,
misalnya, pertandingan olah raga antarsekolah malam.
Adapun motivasi siswa SMA malam umumnya karena ambisi untuk
memperoleh ijazah. Agar pangkatnya sebagai pegawai negeri, atau
anggota ABRI naik. "Betul, siswa saya yang sudah lulus beberapa
bulan kemudian biasanya lantas naik pangkat," tutur Manurung.
Maka bisa dipahami bila kebanyakan siswa SMA malam adalah
pegawai negeri dan pegawai sipil ABRI.
Menurut beberapa guru SMA malam di Bandung, Yogyakarta,
Semarang, dan Surabaya, para siswa mereka lebih mudah memahami
pelajaran, dibanding siswa remaja. "Saya kini lebih mudah
belajar dibanding sewaktu dulu di SMP," kata Suwarlan, pegawai
Bapparda Jawa Timur, Surabaya, siswa SMA (malam) Mahasiswa,
Surabaya. Tapi "kemudahan" itu memang tidak untuk semua
pelajaran. Untuk pelajaran eksakta, menurut Karyadi, guru
Matematika dan Kimia di SMA (malam) IPPU (Ikatan Penambah
Pengetahuan Umum), Semarang, para siswa "banyak yang takut."
Yang jelas, beberapa mata pelajaran di kelas IPS (ilmu
pengetahuan sosial) seperti Tata Buku dan Hitung Dagang, bagi
siswa yang bekerja di bidang keuangan dan administrasi, sangat
bermanfaat, langsung bisa dipraktekkan.
Suasana belajar-mengajar di SMA malam punya ciri khas sendiri.
Ben Alip dan Wakita, guru bahasa Indonesia dan bahasa Inggris di
SMA (malam) YUB (Yayasan Usaha Buruh), Yogyakarta, punya cerita.
Beberapa siswa perempuan bila diminta mencatat pelajaran cuma
bengong. Tapi di lain hari, bila Pak Guru itu memeriksa buku
catatan mereka, kok, ternyata semua bahan sudah tercatat rapi.
Akhirnya tahulah kedua Pak Guru itu, bahwa siswa perempuan itu
ternyata sekelas dengan suaminya dan yang mencatatkan pelajaran
ternyata suaminya itulah. Bahkan bila suami-istri duduk di kelas
yang sama, untuk satu pelajaran mereka cuma memiliki satu buku
catatan. Menghemat, pasti.
Yang lucu, bila suatu saat ada siswa yang malas atau lupa
mengerjakan PR. Diakui oleh Pak Muryono, 51 tahun, kepala SMA
YUB, Yogyakarta, untuk menegur pun kadang-kadang para guru
sungkan. "Kami kan sudah sama-sama tua," katanya. Tapi mungkin
karena sudah sama-sama tua itulah, siswa sendiri rupanya merasa
sungkan juga. Buktinya, di hari lainnya tentu si siswa sudah
mengerjakan PR berikut PR baru. Tapi di SMA (malam) Budaya,
Jakarta, disiplin PR dijaga ketat. "Kalau nggak bikin PR disuruh
mengerjakan di papan tulis," kata Khusen, pegawai kecil di UI,
yang duduk di jurusan IPS di SMA itu.
Dan soal membolos, jangan dikira para siswa yang berusia 20-45
tahun itu tidak melakukannya. Iskandar Zulkarnaen, kepala SMA
(malam) Mahasiswa, Surabaya, sering memergoki muridnya yang
"pantas saya panggil ayah" itu nonton bioskop pada jam
pelajaran. Maklum, SMA itu terletak di dekat kompleks pertokoan
Tunjungan dan Praban, dan di sekitar itu ada tiga bioskop."
Begitu bapak-bapak dan ibu-ibu itu menjadi murid, rupanya
nakalnya kambuh lagi," kelakar Zulkarnaen.
Bila ada suami istri sekolah di SMA malam dan kebetulan si istri
lagi hamil, kesibukan yang lain terjadi pula. Sering terjadi si
istri mulas atau muntah-muntah di sekolah. Siapa lagi kemudian
kalau bukan suaminya yang repot. Dan bila sudah begitu, kelas
pun jadi ramai. "Meski kami kesal juga," kata Zulkarnaen yang
sebelum menjadi kepala sekolah sudah bertahun-tahun menjadi guru
di SMA Mahasiswa tersebut, "kami juga sungkan mau menegur."
Di SMA malam pun siswa dilarang merokok bila sedang mengikuti
pelajaran. Bahkan di SMA YP 17, bagi siswa yang menerima
beasiswa diminta untuk tidak merokok. "Beasiswa kami berikan
kalau siswa benar-benar tak mampu tapi berkeras ingin belajar,"
tutur Manurung. "Jadi bila mengaku tak mampu tapi merokok, itu
seperti membohongi kami."
Sejarah SMA malam dimulai tahun 1950-an. Di beberapa kota,
sekolah itu umumnya dulu didirikan untuk menampung mereka yang
di zaman revolusi tak sempat melanjutkan sekolah, dan untuk
masuk sekolah biasa usia sudah lewat. SMA YP 17 didirikan pada
1958 oleh para bekas anggota Tentara Pelajar. Sekolah ini
mendapat bantuan Departemen P & K hingga sekarang.
SMA IPPU, Semarang, yang mulai membuka kelas pada 1956,
didirikan juga oleh kalangan yang ikut bertempur di masa Perang
Kemerdekaan. Dan jangan kaget, pendiri SMA IPPU antara lain,
Soeharto, Presidn RI sekarang. Kala itu Soeharto masih Pangdam
IV/Diponegoro (kini jadi Kodam VII/Diponegoro). Siswa SMA IPPU
kebanyakan dari kalangan tentara yang belum memiliki ijazah SMA.
Adapun SMA Mahasiswa, Surabaya, didirikan oleh sejumlah
mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, 1952.
Sekolah ini sebetulnya tidak sengaja menampung para bapak dan
ibu. Para mahasiswa itu dulu mendirikan SMA Mahasiswa ini untuk
mengamalkan ilmu mereka. Dan karena mereka hanya sempat mengajar
di malam hari, ya, sekolah ini dibuka malam. Tapi karena malam
itulah kemudian yang mendaftar kebanyakan para pegawai swasta
maupun negeri.
Kini, bahkan loper koran banyak yang ikut belajar di "sekolah
murah" -- nama yang populer untuk SMA itu di Surabaya -- ini.
Juga SMA YUB, Yogyakarta, didirikan oleh kalangan perguruan
tinggi, pada 1950. Mereka antara lain almarhum Prof. Iwa Kusuma
Sumantri dan Dr. Buntaran. SMA YUB pada mulanya dimaksudkan
untuk menampung para pegawai di lingkungan UGM yang belum punya
ijazah SMA.
Berapa jumlah SMA jenis ini di seluruh Indonesia tak jelas.
Soalnya sekolah ini pun tercatat sebagai sekolah swasta biasa.
Cuma, dibanding SMA swasta biasa, yang biaya masuknya bisa
ratusan ribu, SMA jenis ini memang murah. Uang sekolah per bulan
Rp 4-5 ribu. Dan uang pangkal berkisar Rp 20-50 ribu. Maka
Susilo, 24 tahun, siswa SMA YUB, Yogyakarta, yang punya
penghasilan Rp 7 ribu per minggu sebagai tukang batu, tak merasa
keberatan membayar uang sekolahnya. "Macam-macam yang saya
peroleh. Ada Bahasa Inggris, ada PMP, dan lain-lain," tuturnya
kepada TEMPO. Dan yang penting bagi Susilo, kini ia merasa tak
lagi merasa rendah diri bergaul dengan siapa saja.
Perkembangan SMA malam kemudian tak hanya menerima siswa yang
sudah bekerja. Mungkin karena ledakan lulusan SMP, kini banyak
pula remaja masuk SMA malam. Tapi jumlah remaja di SMA malam
terbatas, hanya sekitar 10% dari siswa keseluruhannya -- para
bapak dan ibu tetap dominan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini