Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Sekolah untuk bapak-ibu

Beberapa SMA malam, mula-mula didirikan untuk menampung yang tak sempat meneruskan sekolah di zaman revolusi. kini banyak bapak-bapak/ibu-ibu yang masuk masuk untuk mendapatkan ijazah agar pangkatnya naik. (pdk)

9 Juli 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEJUMLAH bapak mengaku hanya bertemu anak-anaknya sekali seminggu. Bukan mereka tak sayang anak, tapi cita-cita menaikkan martabat mengharuskan mereka tak di rumah dari pagi hingga malam. Jelasnya, para bapak itu belajar di malam hari sehabis kerja sekolah yang di beberapa kota besar lazim disebut SMA malam. Juni dan Juli ini jenis sekolah bapak-bapak dan ibu-bu ini pun sibuk menerima murid baru. Tentu, para pendaftar tak perlu didampingi orangtua murid. Mereka datang sendiri, antre dengan tertib. Antre? Jangan dikira SMA malam tak kebanjiran siswa sebagaimana SMA biasa. SMA Yayasan Pendidikan (YP) 17 di Bandung, misalnya, tiap tahun menyediakan tempat bagi 100 siswa. "Tapi yang mendaftar rata-rata sekitar 200 orang," kata L. Manurung, direkturnya. Tak beda dengan SMA biasa, SMA yang jam belajarnya dari pukul 17.00 hingga 22.00 ini memakai kurikulum 1975. Di sekolah ini juga diberikan PR (pekerjaan rumah). Bahkan pelajaran olah raga dan praktikum laboratorium diberikan pula. Memang tidak pada malam hari, tapi pada Minggu pagi. Pokoknya pelajaran komplit sesuai dengan Kurikulum 1975. Yang agak berbeda dengan SMA biasa, di SMA malam biasanya tak ada ketentuan seragam sekolah (diketahui hanya SMA Budaya malam, Jakarta, punya peraturan seragam putih-abu-abu). Juga tak ada, misalnya, pertandingan olah raga antarsekolah malam. Adapun motivasi siswa SMA malam umumnya karena ambisi untuk memperoleh ijazah. Agar pangkatnya sebagai pegawai negeri, atau anggota ABRI naik. "Betul, siswa saya yang sudah lulus beberapa bulan kemudian biasanya lantas naik pangkat," tutur Manurung. Maka bisa dipahami bila kebanyakan siswa SMA malam adalah pegawai negeri dan pegawai sipil ABRI. Menurut beberapa guru SMA malam di Bandung, Yogyakarta, Semarang, dan Surabaya, para siswa mereka lebih mudah memahami pelajaran, dibanding siswa remaja. "Saya kini lebih mudah belajar dibanding sewaktu dulu di SMP," kata Suwarlan, pegawai Bapparda Jawa Timur, Surabaya, siswa SMA (malam) Mahasiswa, Surabaya. Tapi "kemudahan" itu memang tidak untuk semua pelajaran. Untuk pelajaran eksakta, menurut Karyadi, guru Matematika dan Kimia di SMA (malam) IPPU (Ikatan Penambah Pengetahuan Umum), Semarang, para siswa "banyak yang takut." Yang jelas, beberapa mata pelajaran di kelas IPS (ilmu pengetahuan sosial) seperti Tata Buku dan Hitung Dagang, bagi siswa yang bekerja di bidang keuangan dan administrasi, sangat bermanfaat, langsung bisa dipraktekkan. Suasana belajar-mengajar di SMA malam punya ciri khas sendiri. Ben Alip dan Wakita, guru bahasa Indonesia dan bahasa Inggris di SMA (malam) YUB (Yayasan Usaha Buruh), Yogyakarta, punya cerita. Beberapa siswa perempuan bila diminta mencatat pelajaran cuma bengong. Tapi di lain hari, bila Pak Guru itu memeriksa buku catatan mereka, kok, ternyata semua bahan sudah tercatat rapi. Akhirnya tahulah kedua Pak Guru itu, bahwa siswa perempuan itu ternyata sekelas dengan suaminya dan yang mencatatkan pelajaran ternyata suaminya itulah. Bahkan bila suami-istri duduk di kelas yang sama, untuk satu pelajaran mereka cuma memiliki satu buku catatan. Menghemat, pasti. Yang lucu, bila suatu saat ada siswa yang malas atau lupa mengerjakan PR. Diakui oleh Pak Muryono, 51 tahun, kepala SMA YUB, Yogyakarta, untuk menegur pun kadang-kadang para guru sungkan. "Kami kan sudah sama-sama tua," katanya. Tapi mungkin karena sudah sama-sama tua itulah, siswa sendiri rupanya merasa sungkan juga. Buktinya, di hari lainnya tentu si siswa sudah mengerjakan PR berikut PR baru. Tapi di SMA (malam) Budaya, Jakarta, disiplin PR dijaga ketat. "Kalau nggak bikin PR disuruh mengerjakan di papan tulis," kata Khusen, pegawai kecil di UI, yang duduk di jurusan IPS di SMA itu. Dan soal membolos, jangan dikira para siswa yang berusia 20-45 tahun itu tidak melakukannya. Iskandar Zulkarnaen, kepala SMA (malam) Mahasiswa, Surabaya, sering memergoki muridnya yang "pantas saya panggil ayah" itu nonton bioskop pada jam pelajaran. Maklum, SMA itu terletak di dekat kompleks pertokoan Tunjungan dan Praban, dan di sekitar itu ada tiga bioskop." Begitu bapak-bapak dan ibu-ibu itu menjadi murid, rupanya nakalnya kambuh lagi," kelakar Zulkarnaen. Bila ada suami istri sekolah di SMA malam dan kebetulan si istri lagi hamil, kesibukan yang lain terjadi pula. Sering terjadi si istri mulas atau muntah-muntah di sekolah. Siapa lagi kemudian kalau bukan suaminya yang repot. Dan bila sudah begitu, kelas pun jadi ramai. "Meski kami kesal juga," kata Zulkarnaen yang sebelum menjadi kepala sekolah sudah bertahun-tahun menjadi guru di SMA Mahasiswa tersebut, "kami juga sungkan mau menegur." Di SMA malam pun siswa dilarang merokok bila sedang mengikuti pelajaran. Bahkan di SMA YP 17, bagi siswa yang menerima beasiswa diminta untuk tidak merokok. "Beasiswa kami berikan kalau siswa benar-benar tak mampu tapi berkeras ingin belajar," tutur Manurung. "Jadi bila mengaku tak mampu tapi merokok, itu seperti membohongi kami." Sejarah SMA malam dimulai tahun 1950-an. Di beberapa kota, sekolah itu umumnya dulu didirikan untuk menampung mereka yang di zaman revolusi tak sempat melanjutkan sekolah, dan untuk masuk sekolah biasa usia sudah lewat. SMA YP 17 didirikan pada 1958 oleh para bekas anggota Tentara Pelajar. Sekolah ini mendapat bantuan Departemen P & K hingga sekarang. SMA IPPU, Semarang, yang mulai membuka kelas pada 1956, didirikan juga oleh kalangan yang ikut bertempur di masa Perang Kemerdekaan. Dan jangan kaget, pendiri SMA IPPU antara lain, Soeharto, Presidn RI sekarang. Kala itu Soeharto masih Pangdam IV/Diponegoro (kini jadi Kodam VII/Diponegoro). Siswa SMA IPPU kebanyakan dari kalangan tentara yang belum memiliki ijazah SMA. Adapun SMA Mahasiswa, Surabaya, didirikan oleh sejumlah mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, 1952. Sekolah ini sebetulnya tidak sengaja menampung para bapak dan ibu. Para mahasiswa itu dulu mendirikan SMA Mahasiswa ini untuk mengamalkan ilmu mereka. Dan karena mereka hanya sempat mengajar di malam hari, ya, sekolah ini dibuka malam. Tapi karena malam itulah kemudian yang mendaftar kebanyakan para pegawai swasta maupun negeri. Kini, bahkan loper koran banyak yang ikut belajar di "sekolah murah" -- nama yang populer untuk SMA itu di Surabaya -- ini. Juga SMA YUB, Yogyakarta, didirikan oleh kalangan perguruan tinggi, pada 1950. Mereka antara lain almarhum Prof. Iwa Kusuma Sumantri dan Dr. Buntaran. SMA YUB pada mulanya dimaksudkan untuk menampung para pegawai di lingkungan UGM yang belum punya ijazah SMA. Berapa jumlah SMA jenis ini di seluruh Indonesia tak jelas. Soalnya sekolah ini pun tercatat sebagai sekolah swasta biasa. Cuma, dibanding SMA swasta biasa, yang biaya masuknya bisa ratusan ribu, SMA jenis ini memang murah. Uang sekolah per bulan Rp 4-5 ribu. Dan uang pangkal berkisar Rp 20-50 ribu. Maka Susilo, 24 tahun, siswa SMA YUB, Yogyakarta, yang punya penghasilan Rp 7 ribu per minggu sebagai tukang batu, tak merasa keberatan membayar uang sekolahnya. "Macam-macam yang saya peroleh. Ada Bahasa Inggris, ada PMP, dan lain-lain," tuturnya kepada TEMPO. Dan yang penting bagi Susilo, kini ia merasa tak lagi merasa rendah diri bergaul dengan siapa saja. Perkembangan SMA malam kemudian tak hanya menerima siswa yang sudah bekerja. Mungkin karena ledakan lulusan SMP, kini banyak pula remaja masuk SMA malam. Tapi jumlah remaja di SMA malam terbatas, hanya sekitar 10% dari siswa keseluruhannya -- para bapak dan ibu tetap dominan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus