SUKSESI ramai dibicarakan sejak tokoh Muhammadiyah Dr. Amien Rais melemparkan sejumlah kriteria calon presiden, beberapa bulan yang lalu. Kali ini, pembicaraan masalah itu dilansir justru oleh Presiden Soeharto sendiri. Sepanjang dua pekan lalu, tak kurang dari tiga kali, Pak Harto membicarakan masalah penting ini. Mula-mula, ia menjawab pertanyaan Prof. Dr. Donald W. Wilson, Rektor Pittsburgh State University. Ketika itu, Kamis, 17 Februari yang lalu, Pak Harto mengatakan bahwa suatu saat nanti pasti ia turun dari jabatannya. "Orang-orang mengatakan saya tak suka membicarakan masalah suksesi. Ini tidak benar. Saya bukan presiden seumur hidup. Rakyat telah memilih saya, dan merekalah yang memutuskan berapa lama saya harus memegang jabatan itu," kata Wilson, mengulang pembicaraan Presiden kepadanya. Lalu, enam hari kemudian, tatkala menerima pengurus Kesatuan Penerus Perjuangan Republik Indonesia (KPPRI), Rabu pekan lalu, Presiden mengatakan, soal suksesi tak perlu diributkan, karena sudah ada mekanismenya. "Masa, di antara 180 juta rakyat ini, tak ada yang bisa dipilih nantinya," kata Asmin Kusumajaya, Sekretaris Umum KPPRI, menirukan Pak Harto. Sehari setelah itu, Presiden Soeharto masih berbicara lagi tentang suksesi. Kali ini dengan Menteri Agama Tarmizi Taher. "Saya akan memenuhi kewajiban konstitusi dan amanah MPR sebagai mandataris. Karena itu, saya akan berhenti sebagai presiden sesuai dengan konstitusi tersebut," kata Tarmizi mengutip Pak Harto. Menurut Tarmizi, saat itu ia menyampaikan kepada Pak Harto soal munculnya kekhawatiran di antara para ulama, kalau- kalau Pak Harto berhenti sebagai presiden di tengah jalan. Apa arti semua ini? Bekas Menteri Agama Alamsjah Ratu Perwiranegara menafsirkan ucapan Pak Harto itu sebagai penegasan bahwa Pak Harto tak akan mundur di tengah jalan. "Tapi sekaligus juga sebagai petunjuk bahwa ia tak bersedia lagi dipilih menjadi presiden pada tahun 1998," kata bekas Koordinator Sekretaris Pribadi Presiden ini. Harap diingat, Alamsyah adalah orang yang ngotot memperjuangkan agar Pak Harto dipilih kembali sebagai presiden pada SU MPR 1993, antara lain lewat doa politik. Berikut ini petikan wawancara Alamsjah Ratu Perwiranegara, Duta Besar Keliling untuk Asia itu, dengan wartawan TEMPO Andi Reza Rohadian dan Agus Basri. Wawancara berlangsung di rumah Alamsjah, di Pejaten Barat, Jakarta Selatan, Jumat sore pekan lalu. Bagaimana Anda yakin bahwa Pak Harto tak akan bersedia lagi dipilih menjadi presiden tahun 1998? Saya kan termasuk orang yang tahulah mengenai sikap Pak Harto yang sebenarnya. Ya, sejak 1966, sebenarnya Pak Harto kan tak pernah mimpi menjadi presiden. Waktu itu, 26 Februari 1966, saya termasuk salah satu Asisten Menteri Panglima Angkatan Darat, dan dekat dengan Pak Harto. Saya katakan pada Pak Harto bahwa ia tak bisa tinggal diam. Jadi, seolah-olah saya ikut mendesak Pak Harto juga. Pak Harto lalu mengatakan, "Saya mengerti yang Saudara maksud. Tapi Saudara tak mengerti prinsip-prinsip pegangan orang Jawa. Misalnya ada pegangan Sabdo Pandito Ratu, yang kurang lebih artinya, raja itu tak boleh dilawan." Jadi, ceritanya bagaimana ketika itu? Ya, waktu itu ada desakan pada Pak Harto untuk mengambil jalan pintas, menggantikan Presiden Soekarno. Tapi Pak Harto bilang, "Kita berpegang pada konstitusi." Sehingga akhirnya atas desakan Front Pancasila dan didukung Angkatan Darat, jalan satu-satunya adalah Sidang Istimewa MPRS. Di situlah Pak Harto diangkat menjadi penjabat presiden. Waktu itu pun sebenarnya Pak Harto tetap tak bersedia. Tetapi oleh Front Pancasila pimpinan Subchan Z.E. dan Lukman Harun, juga oleh kesatuan aksi, Pak Harto didesak. Sehingga tak ada pilihan lain. Jadi, menjadi presiden itu bukan kemauan Pak Harto. Tapi sekarang ini kan sudah cukup lama Pak Harto jadi presiden? Ya, kan dalam Sidang Umum MPR 1973 Pak Harto dipilih secara aklamasi menjadi presiden. Begitu juga pada tahun 1978, 1983, dan 1988. Sesudah itu, sebetulnya pada 1992 Pak Harto pribadi sudah menyatakan tak bersedia lagi dipilih. Beliau sudah lelah. Tapi terbentur oleh desakan masyarakat, dan memang waktu itu belum kelihatan siapa yang bisa menggantikannya. Kan Anda termasuk yang mendesak Pak Harto? Ya, saya termasuk. Sebetulnya waktu itu beliau sudah tak bersedia. Tapi ormas-ormas datang meminta saya memimpin mereka, bagaimana caranya. Mereka belum melihat orang lain sebagai pengganti Pak Harto. Sehingga dicetuskan dalam halalbihalal, untuk berdoa, yang akhirnya dibilang doa politik itu. Akhirnya, pada 1993 beliau bersedia karena didesak harapan banyak orang. Sekarang bagaimana Anda menilai jawaban Pak Harto atas pertanyaan Prof. Wilson? Apakah jawaban Pak Harto itu juga atas desakan Wilson? Dalam pengertian saya, itu adalah suatu warning. Artinya, Pak Harto tak akan berhenti di tengah jalan sampai menyelesaikan jangka waktu yang ditentukan oleh MPR. Tapi setelah itu, Pak Harto seakan berkata, jangan lagi dia dicalonkan. Benarkah demikian? Ya, sekarang ini, memang saya lihat ada beberapa faktor. Pak Harto berjuang untuk kemerdekaan ini sudah 54 tahun. Mulai persiapan kemerdekaan, merebut kemerdekaan pada 1945, mempertahankan kemerdekaan dari segala kekacauan, sampai mengisi kemerdekaan dalam pembangunan. Bahkan, sejak peristiwa Gestapu sampai sekarang ini, sudah hampir 30 tahun. Sebagai manusia biasa, Pak Harto tak pernah istirahat, bekerja siang malam. Jadi, adalah manusiawi Pak Harto itu sudah lelah. Artinya, dengan sinyalemen beliau itu, kita kasihan sama dia. Beliau toh harus menikmati hari tua. Yang kedua, usia beliau tahun 1998 sudah 78 tahun, itu bagi orang Indonesia sudah tak termasuk usia rata-rata lagi. Jadi, kelelahan yang luar biasa itu, dan prestasi beliau selama enam periode, sudah terbukti. Jadi, tanda terima kasih kita adalah pedulilah pada beliau. Ini pendapat saya pribadi. Jadi, Anda yakin Pak Harto tak mau lagi? Yang saya tangkap begitu. Lantas siapa yang pantas menggantikannya? O, itu sudah ada. Mau dari militer ada, dari sipil juga ada. Menurut Anda, sebaiknya sipil atau militer? Saya kira enggak ada soal sipil atau militer. Tapi saya kira kecenderungannya adalah prestasi dari orang yang akan menggantikan itu. Mungkin harus memenuhi kriteria tertentu seperti yang pernah dikemukakan Amien Rais dari Muhammadiyah itu? Ya, harus berprestasi dalam memimpin, berprestasi dalam pembangunan, dalam kegiatan regional (ASEAN), prestasi internasional (PBB), dan prestasi dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI). Wah, kalau itu kan Pak Try lebih banyak menangani masalah dalam negeri, bukan internasional? Masalahnya begini, ya. Pak Harto dulu juga kan enggak pernah disiapkan, to? Tapi buktinya kan bisa? Berarti manusia itu kalau ada kesempatan dan dipercaya, ya, pasti bisa. Menurut Anda, kalau Pak Try Sutrisno bagaimana? Saya bilang, ya, cari sendiri saja (tersenyum). Pokoknya, kekhawatiran masyarakat yang sampai 1992, tentang belum ada penggantinya, kan sekarang sudah terjawab. Tinggal pilih, mau militer atau sipil. Apakah Pak Harto sudah melihat bahwa sekarang ini memang sudah ada calon penggantinya? Ya, dalam hati beliau pasti sudah ada. Kabarnya, Pak Sudharmono juga pernah menanyakan soal suksesi itu ke Pak Harto langsung? Bukan hanya Pak Dharmono, saya juga sudah menanyakan. Beliau bilang pada saya dalam suatu acara di Istana Merdeka bulan Juni lalu: "Sudahlah, saya sudah lelah, sudah capek!" Dulu, tahun 1987, Pak Harto kan juga sudah bilang miris, tapi toh mau juga pada 1992. Begitu pula, sekarang mengatakan tak mau, tapi kalau ada desakan lagi, kan ya apa boleh buat, to? Makanya saya mau bantu Pak Harto, supaya tak ada desakan lagi. Sebenarnya, kalau soal pengganti Pak Harto, kan bisa saja Anda kumpulkan tanda tangan untuk mendukung Pak Try atau Habibie? Itu bisa saja.... Tapi saya tak mau ikut campur lagi, dah. Menurut Anda, siapa yang lebih pantas menjadi presiden pada 1998 nanti? Saya tak akan mempengaruhi MPR. Bagi saya, siapa yang terbanyak mendapat suara di MPR, saya dukung. Ada yang mengatakan sekarang calonnya ada dua. Pak Try dan Pak Habibie? Menurut saya, dua-duanya sama bobotnya. Tapi pasti salah satu ada yang lebih. Nah, itu biar MPR nanti yang menentukan. Dua- duanya punya kesempatan. Walaupun yang satu banyak mendapat tantangan, toh masih ada kesempatan. Nanti barangkali biar MPR saja yang mengundi. Bisa saja nanti yang satu (jadi) nomor satu yang satu lagi (jadi) nomor dua. Menurut Anda, masalah apa yang perlu diprioritaskan oleh presiden terpilih mendatang? Pertama, harus menjamin stabilitas nasional, persatuan, dan kesatuan bangsa. Jadi, kemerdekaan ini yang harus dijamin. Sebab, ini sudah dibayar dengan segala pengorbanan. Kedua adalah pembangunan di segala bidang. Apalagi tahun 2000 dikatakan adalah abad Asia Pasifik. Yang sudah siap menghadapi itu, di samping Jepang, adalah Hong Kong, Taiwan, Singapura, dan mungkin lima tahun lagi adalah Malaysia. Jadi, kita harus berpacu dengan waktu. Berarti kan juga harus menguasai teknologi, dong? Ya, bukan hanya teknologi, juga lainnya, seperti perbankan dan manajemen. Presiden harus mempunyai wawasan secara makro. Apakah presiden itu juga harus beragama Islam? Ha, ini penting. Dulu dalam UUD 45 yang belum diubah (sebelum tanggal 18 Agustus 1945) kan sudah jelas: Presiden adalah warga negara Indonesia asli dan beragama Islam. Tapi, setelah proklamasi, ketentuan tentang agama Islam itu dicoret. Sebab, mayoritas bangsa ini adalah Islam, otomatis presiden itu orang Islam. Jadi, tak perlu secara eksplisit disebutkan. Menurut Anda, apakah setelah Pak Harto nanti, sebaiknya ada pembatasan masa jabatan seorang presiden? Dalam Undang-Undang Dasar 45 kan disebutkan bahwa presiden dan wakil presiden dipilih dengan suara terbanyak untuk jangka waktu lima tahun dan bisa dipilih lagi. Tapi untuk masa yang akan datang, saya kira memang dua masa jabatan adalah yang terbaik. Bagaimana caranya? Ya, kalau akan dijadikan pembatasan resmi berarti harus mengubah UUD 45 melalui referendum. Tapi saya kira lebih baik melalui konsensus nasional.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini