Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Momen

25 April 2016 | 00.00 WIB

Momen
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

KPK Cegah Sekretaris Mahkamah Agung

KOMISI Pemberantasan Korupsi meminta Direktorat Jenderal Imigrasi mencegah Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi bepergian ke luar negeri. Ketua KPK Agus Rahardjo meneken surat permintaan pencegahan pada Kamis pekan lalu. Pencegahan ini berkaitan dengan rencana KPK mendalami dugaan keterlibatan Nurhadi dalam kasus penangkapan panitera sekaligus Sekretaris Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Edy Nasution. "Ada indikasi kuat," kata Agus.

Kasus ini menyeruak setelah KPK menangkap Edy dan pengusaha yang diduga sebagai perantara suap, Doddy Arianto Supeno. Keduanya ditangkap setelah bertransaksi di lantai dasar sebuah hotel di Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat, Rabu pekan lalu. Dari tangan Edy, KPK menyita uang Rp 50 juta. Transaksi itu berkaitan dengan pengajuan permohonan peninjauan kembali perkara perdata di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang melibatkan dua perusahaan besar yang sedang beperkara. Komisi antikorupsi masih merahasiakan nama perusahaan itu. KPK juga menduga Nurhadi terlibat.

Sejumlah petugas KPK telah menggeledah ruangan kantor Nurhadi di gedung MA dan rumahnya di Jalan Hang Lekir, Jakarta Selatan. Dari hasil penggeledahan, ditemukan sejumlah uang. Namun Agus belum bisa memastikan jumlahnya. Agus menyatakan lembaganya masih mencari bukti kuat untuk menentukan status Nurhadi. "Kami menelusuri otak di balik kasus suap ini," ujarnya.

Hingga tulisan ini diturunkan, Nurhadi belum bisa dimintai komentar. Juru bicara MA, Suhadi, mengatakan lembaganya memberikan keleluasaan kepada KPK untuk memeriksa Nurhadi. "Silakan saja," katanya. "Kami akan membantu KPK."


Makelar Perkara di Meja Perdata

KOMISI Pemberantasan Korupsi menangkap panitera sekaligus Sekretaris Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Edy Nasution, dan pengusaha yang diduga sebagai perantara suap, Doddy Arianto Supeno.

  • Edy dan Doddy ditangkap di hotel di Jalan Kramat Raya, Jakarta, Rabu, 20 April 2016, pukul 10.45.
  • Sebelum ditangkap, Doddy menyerahkan uang kepada Edy. KPK menyita uang Rp 50 juta dalam bentuk pecahan Rp 100 ribu di dalam kantong tas bermotif batik.
  • Uang itu ditengarai pemberian kedua dari Doddy ke Edy. Doddy diduga pernah memberikan duit Rp 100 juta. Total uang yang disepakati diperkirakan Rp 500 juta.
  • Pemberian duit diduga untuk mengabulkan permohonan pengajuan peninjauan kembali perkara perdata.
  • KPK telah menggeledah empat lokasi, yakni kantor Paramount Enterprise International di kawasan Serpong, ruangan panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, ruangan kerja Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi di gedung Mahkamah Agung, dan rumah Nurhadi di Jalan Hang Lekir, Jakarta.
  • Edy dan Doddy ditetapkan sebagai tersangka. Keduanya dijerat dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan ancaman maksimal 20 tahun bui dan denda paling banyak Rp 1 miliar.

    Pemutilasi Cikupa Ditangkap

    POLISI menangkap Kusmayadi alias Agus, 30 tahun, yang memutilasi teman perempuannya, Rabu pekan lalu. Dia ditangkap di Surabaya sepekan setelah menjadi buron. Polisi memburu Agus karena ia dicurigai sebagai pemutilasi Nur Atika, 23 tahun, asal Lebak, Banten. Tubuh Nur ditemukan tanpa tangan dan kaki di rumah kontrakannya di Cikupa, Tangerang. "Ia ingin menghilangkan jejak," kata Kepala Subdirektorat Kejahatan dan Kekerasan Direktorat Kriminal Umum Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya Herry Heryawan.

    Polisi mengatakan Agus menjalin cinta dengan Nur sehingga kekasihnya itu hamil. Padahal Agus telah beristri dan punya anak, yang tinggal di Bogor, Jawa Barat. Nur meminta Agus bertanggung jawab. Nur juga kerap mendesak Agus melamarnya, yang selalu berujung pada pertengkaran.

    Amarah Agus kepada Nur memuncak pada Ahad tiga pekan lalu. Ketika cekcok, Agus membanting dan memiting Nur hingga tewas. Setelah itu, Agus memotong kaki dan tangan Nur. Potongan kaki dan tangan itu ia bungkus, lalu dibuang ke Kadu Agung, Tigaraksa, Tangerang. TG, istri Agus, tak percaya suaminya membunuh. "Suami saya pendiam dan sayang anak," ujarnya.


    Ivan Haz Dipecat dari DPR

    MAHKAMAH Kehormatan Dewan memecat anggota Dewan Perwakilan Rakyat asal Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Fanny Safriansyah alias Ivan Haz. Keputusan ini diambil dalam rapat pleno Mahkamah di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis pekan lalu.

    Mahkamah menyatakan Ivan melanggar kode etik berat karena terbukti menganiaya pembantunya, Toipah, pada Februari lalu. "Semua anggota Mahkamah sepakat memecatnya," kata Ketua Mahkamah Surahman Hidayat. Mahkamah juga mendapatkan bukti Ivan tidak pernah menghadiri rapat komisi atau reses di daerah pemilihan.

    Ivan berstatus tersangka dan mendekam di tahanan Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya. Ia juga diduga terlibat narkotik. Pengacara Ivan, Tito Hananta Kusuma, membantah jika Ivan disebut terjerat kasus narkotik. Soal pemukulan, menurut Tito, hanya salah paham. "Akan kami paparkan di persidangan," ujarnya.


    Sidang Etik Siyono Tertutup

    POLISI menggelar sidang etik kasus Siyono, terduga teroris asal Klaten, Jawa Tengah, yang tewas dalam pengawalan anggota Detasemen Khusus 88 Antiteror Kepolisian RI pada 11 Maret lalu. Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Markas Besar Polri Mochamad Iriawan sebelumnya mengatakan sidang itu akan digelar terbuka.

    Namun, dalam pelaksanaannya pada Rabu pekan lalu, sidang berlangsung tertutup. "Sidang ini bentuk tanggung jawab Polri," kata juru bicara Mabes Polri, Brigadir Jenderal Agus Rianto. Dia menjelaskan, sesuai dengan Peraturan Kepala Polri, sidang etik berlangsung terbuka. Namun Agus menyatakan, jika majelis hakim menghendaki, sidang boleh tertutup.

    Kepala Divisi Humas Polri Anton Charliyan menyatakan sidang etik kali ini digelar tertutup demi menjaga keselamatan anggota Densus 88 yang saat bertugas berhadapan dengan kelompok radikal. Ketua Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzhar menyayangkan sidang berlangsung tertutup. "Masyarakat perlu tahu bagaimana sidangnya dan proses hukumnya," ujar Dahnil.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    slot-iklan-300x100

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    slot-iklan-300x600
    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    close

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    slot-iklan-300x100
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus