Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anas Diperiksa
KETUA Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum diperiksa selama dua jam lebih oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi, Kamis siang pekan lalu. Ia menjadi saksi kasus pengadaan pembangkit listrik tenaga surya di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Penyidik menanyakan posisi Anas di PT Anugrah Nusantara, sebagai induk perusahaan yang melaksanakan proyek senilai Rp 8,9 miliar itu.
Menurut juru bicara KPK, Johan Budi S.P., penyidik juga melakukan cek silang dengan beberapa keterangan saksi lain, di antaranya mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin dan Mindo Rosalina Manulang. Nazar mengaku bersama Anas masuk jajaran direksi di PT Anugrah.
Anas mengaku diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Timas Ginting, pejabat pembuat komitmen di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Tersangka lain dalam kasus ini adalah Neneng Sri Wahyuni, istri Nazar. "Saya sampaikan bahwa saya tidak kenal dan tidak tahu tentang proyek PLTS itu," katanya. "Saya justru baru tahu proyek itu dari media dan ketika dimintai keterangan soal ini."
Peneliti Asing Ditangkap
KANTOR Imigrasi Tanjung Perak, Surabaya, memutuskan akan mendeportasi Tirana Hassan, peneliti Human Rights Watch asal Australia, yang ditangkap anggota Polres Sampang, Madura, Senin pekan lalu. Tirana ditangkap bersama rekannya dari Jakarta, Andreas Harsono, ketika menelisik keberadaan minoritas Islam Syiah di Dusun Nangkernang, Kecamatan Omben, Kabupaten Sampang.
Selama di kantor polisi, dua peneliti ini menjalani pemeriksaan sekitar sembilan jam. Karena tidak ada bukti tindak pidana, mereka diserahkan ke Imigrasi Surabaya, karena Tirana tak bisa menunjukkan paspornya, yang dia akui tertinggal di penginapan.
"Kami sudah memprosesnya dan melaporkan hasilnya ke pusat. Yang bersangkutan mengadakan riset tanpa izin, sehingga bisa dideportasi," kata juru bicara Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Jawa Timur, Cahyo Sejati. Andreas dibebaskan, tapi tak langsung pulang karena mendampingi Tirana selama pemeriksaan lanjutan. "Deportasi ini akan menciptakan kesan pemerintah menutup-nutupi kasus pelanggaran hak asasi manusia," kata Andreas.
DPR Tolak Hibah F-16
KOMISI Pertahanan DPR menolak hibah 30 pesawat F-16 dari Amerika Serikat. Dalam rapat kerja dengan Kementerian Pertahanan, Kamis pekan lalu, mayoritas anggota Komisi Pertahanan memilih pembelian pesawat baru. Salah satu alasannya, pemerintah telah menganggarkan pembelian enam pesawat F-16 baru.
Fayakhun Andriadi dari Fraksi Partai Golkar mengatakan jam terbang pesawat hibah sudah cukup banyak. Paling-paling TNI Angkatan Udara hanya bisa menggunakan selama 3.000 jam. "Kalau beli baru, kita dapat dari nol jam dengan teknologi baru," katanya.
Politikus PDI Perjuangan, Tjahjo Kumolo, menilai hibah F-16 akan memperlambat peremajaan alat persenjataan. Sebab, pesawat hibah masih harus dimutakhirkan sebelum bisa digunakan. "Butuh waktu lama untuk memutakhirkan," katanya. Semua F-16 yang akan dihibahkan masih menggunakan mesin dan teknologi lama. Ada yang menggunakan mesin blok 25, ada juga blok 15. Adapun enam pesawat baru yang direncanakan dibeli menggunakan blok 52.
Sekretaris Jenderal TNI Angkatan Udara Marsekal Madya Errys Heryanto mengatakan, pesawat hibah masih bisa dipakai 15 hingga 20 tahun. Jika pemerintah membeli F-16 baru, radar dan peralatan lain pun harus diganti agar sesuai dengan mesin blok 52. "Hibah jauh lebih efisien," katanya.
Vonis Ringan Rosa dan Idris
INDONESIA Corruption Watch menilai vonis terhadap dua terdakwa kasus suap wisma atlet Palembang, Mindo Rosalina Manulang dan Mohammad el-Idris, tergolong ringan. "Harusnya vonisnya maksimal," kata Febri Diansyah, Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Pengadilan di ICW. "Peran keduanya cukup besar dan menimbulkan efek domino, yaitu suburnya mafia anggaran."
Dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Rabu pekan lalu, Rosa dijatuhi hukuman 2 tahun 6 bulan penjara dengan denda Rp 200 juta subsider 6 bulan kurungan. Ia terbukti menyuap Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olahraga Wafid Muharam dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Muhammad Nazaruddin. Wafid disebut menerima suap berupa tiga lembar cek senilai Rp 3,2 miliar, dan Nazar menerima Rp 4,34 miliar. Vonis ini lebih rendah daripada tuntutan empat tahun penjara yang diajukan jaksa.
El-Idris, Manajer Pemasaran PT Duta Graha Indah, dijatuhi vonis penjara dua tahun dan denda Rp 200 juta subsider enam bulan kurungan, pada hari yang sama. Padahal jaksa penuntut umum pimpinan Agus Salim minta Idris dihukum 3 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp 150 juta.
Hari itu juga, sidang lanjutan dalam perkara ini digelar atas terdakwa Wafid Muharam, dengan menghadirkan saksi Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng.
Badan Anggaran Ngambek
KOMISI Pemberantasan Korupsi memeriksa empat pemimpin Badan Anggaran DPR, Rabu pekan lalu. Mereka adalah Ketua Badan Melchias Markus Mekeng dan tiga wakilnya: Mirwan Amir, Olly Dondokambey, dan Tamsil Linrung. Pemeriksaan ini berkaitan dengan kasus korupsi proyek wisma atlet dan proyek infrastruktur transmigrasi.
Usai pemeriksaan, Badan Anggaran memboikot pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2012. Pasalnya, pemeriksaan komisi antikorupsi dinilai berbau politis. "Tak ada pembahasan anggaran sampai ada klarifikasi dari Komisi Pemberantasan Korupsi," kata anggota Badan Anggaran dari PDI Perjuangan, Dolfi O.F.P.
Sikap ngambek ini dikecam banyak kalangan. Pengacara senior Todung Mulya Lubis menilai pemeriksaan tak berhubungan dengan kewajiban membahas anggaran. Todung juga menilai aksi boikot adalah bentuk penyalahgunaan kekuasaan. "Kalau boikot menimbulkan masalah penyelenggaraan negara, kesalahan ada pada DPR," katanya.
Menanggapi kecaman itu, anggota Badan Anggaran, Andi Rahmat, mengatakan boikot akan diteruskan. "Kalau mau mandek negara ini, mandek saja. Kalau perlu, revolusi sekalian," katanya.
Chandra Mengaku Ketemu Nazaruddin
WAKIL Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Chandra M. Hamzah mengaku bertemu dengan Muhammad Nazaruddin empat kali. Menurut Chandra, pertemuan dengan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat yang kini menjadi tersangka kasus suap wisma atlet SEA Games itu tak sengaja, yaitu ketika menemui Saan Mustopa.
"Ketikaketemu Saan, ternyata dia mengajak Anas dan ketemu seorang yang namanya Nazar," kata Chandra, Jumat pekan lalu. Dia mengaku kenal Saan, kini Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat, sejak masa mahasiswa.
Chandra membantah pertemuan itu untuk mengamankan kasus suap wisma atlet. Semua pertemuan digelar sebelum KPK mengidentifikasi kasus itu. Pertemuan pertama terjadi pada 2008. Saat itu Saan, Anas, dan Nazaruddin belum menjadi anggota DPR. "Saya tidak lagi ketemu Anas setelah dia jadi Ketua Umum Partai Demokrat," katanya.
Ketika menjadi buron, Nazaruddin menyatakan pernah lima kali bertemu dengan Chandra. Menurut Nazaruddin, Chandra pernah menerima uang dari pengusaha bernama Andi berkaitan dengan proyek pengadaan kartu tanda penduduk elektronik dan baju hansip untuk kepentingan pemilihan umum. Tuduhan itu mengakibatkan Komite Etik KPK memeriksa Chandra. Sekretaris Komite Etik, Said Zainal Abidin, mengatakan kesimpulan Komite Etik akan diumumkan pada awal Oktober.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo