Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JIKA proyek pengadaan kartu tanda penduduk elektronik sukses dijalankan, mestinya banyak perkara di negeri ini bisa dirampungkan. Dengan KTP elektronik, setiap penduduk hanya punya satu identitas: tak ada duplikasi jati diri. Ini membuat administrasi kependudukan lebih ringkas dan akurat.
Nomor KTP berlaku untuk paspor, pajak, asuransi kesehatan, jaminan sosial, dan lain-lain. Chip yang tertanam di dalam KTP elektronik bisa menyimpan nama, alamat, serta tempat dan tanggal lahir. Di banyak negara maju, KTP elektronik menyimpan juga identitas keuangan dan perbankan sehingga bisa dipakai sebagai kartu penarik uang tunai dan untuk bertransaksi.
Dengan KTP canggih ini, penyalahgunaan identitas bisa dicegah. Pelaku kejahatan bisa cepat diringkus. Terorisme dapat diatasi. Di lokasi kejahatan, misalnya, sidik jari memudahkan polisi cepat menemukan si penjahat—mirip adegan di film detektif. Koruptor tak mudah kabur ke luar negeri karena tak bisa punya paspor ganda. Dengan identifikasi berlapis—sidik jari, potret wajah, dan iris mata—hampir tak ada orang yang bisa menyembunyikan dirinya. Dalam pemilu tak ada duplikasi pemilih. Kecurangan pemilihan raya, yang kerap jadi sengketa berbulan-bulan, bisa dihindari.
Namun rencana Indonesia melengkapi penduduknya dengan identitas tunggal dan KTP elektronik masih jauh dari harapan. Bukan karena kita tak mau, melainkan karena belum lagi proyek ini dijalankan, pelbagai sengketa dan dugaan korupsi datang menghadang.
Adalah pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri yang menjalankan proyek senilai Rp 5,9 triliun ini. Sejak awal, hajatan besar itu dijalankan tanpa memenuhi asas kepatuhan. Pada tahap tender, proyek ini cacat prosedur. Awalnya Kementerian Dalam Negeri meminta sejumlah perusahaan mengajukan penawaran. Ketika itu, spesifikasi yang dibutuhkan pemerintah belum diumumkan. Lalu sebelas konsorsium perusahaan swasta dan pemerintah menawarkan produk. Karena spesifikasi belum diumumkan, para pedagang tak punya patokan. Kebanyakan dari mereka bahkan belum mengajukan harga.
Belakangan, hanya sedikit pelamar yang diberi informasi tentang spek pemerintah itu. Mereka inilah yang kemudian menang tender—lima perusahaan dipimpin Percetakan Negara Republik Indonesia, sebuah badan usaha milik negara. Bocoran spesifikasi ini ditengarai melibatkan pialang yang punya akses ke Kementerian Dalam Negeri. Ada kecurigaan, sang pialang adalah suruhan seorang petinggi Partai Golkar.
Uang, kekuasaan, korupsi? Bah! Inilah kolaborasi tiga serangkai yang tak henti bikin repot negeri kita.
Sebetulnya, dalam aturan pemerintah, tender bermasalah bisa dikoreksi dengan mekanisme banding. Perusahaan yang kalah bisa mengajukan keberatan hingga dua kali. Sebelum dua proses ini rampung, pemerintah dilarang mengikat kontrak dengan perusahaan pemenang. Tujuannya jelas: pada saat sang pemenang ditetapkan, tak ada lagi yang bisa menggugat.
Tapi kontrak keburu diteken ketika proses banding masih berlangsung. Cacat prosedur inilah yang kini menjadi sengketa. Perusahaan yang kalah mempersoalkan kelalaian ini.
Sejauh ini belum ditemukan kerugian negara karena anggaran belum mengucur. Tapi, karena potensi korupsi terbuka lebar, kini Kementerian Dalam Negeri jadi grogi. Pemenang tender mengeluh karena uang muka belum dibayar. Dari sisi Kementerian, membayar duit proyek bisa punya konsekuensi gawat: begitu pembayaran dilakukan, pejabat Kementerian segera masuk bui karena unsur kerugian negara terpenuhi.
Kisruh ini harus segera diakhiri. Pemerintah harus berlapang dada jika memang ada yang tak beres dalam proses tender. Pejabat, pengusaha, dan broker yang nakal harus ditindak. Komisi Pemberantasan Korupsi sepatutnya turun tangan jika ada bukti suap di antara ketiganya.
Kisruh tender bisa ditangani Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Perusahaan yang kalah bisa menggugat. KPPU harus memeriksa kembali semua dokumen tender. Pihak yang kalah harus bisa membuktikan bahwa mereka mengajukan penawaran lebih murah. Jika gugatan kecurangan bisa dibuktikan, pelaksana proyek harus ditinjau ulang.
Selanjutnya, Inspektur Jenderal Kementerian Dalam Negeri harus aktif mengawasi jalannya proyek. Audit berkala harus dilakukan agar tak ada sesal di kemudian hari. Setiap tahap dalam pelaksanaan proyek harus dipantau sehingga tak tersedia sedikit pun humus bagi bersemainya korupsi. Proyek KTP elektronik adalah revolusi dalam sistem administrasi kependudukan kita. Tak satu orang pun boleh merintanginya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo