Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kandidat Presiden Gugat Pemilu
DUA calon presiden, Muhammad Jusuf Kalla dan Megawati Soekarnoputri, menggugat proses dan hasil pemilihan presiden 8 Juli lalu. Diwakili tim advokasi masing-masing, keduanya mendaftarkan gugatan ke Mahkamah Konstitusi secara terpisah pada Senin dan Selasa pekan lalu.
Koordinator advokasi tim kampanye nasional Jusuf Kalla-Wiranto, Chairuman Harahap, mengatakan pemilu telah diselenggarakan dengan mengabaikan undang-undang. Di antaranya soal penghapusan 65 ribu tempat pemungutan suara oleh Komisi Pemilihan Umum dan adanya sekitar 20 juta nama pemilih ganda. "Kami meminta keputusan penghitungan suara dibatalkan," kata Chairuman kepada pers setelah menyerahkan berkas gugatan dan 153 temuan ke Mahkamah Konstitusi.
Ketua tim advokasi pasangan Megawati-Prabowo Subianto, Gayus Lumbuun, mengatakan timnya menggugat kecurangan di 25 provinsi yang mengakibatkan Mega-Prabowo kehilangan 28 juta suara. Kecurangan lain berupa surat suara sudah dicontreng, pemilih mencontreng lebih dari sekali, formulir C1 sudah ditandatangani tim lain, dan adanya tempat pemungutan suara fiktif.
Pengawas Usut Dana Kampanye SBY-Boediono
BADAN Pengawas Pemilihan Umum memeriksa tim kampanye nasional pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono, Rabu pekan lalu. Menurut anggota Badan Pengawas, Wirdyaningsih, pemeriksaan ini terkait dengan sumbangan Rp 3 miliar dari Bank Tabungan Pensiunan Nasional (BTPN) kepada tim kampanye Yudhoyono. Saham BTPN saat ini 96 persen dimiliki asing.
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden melarang pasangan calon menerima dana kampanye dari pihak asing. Tim Yudhoyono-Boediono diwakili wakil ketua tim kampanye Djoko Suyanto, koordinator advokasi dan hukum Amir Syamsuddin, dan bendahara Garibaldi Thohir. Djoko enggan berkomentar mengenai pemeriksaan Badan Pengawas.
Wirdyaningsih menjelaskan, tim Yudhoyono-Boediono membenarkan adanya sumbangan Rp 3 miliar dari BTPN itu. Tapi mereka menganggap sumbangan itu tak bermasalah karena BTPN merupakan perusahaan terbuka. "Itu perusahaan terbuka yang sahamnya terus berubah kepemilikan," ujar Wirdyaningsih menirukan anggota tim kampanye. Badan Pengawas, kata dia, segera meminta keterangan saksi ahli, terutama perihal definisi perusahaan asing dan kepemilikan saham perusahaan.
Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch Ibrahim Fahmi Badoh menilai BTPN merupakan perusahaan milik asing. Karena itu, Yudhoyono-Boediono tak boleh menerima dana dari bank itu. "Sumbangan itu ilegal dan harus dikembalikan ke kas negara," kata Fahmi. Anggota Badan Pengawas, Wahidah Suaib, mengatakan lembaganya sudah mengirim surat ke Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan untuk pengecekan lebih lanjut.
Megawati Bertemu Boediono
MEGAWATI Soekarnoputri dan calon wakil presiden terpilih Boediono bertemu untuk pertama kalinya setelah pemilihan presiden 8 Juli lalu. Pertemuan selama 1 jam 20 menit itu berlangsung Jumat dua pekan lalu di rumah pribadi Megawati di Jalan Teuku Umar, Jakarta Pusat. "Itu pertemuan empat mata," kata Ketua Partai Demokrat Anas Urbaningrum kepada Tempo.
Saat tiba di rumah kandidat presiden Megawati, Boediono didampingi koordinator tim sukses Rizal Mallarangeng dan ekonom Mohammad Ikhsan. Menurut Anas, dalam pertemuan itu Boediono mendengarkan pandangan Megawati tentang pelbagai hal. Ketika Megawati menjadi presiden, Boediono adalah Menteri Keuangan. "Pertemuan ini sudah lama dipersiapkan," kata Anas. Menurut Ikhsan, Boediono dan Megawati tidak membuat kesepakatan apa pun, termasuk soal kursi kabinet.
Kalla Tidak Diundang Rapat Kabinet
WAKIL Presiden Muhammad Jusuf Kalla mengaku tidak mempermasalahkan soal dirinya yang tidak diundang mengikuti rapat kabinet terbatas pekan lalu. "Kita doakan saja mudah-mudahan negeri ini berjalan dengan baik," kata Kalla kepada pers seusai salat Jumat di Masjid Baiturrahman, kompleks kantor wakil presiden, pekan lalu.
Selasa pekan lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menggelar rapat kabinet terbatas yang membahas isi pidato pengantar nota keuangan Presiden yang akan dibacakan di depan anggota Dewan Perwakilan Rakyat pada Senin pekan ini. Pada hari yang bersamaan, Kalla pulang ke Makassar.
Kalla juga tidak hadir dalam rapat kabinet terbatas Kamis pekan lalu yang membahas soal resesi global, terorisme, dan El Nino. Saat itu, Presiden melakukan perbincangan jarak jauh dengan sejumlah gubernur. Menurut juru bicara Presiden, Andi Mallarangeng, kehadiran Wakil Presiden dalam rapat kabinet terbatas disesuaikan dengan kebutuhan. "Dalam sidang kabinet paripurna, Wakil Presiden pasti diundang."
Mantan Direktur Utama Bank Jabar Ditangkap
KOMISI Pemberantasan Korupsi menangkap mantan Direktur Utama Bank Jabar Banten Umar Syarifuddin, Kamis pekan lalu. Umar diduga mengkorupsi uang Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat. Umar dibawa tim penyidik ke gedung Komisi, Kamis malam itu, dengan tangan terborgol. Komisi menetapkan status tersangka terhadap Umar pada 7 Mei lalu.
Umar diduga memungut biaya setoran modal dan biaya setoran pajak 33 cabang Bank Jabar Banten pada 2003-2004. Dari hasil penyidikan, pungutan tersebut diduga masuk kantong pribadi. Akibatnya, negara merugi Rp 37 miliar.
Komisi menjerat Umar dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Umar pernah dipanggil Komisi pada 17 dan 23 Juli lalu, tapi tidak datang. Komisi lalu mengejar Umar ke kediamannya di Jalan Batununggal 8 Nomor 86, Kecamatan Bandung Kidul, Bandung. Tapi ia tak ada. Menurut juru bicara Komisi, Johan Budi S.P., Umar sempat lari ke Rangkas Bitung. Ketika ditangkap, ia berada di rumah seorang paranormal.
Jonas M. Sihaloho, pengacara Umar, mengatakan pemeriksaan baru pada soal identitas, belum masuk substansi dugaan korupsi. Kepergian Umar ke Rangkas Bitung, kata Jonas, untuk berobat. "Setahu saya, dia kena penyakit diabetes," ujarnya.
Chandra Panggabean Diancam Hukuman Mati
KETUA Panitia Pembentukan Provinsi Tapanuli G.M. Chandra Panggabean diancam hukuman mati dalam persidangan di Pengadilan Negeri Medan, Selasa pekan lalu. Jaksa penuntut umum Windu Swondy mengenakan pasal berlapis pada Chandra. Ia dikenai pasal pembunuhan berencana dalam kasus demonstrasi yang mengakibatkan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Utara Abdul Aziz Angkat meninggal pada 3 Februari lalu.
Jaksa juga menuntut Chandra dengan pasal pembunuhan, penganiayaan, pengeroyokan, dan penghasutan. Dalam dakwaan disebutkan bahwa Chandra dan tujuh terdakwa lain mendesak dan mengancam Aziz Angkat agar menandatangani pembentukan Provinsi Tapanuli. "Tapi Aziz Angkat menolak," kata Windu.
Aksi menuntut pemben-tukan provinsi ini dilakukan oleh ribuan orang dan berakhir rusuh. Mereka mengejar Aziz Angkat ke ruang VIP di belakang ruang sidang paripurna gedung Dewan Sumatera Utara. Hasil otopsi menunjukkan Aziz Angkat tewas akibat pukulan benda tumpul. Polisi menetapkan 70 tersangka. Otto Hasibuan, kuasa hukum Chandra, menolak dakwaan jaksa. "Tidak sesuai fakta," kata Otto. Ketua majelis hakim Sunoto menyilakan kuasa hukum mengajukan pembelaan pekan ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo