Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Cicak Versus Buaya

3 Agustus 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KALAU cuma dalam kisah fabel, pertempuran cicak dan buaya mungkin bisa menghibur. Di dunia nyata, di negeri kita, perseteruan antara institusi ”cicak” dan ”buaya” sungguh bikin prihatin. Sikap main gertak dan saling intai membuat pergesekan kian hari kian terasa panas.

Istilah ”cicak” dan ”buaya”, yang memantik sengketa, merupakan buah karya Kepala Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian Komisaris Jenderal Susno Duadji. Ia memilih istilah ”buaya” untuk korpsnya dan ”cicak” untuk Komisi Pemberantasan Korupsi. Maksudnya jelas, ingin menunjukkan bahwa kekuatan di antara kedua lembaga tidak seimbang.

Tak sulit menelisik penyebab reaksi keras Susno Duadji. Komisi Pemberantasan Korupsi mengendus ada petinggi polisi yang diduga menerima suap dalam kasus pencairan dana Bank Century. Bank itu ditutup pemerintah. Seorang jenderal polisi ditengarai memberikan katebelece agar dana seorang nasabah—yang diduga bermasalah—dapat segera cair.

Di pihak lain, polisi juga mencium ada yang tak beres dengan Komisi Pemberantasan Korupsi. Polisi menduga pemimpin Komisi telah menerima suap dari PT Masaro Radiokom, perusahaan yang berkongkalikong dengan Departemen Kehutanan dalam pengadaan radio komunikasi.

Saling serang yang sudah beberapa bulan terjadi ini sebaiknya segera diakhiri. Kedua lembaga tak perlu ragu-ragu menindak yang lain demi menjalankan tugas. Komisi antikorupsi dan polisi bukan malaikat yang tak bisa khilaf. Apalagi bukan tak ada preseden, seorang penyidik Komisi pernah dipecat karena menerima suap. Polisi yang nakal ada pula yang masuk bui.

Komisi Pemberantasan Korupsi mesti tetap bekerja dengan standar tinggi agar kasus yang ditangani tidak gagal di tengah jalan. Sesuai dengan aturan hukum, ada larangan bagi Komisi untuk mengeluarkan surat perintah penghentian perkara. Itu sebabnya Komisi selama ini mengembangkan segala teknik untuk mengumpulkan bukti.

Sejauh ini, teknik ”tangkap tangan” terbukti paling ampuh dan itulah yang dipakai dalam kasus Bank Century. Seorang petinggi polisi hampir tertangkap basah, tapi akhirnya dibiarkan lolos lantaran transaksi tidak jadi berlangsung. Komisi disarankan terus mengembangkan kasus Century dengan memaksimalkan semua kewenangan yang ada, termasuk menyadap, menggerebek, dan menggeledah.

Polisi juga perlu serius memeriksa Komisi Pemberantasan Korupsi. Aparat berseragam cokelat itu tak boleh menjadikan kasus Masaro sebagai pendongkrak posisi tawar mereka di hadapan Komisi. Sejauh ini, memang belum ada aturan jelas tentang lembaga yang berwenang menyidik petinggi Komisi yang diduga melanggar hukum. Namun, menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, polisi bertugas melakukan penyidikan.

Main gertak bukan sikap yang diharapkan dari penegak hukum. Merencanakan menangkap ”lawan” agar tak keduluan ditangkap merupakan perbuatan konyol, yang tak perlu diteruskan. Kedua instansi kini hanya perlu memperkuat bukti dan keterangan yang dibutuhkan untuk terus menelisik kasus yang mereka tangani.

Sekarang ini, mengingat gentingnya masalah, Kepala Negara sudah waktunya kembali memanggil kedua lembaga seperti beberapa waktu lalu. Yang perlu secepatnya dilakukan adalah mencegah terbentuknya ”aliansi”—entah disengaja atau kebetulan—antara polisi dan Dewan Perwakilan Rakyat serta Kejaksaan Agung untuk melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi.

Tiga instansi itu memang ”disatukan” oleh sebuah pengikat, masing-masing punya perkara dengan Komisi Pemberantasan Korupsi. Sejumlah anggota Dewan ditangkap Komisi karena terbukti menerima sogok. Beberapa jaksa dicokok Komisi dalam kasus suap oleh Artalyta Suryani, orang dekat pengusaha Sjamsul Nursalim, yang tersandung skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia. Kejaksaan juga diberitakan sangat ingin memegang kasus Masaro yang kini ditangani Komisi.

Peran Kepala Negara dibutuhkan untuk mendorong jika Dewan, misalnya, ”ogah-ogahan” merevisi Undang-Undang Pemberantasan Korupsi—amanat Mahkamah Konstitusi tiga tahun lalu. Tanpa revisi itu, pengadilan korupsi akan bubar dan Komisi pastilah kehilangan taji. Kasus yang dibongkar Komisi akan disidangkan di pengadilan biasa—sesuatu yang diragukan efektivitasnya. Komisi juga bisa digergaji, umpamanya jika revisi oleh Dewan nanti memotong hak Komisi sebagai penuntut umum.

Kepala Negara mesti mengawal kerja polisi dan Komisi dalam sengketa ini agar keduanya tetap profesional: menyelidiki, menyidik, dan membuktikan kesalahan mereka yang bersalah. Komisi perlu diberi dukungan agar memanfaatkan kewenangan dan keahlian yang mereka miliki.

Posisi Komisi sebagai superbody, seperti tertulis dalam undang-undang, tak boleh dilupakan. Itu penting untuk mengurangi korupsi yang sudah begitu meroyak di negeri ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus